Diabetes Anak, Sering Dianggap Remeh


Tak bisa dipungkiri, penyakit diabetes memang tidak mengenal usia. Tidak hanya berlaku pada manusia usia dewasa, usia anak-anak pun sangat rentan terkena diabetes. Begitu pun bayi yang baru lahir.

Pada Selasa,20/11, Endokrinolog Anak,dr.Riyadi Fadil mengemukakan pada  bahwa telah terjadi peningkatan 1-2 kasus diabetes anak di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

Kasus diabetes yang banyak terjadi pada anak berasal dari golongan diabetes tipe 1. “Diabetes tipe 1 ini terjadi ketika pankreas mengalami kerusakan, sehingga tidak bisa menghasilkan insulin,” ujar dr. Riyadi Fadil ketika ditemui di ruang kerjanya, di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSHS Bandung.

Riyadi yang juga mengajar di FK Unpad mengungkapkan bahwa diabetes anak tipe 1 seringkali tidak terdeteksi. “Biasanya datang dalam keadaan koma,” tambahnya. Jika diabetes tipe 1, maka suntikan insulin akan terus diberikan pada anak penderita diabetes sepanjang hidupnya.

Selain tipe 1, diabetes tipe 2 pun banyak terjadi pada anak-anak. Diabetes tipe 2 ini disebabkan oleh pola makan yang salah dan berlebihan. “Kelebihan makanan akan menimbulkan resistensi insulin, di mana pankreas mengalami kerusakan hingga 80% dan tak mampu lagi mengontrol kadar gula,” ujarnya Selain itu faktor turunan orang tua memiliki peran. 

Dr. Julistio Djais, SpA (K), Mkes dari Sub divisi gizi metabolik Ilmu Kesehatan Anakan (IKA) FK Unpad/RSHS mengajak masyarakat diharapkan mengenali jenis gula tambahan berlebih dan mewaspadai indeks dan beban glikemik yang tinggi pada kandungan nutrisi anak serta dampaknya. 

Bertumbuhlah Pahlawan Antikorupsi!

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

Dua guru bangsa,Soekarno-Hatta telah mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Tapi perjalanan mewujudkan cita-cita kemerdekaan masih jauh terbentang. Sesungguhnya kita belum merdeka, merdeka dari praktik korupsi. Kita masih membutuhkan pahlawan antikorupsi. Seperti ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Aku pun ingin tumbuh sebagai pahlawan antikorupsi. Andai aku menjadi ketua KPK, aku akan:
 
1.      Mengedepankan pendidikan antikorupsi untuk generasi muda Indonesia.
2.      Memperluas lembaga KPK hingga provinsi dan kabupaten/kota.
3.      Menjaga kewibawaan KPK dengan merekrut pegawai KPK yang independen
4.      Mempertahankan UUD No 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5.      Meningkatkan Koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain
6.      Memperkuat penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
7.      Mencegah dan memonitor penyelenggaraan lembaga negara
8.      Menyediakan kotak aduan tindak korupsi di setiap lembaga KPK pusat dan daerah
9.      Memberi penghargaan sebagai pahlawan antikorupsi bagi whistle blower
10.  Menerbitkan buku profil para koruptor bersalah setiap tahun dan dijual secara umum di masyarakat.

      Tumbuhlah para pahlawan antikorupsi. Tegakkan kepala tunjukkan keberanian pada koruptor. Hiduplah dan berjuanglah pahlawan antikorupsi. Jasa-jasamu akan berguna untuk bangsa dan negara ini di masa mendatang. Seperti hasil juang dua pahlawan nasional baru kita, Sukarno-Hatta.

Bertumbuhlah Pahlawan Antikorupsi! (essay)

Bangsa Indonesia patut bersyukur dan lega, akhirnya gelar pahlawan nasional pun disematkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dwi tunggal proklamator kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Soekarno-Hatta pada Hari Pahlawan, 10 November 2012. Betapa tidak, harta dan nyawa dipertaruhkan demi tercapainya cita-cita Pembukaan UUD 1945: Indonesia merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Walaupun dua guru bangsa itu telah mendapatkan gelar sepatutnya, tapi perjalanan mewujudkan cita-cita kemerdekaan masih jauh terbentang. Sesungguhnya kita belum merdeka.

Masih banyak permasalahan bangsa dan negara ini. Salah satunya korupsi. Mari coba tanya pada diri kita sendiri. Apakah kita telah merdeka dari praktik korupsi? Apakah kita telah bersatu melawan koruptor penggasak kekayaan negara ini? Apakah kita sudah merasakan kehidupan yang adil dan makmur?
Zaman terus bergulir, generasi terus berganti  dan tantangan pun berbeda. Desentralisasi kekuasaan, tingginya ongkos politik dan  praktik suap telah memicu praktik korupsi. Terlebih itu terjadi di lembaga pemerintahan, perusahaan pemerintah dan swasta. Praktik kotor korupsi terus merajalela dan menggerogoti kesucian hati nurani kita sebagai bangsa beradab.

Kita tahu korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Lihatlah di negeri kaya sumber daya alam ini, masih banyak rakyat yang kelaparan dan luput pendidikan. Ketimpangan sosial semakin terlihat, seolah-olah dewi keadilan tak pernah ikut campur dalam kehidupan kita.

Perlu cara-cara luar biasa memerangi korupsi, seperti kasus Bank Century, wisma atlet, cek pelawat pemilihan gubernur senior BI, dan simolator SIM. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada 2003, terlihat signifikan hasil pemberantasan korupsi. Anggota DPR, menteri, pemerintah daerah, komisioner KPU, Jaksa, duta besar, hingga CEO BUMN  ditindak bersalah di Pengadilan Tipikor. Sejak 2011 saja sekitar Rp 152,9 triliun aset kekayaan negara telah diselamatkan.

Toga



Sebuah momen yang paling dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah wisuda. Ya, momen bahagia di mana seorang mahasiswa dinyatakan berhasil melewati lika liku kehidupan kampus.

Di hari wisuda, seorang mahasiswa berdandan dengan sangat apik. Berusaha tampil cantik dan gagah. Kebaya dengan berbagai macam warna dan desain, hingga sepatu yang menawan bagi wisudawati. Lain hal dengan wisudawan. Setelan jas hitam, dasi, dan sepatu pantofel terlihat serasi dengan bahu tegak dan tegap.

Hal lain yang sangat dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah mengenakan jubah hitam, kalung berlogo universitas dan tentunya toga berwarna hitam. Terlihat wah dan sangat menggetarkan jiwa.

Hari di saat wisuda merupakan hari yang sangat istimewa. Orang tua, sanak saudara dan kolega hadir untuk merayakannya. Hari yang begitu semarak diisi dengan upacara pelantikan wisudawan dan wisudawati oleh rektor dan petinggi-petinggi universitas. Nyanyian hymne universitas terdengar menggetarkan jiwa. Tak jarang ada air mata yang menetes. Haru menyelimuti jiwa sebagai tanda status mahasiswa telah ditanggalkan. Berganti status lain yang terkadang masih misteri.

Banyak orang bertanya-tanya ketika acara wisuda berlangsung. Pertanyaan itu terkait aksesoris mahasiswa yang akan diwisuda, yaitu Toga.

Dia & Politik Kampus


Dia  tercenung sejenak. Memeriksa suara teriakan yang sayup-sayup terdengar. Tangannya ia katupkan di telinga. Berharap suara itu datang lebih jelas. Suara sayup itu pun tak kunjung jelas.

“Pilihlah kami. Pilih no 3. Kami pasangan....... berbakti untuk kepentingan mahasiswa,” suara sesekali lantang. Sesekali hilang ditiup hembusan angin sore.

Dia pun mengabaikan suara itu. Ah, biarlah. Paling suara mereka-mereka yang haus akan kekuasaan kampus. Mereka yang haus untuk menduduki kursi panas. Dekat dengan rektor, mengumbar janji pro mahasiswa. Pandai bermanis mulut berkata telah berbuat banyak untuk kepentingan rakyat mahasiswa. Mereka seperti pahlawan, datang  untuk berjuang demi kepentingan bersama. Memang terlihat, tapi sayangnya ada kepentingan golongan yang setiap tahun mereka pertahankan.

Dia sudah malang melintang di dunia kehidupan kampus. Perkenalkan, namanya dia. Semester tiga belas. Tinggal satu semester lagi nasibnya akan ditentukan. Tamat sebagai sarjana atau pecundang malang yang katanya hidup berkalang kepedulian.

Setiap tahun, dia mendapatkan selebaran kertas kecil. Kadang berwarna merah, biru, hijau atau putih. Ada dua foto mahasiswa berjas rapi, kadang berdasi. Berdiri tegap atau duduk dengan mata awas, gagah. Dua mahasiswa itu katanya pahlawan pembawa kemenangan. Semoga begitu. Mereka politisi kampus, pemain utama di sebuah kampus di negeri yang sedang belajar demokrasi. Selebaran itu pun memiliki angka. 1,2 dan 3. Jarang sekali 4 dan 5.

Tahun-tahun awal menjadi mahasiswa, dia bengong, tak mengerti politik kampus. Tahun berikutnya, ia mulai mengerti politik, walaupun sebatas definisi. Dari pengetahuan yang ia dapatkan, politik itu adalah kegiatan atau aktivitas yang memberikan dampak kebaikan bagi semua elemen masyarakat. Dia lupa siapa tokoh yang berbicara demikian. Tahun berikutnya, ia mulai paham bahwa politik kampus itu penuh kepalsuan. Kata-kata manis, diiringi teriakan kesatuan membuatnya paham bahwa politik kampus hanyalah alat aktualisasi diri bagi mereka yang oportunis.

Menjelang angka tujuh tahun dia berstatus mahasiswa, banyak pengalaman yang ia rasakan. Tapi pengalaman akan politik kampus tak pernah terselesaikan. Dulu ketika masih berstatus siswa, dia memuji tindakan mahasiswa yang bentrok dengan aparat pemerintah. Membela rakyat jika sembako naik, mendemo pemerintah jika subsidi bbm dikurangi. Sekarang pujiannya akan status mahasiswa semakin memudar. Pudar dan tak berwarna lagi.

Dunia kampus memang penuh kenangan. Dia mengakui hal itu. Tapi ada kenangan yang tak pernah ia lupakan. Kenangan akan politik kampus yang benar-benar menghantuinya. Selalu terngiang dan tak pernah mendapat jawaban yang pas. Beberapa kenalannya dari mahasiswa sekarang sibuk bekerja di perusahaan, jadi karyawan. Dulu kenalannya ini berada di barisan depan setiap unjuk rasa. Berani pasang badan, dengan ikatan kain di kepala.

Hmm. Politisi kampus hanyalah sebutan keren bagi para mahasiswa pembela kebenaran dan keadilan. Dia mencoba menyimpulkan walaupun tak semua itu mungkin benar.

Suara sayup-sayup teriakan kampanye kampus masih terdengar. Huh, politik kampus adalah politik menyelamatkan diri sendiri setelah menanggalkan status mahasiswa. Itu politik individualistis demi terciptnya kehidupan pribadi yang realistis. Tak ada yang salah memang. Karena setiap mahasiswa hal pertama ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri, lalu keluarga, terakhir baru bangsa dan negara. Dia hanya sesalkan, masih ada (banyak) politisi kampus yang berlindung dari jubah kemunafikan. Jubah di mana mereka merasa adalah para pemenang. Selainnya pecundang. Sayangnya bukan.

Hah. Semoga ini asumsi dan prasangka negatif dia saja.

Perseteruan Dua “Tikus” Terakhir


Skyfall
Produser: Michael G.Wilson, Barbara Broccoli.
Produksi: Columbia Pictures
sutradara: Sam Mendes
Durasi:  145 menit
Pemain: Daniel Craig, Judi Dench, Javier Bardem, Ben Whishaw, Albert Finney dan Ralph Fiennes.


James Bond (Daniel Craig) kembali menunjukkan aksi hebatnya. Setelah sukses tampil apik di Casino Royale (2006) dan Quantum of Solace (2008), Bond kembali hadir dalam film Skyfall. Film besutan sutradara Sam Mendes dan produser  Michael G.Wilson & Barbara Broccoli ini mampu mengatur ketegangan emosi penonton.

Dalam film berbudget $200 juta dan berdurasi 145 menit ini, Bond dihadapkan pada satu perjuangan untuk mengenal kembali identitas dirinya. Di samping itu, ia pun harus berhadapan dengan mantan agen rahasia M16 yang masih aktif di internet.

Amba, Salwa dan Surat



Lasmi Pamuntjak telah sukses menyihir pembaca dengan novel terbarunya: AMBA. Bahasa Lasmi yang lugas dengan deskripisi detail dan mengikat, mampu membawa pembaca ke suasana penuh kecaman di bilangan tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Yogya dan Kediri.

Amba, sosok tokoh utama. Perempuan desa, pemalu di awal dan berfikiran kritis. Anak seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah ini menyambung pendidikannya di Fakultas Sastra UGM, Yogya. Sejak ia menginjak dewasa, ibunya hanya ingin Amba segera menikah. Mengikuti tradisi perempuan kampung yang cepat menika. Dengan pola fikir feminis, Amba menolak. Memilih hidup jauh dari keluarga, menimba ilmu dan menerjang tantangan kehidupan.

Ada Salwa Munir. Sosok pemuda santun, seorang instruktur dosen di universitas yang sama dengan Amba. Jatuh cinta pada Amba pada pandangan pertama. Cintanya sempat berbalas, sempat bertunangan, namun kalah dengan praktik cinta dalam kehidupan. Sosok Bhisma Rashad, dokter muda lulusan Universitas Leipzig lebih mampu menunjukkan arti cinta sesungguhnya. Tidak hanya kata romantis, surat, janji masa depan, tapi ia berikan sentuhan cinta pada tubuh Amba yang bergetar dan pasrah ketika mereka bersama.

Hipotiroid: Pembunuh Otak Berdarah Dingin


Penyakit hipotiroid atau hipertiroid pada ibu hamil di Indonesia masih belum menjadi kesadaran masyarakat luas. Padahal penyakit ini tak bisa dianggap enteng, terlebih pada anak yang baru lahir dari ibu penderita hipotiroid. Anak yang terlahir hipotiroid akan mengalami cacat mental, berfikir lambat dan akibat terparah anak terlahir idiot.

Kekurangan tiroid sejak dalam kandungan disebut hipotiroid kongenital. Hormon tiroid ini berperan untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan fisik dan perkembangan metabolisme tubuh.

“Pada otak, hormon tiroid berguna untuk membentuk sel-sel nouron otak, membangun jaringan dan membentuk diferensiasi fungsi otak, seperti berbicara, mengingat, sensitifitas dan sebagainya,” ujar Spesialis Anak Konsultan Endokrinologi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) dr.Diet Rustama, SpA(K).

Pada kehidupan manusia, pertumbuhan fisik memiliki dua periode, yaitu periode bayi dan remaja. Sedangkan masa pertumbuhan otak hanya terjadi sekali, yaitu pada umur 1-3 tahun. “Itu yang memperihatinkan, karena masa kritis pertumbuhan otak pada rentang itu saja. Lewat dari rentang itu, otak tidak berkembang lagi. Jika terjadi gangguan pada otak, akan fatal akibatnya bagi anak,” tambah dr.Diet yang juga Ketua Sub Pokja-Pokjanas Screening Bayi Baru Lahir Kemenkes RI di RSIA Hermina Pasteur Jl. DR.Djundjunan No.107, Bandung pada Jumat (2/11).

Chapal Ibhanan

Cerpen

Seorang pria paruh baya terlihat memperbaiki kain selimut gendongan berwarna putih ke lehernya. Dalam kain gendongan itu seorang bayi perempuan terlelap tidur. Setelah kain tergantung pas dilehernya, kedua tangannya kembali pada kedua pegangan becak.

Pria tukang becak ini berumur 38 tahun dan ia bernama Chapal. Ia adalah warga sebuah kota di negara bagian Rajashtan,India.

“Kemana ibu anak itu Pak?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi menumpangi becak Chapal.

“Ibu anak perempuan ini telah tiada. Istriku meninggal ketika melahirkan anak kami tercinta ini,” jawab Chapal lirih.

Tanda Seru (!)


Saya ingin bercerita. Kali ini tentang sebuah tanda seru (!) di kampus saya tercinta, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran. Tanda seru berwarna putih berlatar belakang warna biru, bisa dibilang rutin tersebar diseantero kampus ketika mendekati akhir tahun. Ya, bilangan Oktober-Desember di setiap tahunnya. Tanda seru (!) berposter kecil dan besar ditempel di dinding, kursi hingga tembok-tembok gedung perkuliahan. Untuk saat ini, tanda seru (!) terpajang di gerbang masuk fakultas.

Pasti banyak yang bertanya, tanda apa itu? Anda pun mungkin bertanya-tanya. Tapi saya tentunya tak akan memberikan jawaban akan arti tanda seru (!) itu dalam konteks kampus saya.

Saya ingin bercerita lain dalam persepsi berbeda. Pada 1839-1914 seorang filusuf, ahli logika dan semiotika Amerika Serikat Charles Sanders Pierce mengungkapkan bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berfikir dengan sarana tanda, tanpa tanda komunikasi tidak bisa dilakukan. Tanda menjadi penting karena melalui tandalah manusia bertukar persepsi yang merupakan inti komunikasi.

Tanda seru (!) berwarna putih, berlatar belakang biru tadi menjadi media komunikasi antara komunikator (pemberi pesan) dan komunikan (penerima pesan). Pada awalnya, tanda seru (!) berupa tumpukan huruf,yaitu huruf i ditulis di atas huruf o, namun dirasa tak efektif. Tanda ini berasal dari bahasa Latin “io” yang berarti “seruan kegembiraan”. Sekarang tanda seru (!) yang simpel telah menjadi konsumsi kita saat ini.

Kembali ke cerita soal tanda seru (!) di kampus saya. Tanda seru di sana tak selalu diartikan ‘seruan kegembiraan’, malahan diartikan suatu tanda akan suatu hal yang mendebarkan dan penuh kehati-hatian. Sama seperti tanda seru (!) di jalan raya yang menandakan tanda untuk berhati-hati. Di aturan EYD Bahasa Indonesia, tanda seru (!) dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau rasa emosi yang kuat.

Bagi sebagian orang yang memiliki rasa emosi yang kuat, tanda seru (!) tentunya menjadi perhatian serius. Tapi tidak bagi mereka yang cuek atau tidak memiliki rasa emosi itu. Tanda itu hanyalah tanda biasa yang tidak memiliki arti apapun baginya. Untuk itu, agar pesan tanda tersebut bisa sampai pada objek, pemberi tanda seharusnya telah membentuk persepsi kuat bahwa tanda seru (!) memiliki tujuan. Jika tidak tentulah tanda itu menjadi sia-sia.

Tanda seru (!) harus berakhir dengan kegembiraan, sesuai dengan arti sebenarnya ‘seruan kegembiraan’. Kegembiraan tentunya hal yang bisa mendekatkan hubungan antar berbagai pihak dilingkari rasa senang dan bahagia. Semoga kegembiraan itu benar-benar terjadi.

Salam tanda seru (!)

Kamis, 18 Oktober 2012







Wartawan, aparat dan kekerasan

Seorang tentara TNI AU terlihat mencekik wartawan yang meliput jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Riau, Pekanbaru, Selasa (16/10). Aksi ini dilakukan di hadapan sejumlah anak sekolah dasar.



Dua hari lalu, Selasa (16/10) dunia demokrasi dan kebebasan berekpresi kembali tercoreng. Beberapa orang wartawan dipukul,kamera dirampas, dan dianiaya oknum aparat TNI. Kejadian itu bemula, ketika  pemburu berita berusaha mengabadikan jatuhnya pesawat tempur TNI AU di Pekanbaru.

Masih teringat jelas, pada Selasa (29/5) silam oknum TNI dari satuan Marinir menganiaya tujuh wartawan di Padang. Sejumlah peralatan liputan dirusak. Jelas tak ada salah, para pemburu informasi hanya melakukan tugas liputan penertiban sejumlah kedai remang-remang yang diduga sebagai tempat praktek asusila oleh Satuan Polisi Pamong Praja Padang.

Dua kejadian terakhir tentunya sangat mencoreng kebebasan pers. Di negeri yang katanya sedang berlangsung demokrasi ternyata masih menunjukkan budaya hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. 

Menjadi Indonesia

Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. (Men)dingan (ja)ngan (di)am untuk Indonesia.

Oleh: Mardiyah Chamim, TEMPO Institute


Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu,

Ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu,

Lekas,

Bangun dari tidur berkepanjangan,
Nyatakan mimpimu,
Cuci muka biar segar,
Rapikan wajahmu,
Masih ada cara menjadi besar,

Mudakan tuamu,

Menjelma dan Menjadi Indonesia.

(diadaptasi dari lirik Menjadi Indonesia-Efek Rumah Kaca)


sumber: Buku Menjadi Indonesia, Surat dari & untuk Pemimpin

Supernova, Partikel: Selalu Menarik

Saya akui, dari keempat seri buku Dee: Supernova, Partikel memiliki daya tarik yang luar biasa bagi saya. Cerita penuh konflik batin, keluarga, dan sosial menjadi bumbu hebat dalam tulisan bernas Dee. Cerita Zarah dalam Partikel menjadi lebih hebat lagi ketika Goenawan Mohammad mengangkatnya dalam tulisan Catatan Pinggir-Tempo. GM mengangkat ide Partikel menjadi cerita tentang bagaimana seorang anak kecil (Zarah) menunjukkan apa yang ia percayai dan bagaimana mereka percaya. Untuk itu, sebagai bentuk rasa kagum saya pada kedua karya di atas, saya abadikan tulisan tentang Partikel di Caping GM di blog saya.


Zarah

Senin, 15 Oktober 2012

Anak-anak, dengan cara apa mereka percaya?

Dalam novel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Anak perempuan ini dididik dan dibentuk ayahnya, Firas, dosen Institut Pertanian Bogor yang tak hendak mengirimnya ke sekolah. Firas sendiri kemudian berhenti pergi ke kampus. Ia hanya jadi guru anaknya. Di bawah asuhan bapak yang kelak hilang itu, Zarah akan bertemu dan memasuki pengetahuan dan pengalaman yang tak lazim.

Firas seorang peneliti (dan sahabat) tumbuh-tumbuhan yang meletakkan fungi di status istimewa. Baginya fungi bukan saja membuktikan diri sanggup bertahan hidup melampaui dua kiamat ketika bumi ditabrak asteroid. Firas juga yakin, fungi adalah makhluk dengan kecerdasan super, melampaui manusia.


Dari sini kemudian ia berangsur-angsur membawa Zarah ke pengetahuan tentang hal-ihwal yang "gaib", tapi sebenarnya gaib hanya bagi yang tak mau tahu. Ayahnya mengajaknya ke Bukit Jambul yang misterius.


Setelah pengalaman di bukit yang dijauhi orang itu Zarah pun tahu, ayahnya mencatat pertemuannya dengan makhluk yang tak datang dari bumi, alien, meskipun merahasiakannya sampai akhir.


Pada suatu hari sang ayah menghilang. Sejak itu Zarah—yang mengagumi ayahnya dan mengiaskannya sebagai "dewa"—mencarinya. Ia masuki pengalaman dari satu benua ke benua lain, sampai novel yang mengasyikkan ini berhenti—atau berhenti sebentar, sebab fiksi ini (delapan tahun setelah episode Petir terbit pada 2004) tampaknya masih akan berlanjut.


Zarah adalah sebuah pencarian panjang. Ia sejumlah pertanyaan hidup yang mengusik jawaban-jawaban yang mati. Di dunia yang dibentuk jawaban seperti itu, ia seorang asing yang ditampik.


Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah—setelah ayahnya tak ada lagi—Zarah mulai merasakan posisinya yang asing itu. Ia tak bisa meletakkan keyakinannya di antara keyakinan yang telah dikukuhkan masyarakat.


Pertanyaan: "Kamu ibadah di mana dong, Zarah?"

Jawab: "Di kebun."
Pertanyaan: "Kamu menyembah apa?"
Jawab: "Jamur."

Dan Zarah dikeluarkan dari kelas ketika ia mengajukan satu teori yang ia dengar dari ayahnya yang berbeda dengan cerita agama tentang kejadian manusia. Bagi gurunya, Bu Aminah, "tidak ada versi lain" selain kisah tentang Adam dan Hawa.


Ketika Zarah mengatakan versi agama belum tentu benar, Bu Aminah meminta murid yang ganjil itu diskors. Guru itu menganggapnya "melakukan penghinaan atas dirinya, atas Alquran, dan atas Islam".


Zarah mencoba memprotes. "Kenapa Bu Aminah harus tersinggung dengan cerita saya? Kalau beliau nggak percaya dengan cerita saya, kan, saya juga nggak marah."


Tapi anak itu harus menghadapi sebuah garis lurus yang tunggal. Kakeknya, yang ia panggil Abah, seorang alim dan pengusaha terpandang di dusunnya, menegaskan garis lurus itu dengan amarah yang keras, begitu ia dengar bahwa cucunya menimbulkan heboh di sekolah.


"Dengar, Zarah," katanya. "Kita ini keluarga Islam. Sampai mati, kita semua tetap Islam. Mulai hari ini cuma boleh ada satu kebenaran yang kamu bawa ke sekolah. Dan ke mana pun kamu pergi nanti, kebenaran itu tidak berubah. Jangan berani-berani kamu pertanyakan. Mengerti?"


Zarah akhirnya tunduk. Ia bersedia dikirim ke sebuah pesantren "kilat" untuk memperbaiki imannya. Selama sebulan itu ia mengiyakan semua yang dikatakan para pembimbingnya. Ia tak hendak beradu argumen.

Orang-orang pun menyangka ia telah berubah jadi manusia baru. Tapi justru pada saat itulah Zarah sepenuhnya membangkang. Anak ini pulang dari pesantren dengan "kesadaran baru". Tapi sebenarnya ia mengikuti sikap ayahnya. "Aku adalah Firas berikutnya," katanya. "Inilah pemberontakan pertamaku."

Dengan cara apa anak-anak percaya?


Saya punya cerita lain, kali ini bukan fiktif: cerita seorang penyair yang "terkutuk". Arthur Rimbaud, sastrawan Prancis akhir abad ke-19 yang dianggap jadi pelopor Surealisme pada usia muda, menulis dengan rasa tak suka yang sengit tentang kepercayaan Kristiani—ajaran yang ditanamkan kepadanya di waktu kecil oleh ibunya. Sajak "Les pauvres à l’église" (Orang-orang Miskin di Gereja) menyebut "iman yang bodoh dan mengemis-ngemis". Sajaknya yang lain, "Soleil et chair" (Matahari dan Daging), meneriakkan "jangan ada tuhan-tuhan lagi".


Rimbaud, yang lahir pada 1854 dan berhenti menulis pada usia 20, berbeda dengan Zarah dalam novel Partikel.


Rimbaud—yang kemudian disebut sebagai salah satu dari "penyair-penyair terkutuk", les poètes maudits—menyerukan keharusan "modern sepenuhnya"; dalam "Soleil et chair" ia tegaskan bahwa "Manusia" adalah Raja dan Tuhan. Sebaliknya Zarah dididik ayahnya agar mengerti bahwa manusia cuma makhluk di tengah fungi, dan tak lebih hebat. Ada perspektif pascamodern di sini.


Tapi baik bagi Zarah maupun Rimbaud, Tuhan didatangkan ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak. Dalam sajak "Les poètes de sept ans" (Para Penyair di Usia Tujuh Tahun) Rimbaud dengan menyentuh dan menusuk menggambarkan seorang anak yang tiap hari Minggu diharuskan ibunya membaca Injil. Anak itu tak membantah. Tapi ia takut akan hari-hari Minggu itu, terutama di bulan Desember yang pucat, ketika ia harus duduk menghadapi meja mahagoni yang berat dan membaca Alkitab.


Tiap malam di kamarnya yang kecil

mimpi-mimpi menindasnya
Ia tak mencintai Tuhan; ia mencintai manusia.
Kita tahu ia anak yang tak bahagia. Tapi dengan cara apa ia percaya?

Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah, yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudian dunia yang dihuni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.


Goenawan Mohamad



sumber

Resep "Pedas" Suksesnya Sang Presiden Maicih

Sosok pemuda bernama Reza Nurhilman terlihat sederhana dan fasih memberikan cerita perjalanan kehidupannya pada M. Diaz Bonny S. dari Gatra. Menjelang sore, Rabu 1 Agustus 2012, di kediamannya Jl. Cipaku Indah 8 No 3A Setiabudi, Bandung Jawa Barat, pria yang biasa dipanggil Axl ini mencurahkan kisah sukses dirinya dan keripik setan Maicih yang kini berada dalam payung PT Maicih Inti Sinergi.Dua puluh tahun silam tepatnya 29 September 1987, di Bandung lahirlah seorang bayi lelaki yang diberi nama Reza Nurhilman. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dengan kedua kakak laki-lakinya (Arie Kurniadi dan Dimas Ginanjar Merdeka (Bob)).

Sejak umur satu tahun, Reza harus dihadapi pada perceraian orang tuanya. Ibunya Amanda Ike Herrdany terpaksa harus berjuang sendiri menghidupi ketiga anaknya. Tak ayal, Reza kecil pun diasuh oleh orang tua angkatnya, Prof. Dr. Yoyo Mulyana hingga umur tiga belas tahun di Kota Cimahi, daerah di sebelah barat Kota Bandung.

Masa kecil dilalui Reza seperti anak biasanya. Namun, prestasinya sudah terlihat sedari kecil. Ia menjuarai lomba MTQ dan Muadzin pada umur 11 tahun. Pendidikannya berlanjut ke SMP Negeri 2 Bandung. Ketika kelas 2 SMP ia sudah kembali tinggal bersama ibu kandungnya. Beranjak remaja, Reza yang penyuka musik alternatif dan juga guitarist/ vokalis di grup band Guns 'N Roses ini pun membentuk band bernama Member Throat walaupun memang tidak bertahan lama dengan berbagai alasan.  Nama panggilan Axl itu pun didapat karena kecintaannya pada musik GnR itu.

Insomnia Pagi


Dingin udara pagi telah sejak subuh merasuk hidung. Hembusan nafas berasap berulang kali kuhembuskan. Satu tarikan nafas di hidung, satu hembusan asap segar keluar dari mulutku.

Biasanya hawa dingin merupakan waktu yang tepat untuk menarik selimut. Bergumul, memejamkan mata, dan terlelap tidur. Selimut kain ditambah selimut hawa dingin adalah perpaduan sempurna untuk mengantarkanku ke alam mimpi pagi hari.

Tapi tidak untuk saat ini dan beberapa hari lalu. Udara dingin, embun dan kesunyian pagi tak lagi bersahabat denganku. Ia tak bisa lagi menemaniku masuk ke alam mimpi pagi hari. Bukan mereka sumber masalahnya, tapi aku.

Aku menderita insomnia. Insomnia pagi tepatnya. Bukan aku, tapi mengarah pada kondisi memprihatinkan.

Biasanya, insomnia terjadi di malam hari. Lain dengan apa yang aku alami. Aku mengalami insomnia di pagi hari. Ya, kondisi di mana aku sulit tidur di pagi hari.

Aku prihatin pada diriku jika tak bisa lagi menikmati pagi. Aku tak bisa lagi merasakan nikmatnya perpaduan selimut kain dan hawa dingin. Aku tak bisa lagi menikmati mimpi pagi hari yang seringkali indah. Aku prihatin saja jika ini terus berlarut-larut terjadi.

“Oh insomnia pagi, mengapa kau harus datang padaku di saat aku menginginkan mimpi pagi hari?” hatiku mencoba bertelepati dengan insomnia.

Tak ada jawaban. Diam. Suasana sunyi. Hawa dingin dan embun pagi sudah sejak tadi menunggu. Menunggu aku terlelap hingga ke alam mimpi.

Insomnia pagi, enyahlah pagi ini. Cukup pagi ini. Esok kau mau datang terserah lah. Sekali saja ku mohon. Eh, tapi kau baru merasuki beberapa hari yang lalu ya. Kenapa harus aku yang memohon padamu untuk pergi?

“Perlukah aku menikmati keberadaanmu? Meninggalkan kenikmatan pagi bersama hawa dingin dan embun. Apa yang bisa kunikmati darimu? Beri tahu aku!”

Diam. Terus saja diam. Hawa dingin mulai terasa berkurang.

Tiba-tiba insomnia pagi berbisik. “Matahari di ufuk timur sudah bersinar indah. Burung-burung terbang riang. Angin segar berhembus. Senyum aktivitas manusia merekah. Semangat hidup tumbuh kokoh. Berharap rezeki dari Yang Kuasa. Itulah keindahanku wahai sahabatku.”

Lalu, aku terdiam. Merenung, meresepai makna terpendam. Tiba-tiba....

... Insomnia berujar “Maukah kau berteman denganku?”

Ditulis pada 25 Juli 2012, Hari keempat bulan Ramadan dengan kondisi sulit untuk tidur di pagi hari.

Oh Jatinangor

Pagi ini sungguh dingin hingga menusuk tulang. Aku menggeliat bangun. Kulitku memberontak. Mengigigil, hingga gigiku bergemetukan.

Aku baru teringat bahwa aku berada di Jatinangor pagi ini. Tak seperti biasa aku kedinginan seperti ini di kota Metropolitan Jakarta. Engkau harus tau. Di Jakarta, setiap pagi bising kendaraan bermotor membangunkan aku. Tapi aku tak peduli. Seperti biasanya aku bangun setelah subuh berlalu.

Jatinangor, memberikan rasa berbeda. Udara dingin, sepi dan kicauan burung menjadi alarm alami yang sukses membangunkanku. Tentunya masih kebablasan. Subuh berlalu, matahari telah menjelang di ufuk timur. Tapi tak lebih dari jam 06.00 pagi kok. Ah, aku mencoba berkilah.

Oh ya, kau harus tau. Sejak awal Januari 2012 aku berpindah sesaat ke Jakarta. Kota penuh kerakusan. Penuh ketidsabaran. Kota yang terus menerima tetasan keringat penduduknya yang kelelahan. Jakarta sudah sesak, ujar seorang kawan. Tapi apa mau dikata, aku harus mencoba. Telah lima bulan aku bersahabat dengan Jakarta. Sekarang sudah bulan ke enam. Tak terasa memang. Panas terik matahari, asap kendaraan bermotor telah menjadi teman akrabku setiap hari. Menemani diri menyelesaikan tugas melaksanakan program magang di media massa.

Tapi, pagi ini aku kembali merindukan Jatinangor. Aku merindukan kesejukannya di pagi hari. Kedinginan tepatnya. Aku masih bersyukur bisa merindukan dan langsung merasakan. Masih teringat jelas di benakku. Lagi. Kau harus tau, di sebuah tanggal di bulan Agustus 2008, aku pertama kali datang ke Jatinangor. Sungguh pilu. Kaget. Betapa tidak, tata kota masih berantakan. Rumput menguning termakan musim kemarau. Tapi sekarang tidak.

Lagi. Kau harus tau. Jatinangor telah berubah. Lambat laun menjadi dewasa. Mengikuti umurku yang semakin tua. Ya, telah hampir empat tahun aku di Jatinangor. Para mahasiswa datang dan pergi. Ada yang lulus. Ada yang DO, ada juga yang baru mengikuti ospek universitas atau fakultas. Perguruan tinggi pun begitu.. Dulu ada Universitas Winaya Mukti (Unwim). Sekarang sudah tutup. Lucu, universitas ini hanya berisi mahasiswa untuk fakultas kehutanan. Entah hutan mana lagi di negeri ini yang dijadikan tempat mereka magang atau praktek kerja. Eh kau harus tau sekarang. Di Jatinangor sudah ada Institut Teknologi Bandung (ITB). Para mahasiswanya mungkin ramai. Ikut berpartisipasi menyesakkan tempat kosan. Bersanding bersama mahasiswa Unpad, Ikopin dan IPDN. Ah, selamat bergabung di dinginnya Jatinangor kawan.

The Panas Dalam pernah bersenandung bahwa Jatinangor sudah ada yang punya. Tapi aku lupa judul lagunya. Jika benar,judulnya kalau gak salah: Oh Jatinangorku  atau Jatinangor oh Jatinangor. Kau harus tau. Hanya kedinginanlah yang memiliki Jatinangor secara abadi. Apitan Gunung Geulis dan Gunung Manglayang membuat Jatinangor tetap dingin di pagi hari. Walaupun pembangunan cepat berkembang. Apartemen mulai berkeliaran. Tempat makan pun semakin marak dipinggir jalan. Tapi ingatlah, kedinginan Jatinangor akan selalu datang di setiap pagi. Siap menusuk tulang. Dan membangunkanmu dari tidur panjang semalaman. Oh Jatinangor, kerinduan setiap orang membuatku harus menikmati masa-masa bersamamu. Memang dulu aku tak peduli. Tapi tidak sekarang. Kuharap kedinginan Jatinangor tetap menemani. Hingga sidang skripsi menjelang. Hingga aku menjadi sarjana di waktu mendatang.

Ditulis dengan tubuh kedinginan. Selimut tipis. Perut masuk angin ditambah rasa malas mengerjakan lampiran laporan job training tv one. Ya, tepatnya hari Sabtu, 2 Juni 2012. 06.55 wib

Bebas Bersyarat, Ariel Cs Gelar Syukuran

Pada Senin, 23 Juli 2012, sekitar pukul 16.00 WIB halaman Hotel Grand Serella, Jalan R.E. Martadinata (Riau) No.56, Bandung, Jawa Barat terlihat ramai. Di halaman hotel telah berkumpul puluhan wartawan dari berbagai media massa. Di samping itu, terlihat pula puluhan remaja pria dan wanita yang sesekali meneriakkan kata “Ariel”.

Seperti yang dilaporkan M.Diaz Bonny S. dari Gatra, keramaian itu terjadi sebagai ungkapan rasa syukur atas bebas bersyaratnya Nazriel Irham atau dikenal Ariel Peterpan pada Senin, 23 Juli 2012, sekitar pukul 08.00 WIB. Suasana heboh bercampur teriakan pun terdengar juga di ruang Ballroom, lantai tiga Hotel Serella. Ruangan berkapasitas 400 orang, penuh sesak oleh para fans eks band Peterpan, wartawan dan infotainment.

Layang-Layang


Orangan sawah meliuk-liuk tertiup angin sore. Bergerak, bergoyang mengikuti irama hembusan angin. Begitu juga rumpunan padi. Orangan sawah, rumpunan padi dan angin seperti bersahabat karib. Dekat, menyatu, dan bersinergi dalam irama kicauan burung yang pulang.

Tapi persahabatan itu tidak terlihat pada sebuah layang-layang putih. Berbentuk hampir persegi empat. Tanpa ekor dengan kedua tali terikat di bagian kepala dan ekornya.

Sejak tadi siang, mungkin ketika matahari masih terik, di sebuah tempat di muka bumi ini, seorang anak kecil berbadan tambun berusaha menerbangkan layangannya sendirian. Tak kunjung berhasil. Layangannya tak bergeming. Tak mau bersinergi dengan angin. Tak mau terbang ke angkasa.

Anak kecil itu terus berusaha. Hembusan angin sore kian kencang. Layangannya tetap tak mau terbang. Terangkat sebentar, meliuk tak karuan dan kembali ke tanah. Jatuh.

Anak kecil itu tak mau putus asa. Kembali ia ambil layangannya. Tali benang kembali ia gulung. Diam sesaat, menunggu angin kembali berhembus. Selanjutnya ia pun mengulurkan lagi layangannya. Tetap. Layangannya jatuh, seperti tak sudi meninggalkan daratan.

Entah apa yang salah dengan layangannya. Entah layangannya terlalu ringan. Atau layangannya tak seimbang. Atau memang tiupan angin yang terlalu kencang.

Kesabaran selalu ada batasnya. Begitu pun dengan kesabaran anak itu menerima kegagalan. Ia berfikir. Duduk tercenung. Meraih bekal makanan yang ia bawa. Mengunyah sedikit demi sedikit. Makanannya pun habis.

Anak itu meraih kembali layangannya. Tali benang ia gulung. Kali ini tidak untuk diterbangkan. Ia mengamati seksama layangannya. Di beberapa sisi terlihat robekan-robekan kecil.

"Ini tak masalah," ia berujar dalam hati.

Ia pun berdiri. Ia mengangkat layangannya. Menjatuhkannya dengan terlentang. Tak sampai di tanah, layangannya tergantung. Kali ini berat di sisi sebelah kiri. Tak seimbang.

Angin kembali berhembus kencang.Dengan sigap ia raih layangannya. Ia dekap dengan sempurna. Mencoba untuk menyelamatkan layangannya dari hembusan angin.

Ia pun berkemas. Memasang sendal yang semenjak tadi dilepas. Meraih setangkai permen yang tersisa disaku celananya.Ia pun mengangkat kaki. Pergi meninggalkan tempatnya bermain di pematang sawah tadi.

Ia tak putus asa. Ia tak marah, tapi tersenyum manis, semanis permen tangkai yang terus mencair.

"Layanganku harus seimbang. Biar bisa mengangkasa," gumamnya bahagia.

Gubernatorial Election: Between Citizens' Party or Party's Party


Tomorrow, July 11, is a time for jakartans to elect their new governor for the 2012-2017 period. As we know, every candidate had campaigned about her vision and mission if they are elected in this election. Every candidate had a unique campaign. Each candidate held an event, showed a famous figure from the artist or popular person. For sample, duo candidate Foke-Nara shows manysingers and band: Roma Irama& Soneta, Ridho Roma, Wali Band, D'Massiv, Didi Kempot, and Chintya Sari.


Their supporter enjoys the show, dancing and shouting while mentioning the name of Foke-Nara. We could call this election campaign as citizen party. In this condition, many supporters can enjoy the show and get home a money from candidate.

In other hand, Alex-Nono candidate extended free medicine for their support. Once more time, this is a citizen party. Behind this party phenomena in election, not all people know that every party has prepared for their party. There have prepare what will they do if their candidate won this election.

Tomorrow, citizen party has done. No more money, no more food, no more medicine, just an adjustment of candidate promises as long as their campaign. 

Tomorrow, the result of the election will tell us as jakartans that how the condition of Jakarta in five years to go. Nobody knows about that. The important thing is everybody has experienced their party. The different thing is how long everybody can enjoy the effect of this gubernatorial election

Nanti Sajalah

Yah, aku terpana lagi. Mata nanar. Perih. Menatap layar monitor komputer yang terlalu terang. Diam. Senyap mulai merasuki.

Kamar ini terasa sunyi. Gelap. Cahaya-cahaya lampu diteras mencoba masuk melalui celah-celah jendela. Tak ada suara lain. Hanya pekikan speaker yang melantunkan lagu. Tak banyak lagu. Hanya sekitar 500 judul lagu yang telah aku acak.

Mata ini semakin nanar. Mempelototi huruf-huruf di papan keyboard. Samar-samar, tapi cukup jelas.
Tanganku lincah bermain menuliskan setiap kata-kata yang ada dibenakku. Terkadang terhenti. Menekan tombol delete. Beberapa kata salah.

Mataku semakin nanar melihat layar komputer. Kali ini tak pedih. Tapi menatap lekat, dekat, dan bersatu dengan cahaya yang menerpa mataku. Bingung. Aku terhenti mau mengetik apalagi.

Kepala ini terasa penuh. Acak. Berserakan. Laiknya banyak folder terinfeksi virus trojan yang mematikan file-file komputer. Memang tak sampai merusak. Hanya saja acak dan berserakan.

Aku tetap terdiam. Mengusap mata, muka dan kepala. Mencoba rileks. Berharap ada ide lagi untuk aku tulis. Ingin jejari tanganku bermain lagi di papan keyboard.

Come on, i need inspirations. I need somothing through in my mind. Help me. Help me...

Tak jelas. Semakin buram. Kacau. Aku belum bisa fokus.

 “Ah, nanti kau bisa,” hatiku membisikkan.

“Nanti? Kapan? Selalu cari alasan. Tak pernah mau mewujudkan.,” sisi hatiku lain yang membisikkan.

Diam. Sunyi.

Ah biarkan hatiku bergejolak. Aku mau rileks. Dengarkan dendangan musik yang terus bermain ditelinga ini.
Aku beranjak. Memencet sakelar lampu di pojok sana. Kamarku kembali terang benderang. Tapi tetap saja, lagu-lagu ini akan terus berputar, mendendangkan suara-suara merdu. Lalu mau kapan aku memainkan lentik jari tanganku di papan keyboard ini.

Entahlah.

Eh, nanti sajalah.