Menentang Formal, Berikan Solusi

Berawal dari ketidaksukaan pada pendidikan formal, Rahmad Jabaril (43) dan Ika (41) istrinya serta dibantu oleh seorang Antropolog Jerman, Artadina Mular mendirikan komunitas Taboo, di Jalan Dago Pojok, Bandung. Sejak 2004 komunitas ini berdiri, ia bersama rekan-rekannya dari ITB terus fokus mengajak siswa-siswa SD hingga SMA untuk belajar bersama. Karena ia meyakini bahwa pendidikan hakikatnya adalah belajar bersama dengan tidak adanya paksaan.

Rahmad menilai pendidikan formal selama ini menganut sistem birokratisme, vandalisme, dan pragmatisme.

“Karena tiga masalah pendidikan itu membuat manusia mengkorupkan dirinya. Seharusnya pendidkan itu membuat manusia menemukan jati dirinya,”ujarnya.

Sebuah proses pendidikan bermula dari pendidikan keluarga. Berbagai macam ilmu disampaikan oleh orang tua melalui kegiatan sehari-hari. Sopan santun dan tingkah laku yang baik juga diajarkan. Namun, keluarga tidak bisa terus-terusan untuk mengakomodasi kebutuhan anak akan pendidikan, sehingga diberikanlah pendidikan anak kepada pendidikan luar sekolah (PLS). Selanjutnya, PLS inilah yang kemudian diformalkan, seperti jenjang pendidikan SD,SMP,SMA dan Perguruan Tinggi.

Saat ini, pendidikan luar sekolah (PLS) memiliki arti tersendiri bagi masyarakat. Pendidikan luar sekolah sendiri bisa menjadi pendidikan penambah, pelengkap dan subsitusi dari pendidikan sekolah. Misalkan, lembaga les merupakan salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang berfungsi sebagai penambah pendidikan sekolah akan mata pelajaran.

Dengan semangat untuk mengubah paradigma masyarakat akan pendidikan luar sekolah, Rahmad dan istrinya terus berjuang. Berjuang dengan memberikan pencerahan bahwa pendidikan itu penting dan itu bisa dilakukan melalui pendidikan luar sekolah. Tidak hanya itu, Rahmad pun terang-terangan menyatakan pendidikan sekolah di Indonesia telah gagal.

“Karena pendidikannya yang tidak benar itu yang membuat kami protes pada negara. Itu yang mendorong kami membuat pendidikan komunitas,” ujarnya sambil tersenyum opitimis akan pemikirannya.

Dr. Ayi Olim, di dalam situs pribadinya www.ayiolim.wordpress.com menjelaskan bahwa pendidikan selama ini hanya bersifat kejutan, yang secara ekstrim digambarkan Botkin (1979). Pendidikan saat ini selalu dimulai dengan senyuman dan diakhiri dengan tangisan.

Padahal akar pendidikan adalah love atau kecintaan. “Kecintaan pada generasi. Oleh karenanya, setiap keluarga merindukan generasi yang lebih mumpuni dari orang tuanya.”

Dalam sistem pendidikan sekolah saat ini, setiap orang tergopoh-gopoh memasuki dunia pendidikan dengan sejuta harapan. Namun sangat disayangkan kurangnya keterlibatan emosional dalam menapaki proses pendidikan membuat orang lebih memilih jalan pintas yang berujung pada ketidakjelasan atau tangisan.
Pada dasarnya pendidikan luar sekolah memiliki tiga hal, yaitu belajar berbudaya, belajar untuk menjadi atau tidak menjadi, dan memiliki kemampuan merubah lingkungan.

“Dulu seseorang ngamen, sekarang menjadi pemain band berkelas. Itu baru bisa digolongkan pada pendidikan luar sekolah,” ujar Ayi menceritakan bagaimana contoh hasil dari pendidikan luar sekolah.

Pendidikan luar sekolah akan lebih baik di masa depan jika memberikan keterampilan yang lebih bagi peserta didik dan tidak menanamkan mental seperti buruh atau pekerja. Hal terpenting lagi adalah peserta didik bisa menjadi diri sendiri.

Untuk merealisasikan pemikiran Rahmad, berbasiskan komunitas Taboo ia pun bercita-cita akan menjadikan kampung Dago Pojok sebagai kampung wisata pendidikan dan seni.

“Tempat belajar bersama akan diperluas. Dinding dan pagar semua rumah akan dilukis oleh teman-teman seni rupa ITB. Nantinya, kampung ini akan menjadi tempat wisata seni,” ujar  pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung. “Konsepnya sudah dibuat dan sudah ngobrol dengan RT, RW, Lurah dan wakil walikota. Dan mereka menyetujui program ini. Mudah-mudahan tidak lama lagi,” tambahnya.

Tidak hanya itu, kampung Dago Pojok ini juga akan dikembangkan sebagai desa yang memiliki berbagai tempat pendidikan dan bisa menghasilkan industri kreatif. Pada nantinya, desa Dago Pojok ini bisa menjadi tempat pendidikan luar sekolah yang menghasilkan masyarakat berkreatifitas tinggi dan berkecukupan dalam finansial.

Ayi Olim, ahli  yang sering memberikan seminar tentang PLS menjelaskan bahwa selama ini pendidikan luar sekolah tidak jelas. Itu dikarenakan, selama ini PLS hanya dilihat sebagai komplemen, suplemen dan substitusi. Pada kesepakatan pendidikan yang dideklarasikan di Dakar tahun 2000 terdapat hal yang menyatakan bahwa pendidikan harus memenuhi kebermutuan, dapat diukur dan memiliki life skills.

“Pendidikan yang benar adalah bagaimana bisa menciptakan sesuatu. Jangan hanya menyalahkan, tetapi ada penggalian potensi diri,” ungkap Ayi.

Lebih jauh lagi, ia menjelaskan melalui pendapat Goads (1984), pendidik Perancis, keterukuran pendidikan luar sekolah dilihat bila seorang lulusan dinyatakan telah memiliki kompetensi yang sudah ditetapkan pada jenjang tertentu

Tidak hanya itu, tuntutan lebih jauh terletak pada tujuan pembangunan milenium atau millenium development goes (MDGs) yang menuntut  peran lebih nyata dari pendidikan untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan berat.

Beberapa negara maju seperti halnya Cina telah mencanangkan perubahan yang sangat mendasar. misalnya dari segi metode pembelajaran yang semula lebih banyak menekankan pada peluncuran dan bersifat tabularasa menjadi kemampuan untuk mengatasi masalah secara langsung.

Diakhir penjelasaannya, Ayi mengatakan bahwa mulai saat ini pendidikan harus kembali pada jati dirinya sebagai sebuah proses untuk menjadi lebih baik.  “Sistem pendidikan sekarang harus kembali ke kittah atau jati diri. Karena pendidikan adalah untuk menjadi diri sendiri dan memberikan kebermanfaatan bagi orang lain” simpulnya.

Peduli Sesama Berbagi Pendidikan

Feature
Disini di tempat ini yang penuh sampah dan kotoran manusia, masih tersisa, sisa sisa harapan untuk hidup bagi kami...
Datanglah, dan berikan kami harapan yang lebih banyak lagi...

By : Rumah Belajar Sahaja Ciroyom

Ruangan berukur 1,5x1,5 meter itu hampir sesak. Di dinding banyak tertempel berbagai macam gambar warna warni. Dua mangkok rujak pun hampir habis. Empat anak laki-laki itu pun tak kunjung puas. Sebelumnya beberapa gorengan seperti bala-bala, cireng dan tahu sudah habis mereka lahap.

Tidak hanya empat anak laki-laki itu saja, ada dua orang perempuan dan satu orang pria. Duduk melingkar dengan beberapa camilan, canda dan tawa selalu menghiasi perjalanan waktu. Empat anak laki-laki itu adalah Dendi (15), Ade (19), Irul(9) dan Yadi (11). Dua perempuan itu adalah mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sedangkan pria tadi adalah Gamyasta Rudana (45) atau biasa dipanggil Pak Gamesh.

Pada sore itu, asar sudah menjelang magrib. Akan tetapi, canda tawa diselingi oleh kegiatan belajar belum kunjung usai di sebuah rumah singgah, Jalan Pasar Ciroyom, Kota Bandung, Jawa Barat.

Belajar bersama itulah kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Setiap anak memegang sebuah buku tulis dan sebuah pensil atau pulpen. Di sebuah buku itulah mereka menuliskan pelajaran-pelajaran yang sudah ditetapkan. Ada pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, Menggambar, Ilmu Pengetahuan Alam dan sebagainya.

Antusias mereka untuk bertanya dan mengerjakan tugas mata pelajaran patut diacungkan jempol. Perawakan bersih, sopan santun yang di jaga dan kepandaian mereka yang tak lebih seperti siswa di sekolah biasa. Mungkin orang tidak menyangka bahwa mereka adalah anak-anak jalanan yang setiap hari mengamen. Anak-anak yang hampir setengah harinya habis dijalanan mendendangkan senandung untuk terus menyambung hidup hari demi hari dalam kehidupan mereka.

Rumah tempat mereka berkumpul, belajar, dan bernaung bersama disebut Rumah Belajar Sahaja Ciroyom. Sahaja merupakan kependekan dari Sahabat Anak Jalanan. Berdiri dari sebuah pemikiran santri-santri Daarut Tauhid Bandung yang memiliki kepedulian tinggi terhadap anak jalanan. Ela Nurlaela, mahasiswa PLB UPI Bandung merupakan perintis untuk mulai menjadikan Rumah belajar ini sebagai “markas” pendidikan anak jalanan. Pada akhirnya  1 Juli 2007, Rubel Sahaja Ciroyom ini pun diresmikan.

Pada awalnya, perjuangan panjang dan berat dilakukan terlebih dahulu oleh Pak Gamesh beserta teman-temannya yang peduli. Mereka ini pun turun ke jalanan, rel kereta api, dan pasar. Menemui sekumpulan anak-anak yang lagi mengamen dan mengajak ke taman untuk diberikan pelajaran.

“Memang sulit. Dulunya kami belajar di rel kereta api, di pasar dan semua itu merupakan tantangan bagi kami,” ujar Gamesh yang saat ini fokus membina anak jalanan.

Hari-hari pun dilalui dengan perjuangan tanpa henti. Pendidikan yang awalnya diberikan di rel kereta api, di pasar, dan dipinggir jalan lambat laun dilakukan disebuah rumah. Dengan bujukan dan iming-iming untuk menjadi anak yang baik, Gamesh dan temannya berhasil mengajak sepuluh orang anak jalanan untuk tinggal di sebuah gubuk kecil di jalan Pasar Ciroyom. Sebenarnya tidak sepuluh orang, ada sekitar dua puluh orang lagi yang berada di pasar Ciroyom. Kelakukan yang belum baik, pekerjaan rutin nglem masih dipertahankan, sehingga mereka belum dimasukkan ke rubel Ciroyom.

Menurut Gamesh, mereka tetap mengajak dan memberikan pendidikan pada anak-anak yang masih hobi ngleme. “Kita tidak bisa menghentikan kebiasaan mereka secara total. Kita hanya mengajak mereka tahap demi tahap untuk mengurangi kebiasaan buruk itu,” ujarnya.

Bagi mahasiswa yang memiliki kepedulian tinggi akan pendidikan anak jalanan, mereka datang dan mengajarkan ilmu yang mereka miliki. Dari berbagai universitas di kota Bandung, mahasiswa itu pun menyisihkan waktu untuk mengunjungi rubel Ciroyom ini. Misalkan Resti, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Bandung sekali dalam seminggu ia menyempatkan datang sambil membawa makanan dan memberikan pelajaran bagi anak-anak di sana. Sesekali mereka menyempatkan diri untuk menginap dan masak bersama. Dia mengatakan bahwa ini merupakan kesenangan karena bisa berbagai dengan anak-anak jalanan.

”Ini merupakan kesempatan yang langka dan banyak hikmah yang bisa dipetik,” ujar Resti.


Butuh Kepercayaan

Untuk menimbulkan kepercayaan anak-anak jalanan, diperlukan waktu yang lama. “Bertemu dan bisa berbicara dengan anak jalanan itu sudah syukur. Apalagi kita bisa mengungkit latar belakang kehidupannya. Tidak mudah itu,” ujar Gamesh. Memang anak jalan kebanyakan berasal dari keluarga miskin dan orang tuanya yang tidak akur. Keluarga yang tidak bisa memberikan perlindungan dan kasih sayang pada anak-anak.

Azan magrib pun mulai berkumandang. Anak-anak tadi pun mulai bergegas. Menyimpan semua buku dan alat-alat tulisnya.

“Hayo-hayo semuanya, mari kita salat”,ujar Gamesh mengajak anak-anak.

“Mau salat di sini saja atau ke mesjid? ” ujar Irul menanyakan tempat salat.

Gamesh pun menjawab sambil terus merapikan buku-buku pelajaran, “Iya di sini saja, ambil sajadah dan bentangkan di sini”.

Dengan sigapnya anak-anak itu membentangkan sajadah dan pergi berwudhu. Budaya canda pun tak lepas, walapun mau salat.

“Salat merupakan waktu yang tepat untuk mendekatkan diri pada anak-anak di sini,” ujar Gamesh. Di samping  makan bersama, salat juga merupakan hal penting yang bisa dijadikan peluang untuk lebih mengenal si anak. Anak jalanan akan merasa sama dengan orang-orang di dekatnya jika orang lain tidak menjaga jarak.
Salat magrib pun dilakukan. Ade pun bertindak menjadi imam. Suara bacaan Salat pun mulai terdengar, disambut dengan jawaban “Amin” dari makmum.Setelah selesai salat, mereka pun kembali beraktivitas. Ada yang bermain gitar, berbincang-bincang tentang kegiatan sehari-hari dan ada juga yang kembali belajar.

Siska, koordinator rubel Ciroyom ini menjelaskan bahwa anak-anak jalanan itu sebenarnya memiliki kemampuan yang baik untuk mendapatkan pelajaran. Hanya itu membutuhkan proses yang tentu tidak sebentar.

“Kita menggunakan sistem kekeluargaan, dengan memfasilitasi anak-anak layaknya anak rumahan yang memiliki keluarga seutuhnya dan memberikan berbagai macam pengetahuan yang akan menjadikan mereka bekal hidup di masa depan. Selain itu, kita berupaya mengurangi kebiasaan mereke ngelem dengan memberikan berbagai macam kegiatan pembelajaran, agar mereka dapat menghilangkan kecanduan lem tersebut,” ujar Siska yang juga mahasiswa Akuntansi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bandung.

Tidak hanya diberikan pelajaran, rubel Ciroyom juga memfasilitasi beberapa orang anak untuk yang memiliki kemampuan baik untuk mengikuti les komputer. Di samping itu, ada juga disuruh bekerja di tukang bengkel. Hal ini sangat membantu anak-anak tersebut bisa bertahan hidup tanpa mengamen.

“Saya sekarang ikut kursus komputer,” ujar Ade yang bercita-cita untuk membuat game tentang anak jalanan.
Kebiasaan nglem merupakan hal tersulit untuk dihilangkan bagi anak jalanan. “Saya pernah ditertawakan teman ketika ngamen karena sudah gak nglem lagi”, ungkap Dendi sambil menyalakan rokoknya. “Tetapi saya sekarang gak nglem lagi kang. Rokok doank, susah berhenti,” imbuhnya sambil tersenyum dan mulai menghisap asap rokok.

Memang kesulitan untuk menghilangkan anak jalanan dari kebiasaan nglem adalah tantangan terbesar yang dihadapi oleh para pembina rumah belajar Sahaja Ciroyom. “Karena pengaruh lingkungan yang amat kuat sehingga pendekatannya pun harus hati-hati,” tambah Siska.

Laila Qodariah, Ahli Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja mengatakan bahwa prinsip anak itu belajar dari Kognitif social learning. “Artinya, anak belajar melalui imitasi pada orang yang signifikan di lingkungan mereka”. Di samping itu, pribadi seorang anak bisa berubah tergantung di lingkungan mana ia dominan tinggal.


Mereka Pun Punya Masa Depan


Ciroyomku malang Ciroyomku sayang, kau adalah subuhku.

Kalimat itu dipetik pada akun facebook Rumah Belajar Sahaja Ciroyom. Kalimat tersebut menggambarkan, bahwa di pasar Ciroyom dan ditumpukan sampah masih terdapat banyak harapan. Dengan keikhlasan para relawan untuk membagikan ilmunya pada anak-anak jalananlah yang hingga sekarang rubel ini tetap ada.
Rumah belajar yang berpenghuni 10 orang ini, hampir semuanya sudah menunjukkan perubahan drastis ke arah yang lebih baik. Sehingga kakak pembina di sana mengatakan bahwa anak jalanan merupakan anak-anak yang hebat.

“Mereka adalah manusia luar biasa yang dapat survife dalam menjalani kehidupan. Mereka adalah anak-anak berbakat, yang kadang kita sebagai relawan dapat belajar banyak dari mereka tentang pentingnya menjalani hidup dengan penuh rasa syukur. Selain itu mereka punya hak, kewajiban yang sama dengan anak lainnya. mereka pun mempunyai potensi-potensi luar biasa yang layak dan harus dikembangkan,” ujar Siska menanggapi bagaimana potensi dan perkembangan anak ketika sudah masuk rumah belajar Ciroyom.

Kepedulian beberapa orang kakak pembina untuk mengajarkan anak-anak jalanan bisa digolongkan pada pendidikan luar sekolah (PLS). Pendidikan luar sekolah terdiri dari tiga bentuk, sebagai pelengkap, penambah dan pengganti. Fungsi pengganti adalah bentuk yang lengkap untuk menggambarkan rumah belajar Sahaja Ciroyom.

Ahli Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ayi Olim, mengatakan ada yang harus diperhatikan dalam menangani anak jalanan. Anak jalanan yang hanya mengalihkan meminta di jalan dengan meminta di tempat mereka dinaungi, tidak bisa dikelompokkan dalam pendidikan luar sekolah.

“Kecuali, jika anak jalanan bisa mandiri dan memiliki keterampilan nantinya.” Imbuh Ayi. Penanganan anak jalanan saat ini ada yang berupa model saja. Akan tetapi, ada juga yang benar-benar humanisme. “Anak jalanan diberi bantuin di rumah singgah, itu kan nothing to do”, karena pada hakikatnya pendidikan luar sekolah itu adalah mempersiapkan generasi selanjutnya untuk menjadi diri sendiri dan bisa kreatif menciptakan sesuatu.

Rubel Sahaja Ciroyom sudah menginjak usia 4 tahun. Di dalam umurnya yang masih muda, rubel ini sudah mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak dan sudah dikembangkan ke daerah Cimahi dan Cimindi. Dalam acara-acara tertentu, dinas sosial sudah memberikan bantuan finansial, tetapi untuk biaya operasional sehari-hari mereka belum mendapatkan bantuan.

“Untuk Ciroyom sendiri belum pernah, kita cukup dibantu oleh teman-teman mahasiswa dalam pendanaannya. Sedangkan rubel di Cimahi pernah dibantu dinsos dalam beberapa event,” ungkap Siska.
Siska menambahkan bahwa para pembina rubel Ciroyom, semakin berharap datangnya banyak relawan yang peduli akan pendidikan anak jalanan. Karena mereka juga manusia seperti kita dan memiliki masa depan yang masih bisa diperjuangkan.

Stop Perdagangan "Kartini" Muda

Pada 21 April di setiap tahunnya, Indonesia memeringati hari sosok perempuan yang sangat berjasa untuk menaikkan derajat perempuan Indonesia.

Raden Ajeng Kartini. Sosok yang dikenal memiliki semangat juang  untuk memajukan bangsa dan selalu mengedepankan jiwa demokratis bagi persamaan antara sesama manusia.

Dilahirkan dari keluarga bangsawan, Kartini tidak enggan berbaur dengan masyarakat biasa. Hidup dalam zaman feodalisme penjajahan Belanda pun tidak menyurutkan niatnya untuk banyak belajar dan berjuang  demi bangsa dan kaum perempuan.

Perjuangan yang dahulu ia lakukan, sepertinya belum berakhir. Generasi perempuan muda saat ini sepertinya telah terlena dengan apa telah mereka capai. Kesuksesan di berbagai lini kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Di samping itu pun, kesuksesan menggapai jabatan-jabatan struktural yang dahulunya banyak diduduki oleh kaum lelaki.

Generasi Kartini muda harusnya tidak terlena dengan apa yang telah dicapai. Kesetaraan gender bukanlah hal yang saat ini harus diperdebatkan. Ada hal yang lebih penting dan utama untuk diperjuangkan kembali oleh kaum perempuan.

Perempuan Bukan Barang Dagangan

Bangsa Indonesia mungkin sudah tahu bahwa Indonesia merupakan negara memiliki jumlah perdagangan perempuan yang tinggi. Sebuah dokumen Traffcking in Person Report yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan ESCAP (Economic and Social Commision for Asia adn the Pacific)  menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah korban perdagangan perempuan yang besar.

Fakta tersebut sesuai rasanya ketika dokumen itu juga menerbitkan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar-standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan.

Benar adanya jika pemerintah telah mengeluarkan UU No 21 tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, ada aspek lain yang belum secara utuh diperhatikan pemerintah untuk mengurangi dan membasmi perdagangan perempuan.


Pendidikan dan Lapangan Kerja

Sebagian besar korban perdagangan perempuan adalah mereka yang memiliki pendidikan rendah  dan dihimpit  kemiskinan. Betapa tidak, apa pun peluang kerja yang menghasilkan uang pasti akan diambil, walaupun jiwa, raga dan harga diri harus dikorbankan.

Perempuan-perempuan yang diperdagangkan pastilah akan bermuara pada pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, buruh di pabrik, dan (maaf) menjadi pekerja seks komersil (PSK).

Apa yang dialami oleh perempuan dalam perdagangan perempuan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Terlebih merupakan tanggung jawab kaum perempuan sendiri.

Pendidikan dan peluang kerja hendaklah menjadi fokus utama pemerintah untuk menghapus perdagangan perempuan. Pendidikan formal dan pelatihan profesional disertai adanya lowongan pekerjaan dalam negeri akan lambat laun menghentikan perdagangan perempuan ini.

Untuk kaum perempuan sendiri, bahu-membahulah memerdekakan perempuan dari korban perdagangan perempuan. Ingatlah, Raden Ajeng Kartini tentunya akan bangga melihat generasi Kartini muda yang terus berjuang untuk kaumnya sendiri.

Pendidikan Kejar Tayang

Dunia pendidikan saat ini tak ubah seperti sebuah sinetron di layar kaca yang sedang kejar tayang. Sinetron yang sedang kejar tayang tentunya hampir tidak memedulikan kualitas pesan dan estetika film, yang penting bisa tayang walaupun dengan proses tergesa-gesa. Begitulah dunia pendidikan saat ini, yang mana lebih berorientasi hasil dan seringkali tergesa-gesa.

Tidak bisa dipungkiri, sejak masyarakat diperkenalkan dan bergabung dengan jenjang pendidikan formal, TK-SD-SMP-SMA- Perguruan Tinggi. Pola pikir masyarakat telah terbentuk bahwa itulah yang dinamakan proses pendidikan. Dan semua jenjang harus dilewati satu per satu dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan.

Dengan adanya pola pikir yang menganggap pendidikan adalah sebuah jenjang-jenjang pendidikan, berlombalah orang tua untuk memasukkan anaknya pada sekolah negeri yang berkualitas baik, jika bisa anaknya dipaksakan masuk pada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Tak lain dan tak bukan agar anaknya menjadi insan mandiri dan memiliki kedewasaan dalam berfikir.

Tidak Seperti yang Diharapkan


Perjuangan orang tua agar anaknya bisa menjadi insan mandiri dan memiliki kedewasaan pemikiran, sepertinya belum bisa tercapai. Betapa tidak, ketika anak menjadi siswa di sebuah instansi pendidikan, ia “dipaksa” untuk mengikuti aturan main yang telah disiapkan. Baik aturan mengenai kedisiplinan di sekolah, maupun aturan dalam kurikulum pembelajaran.

Dalam kurikulum pembelajaran, siswa diberikan standar tertentu yang mau tak mau harus ia lewati jika ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Hal ini membentuk pola pikir peserta didik bahwa ia akan disebut sukses jika telah melewati standar atau batasan yang telah ditetapkan. Timbul kesan bahwa segala cara boleh dipergunakan asalkan standar tadi bisa tercapai bahkan terlewati.

Standar tersebut, secara tidak langsung membuat peserta didik tidak paham dengan apa yang mereka pelajari. Peserta didik hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru,tidak tahu apa tujuan akhir dari hal yang mereka kerjakan dan pelajari. Timbul ketakutan jika tidak mampu melewati standar yang ditetapkan. Pada akhirnya, upaya-upaya curang pun dipergunakan. Contoh kecilnya, sebuah penelitian kecil di sebuah universitas di negeri ini menyebutkan 1 dari 10 orang mahasiswa pernah mencontek saat ujian.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin mendukung upaya-upaya curang mengejar standar pendidikan. Dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru atau dosen misalnya, budaya copas (copy-paste) tidaklah hal yang memalukan untuk dibicarakan lagi. Wajar saja kiranya plagiarisme sudah hal lumrah dalam dunia pendidikan negeri ini. Tidak hanya siswa, guru atau dosen pun sudah terlebih dahulu melakukannya.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Selama ini, proses pendidikan tidak lagi seperti apa yang diharapkan oleh undang-undang tersebut. Ruangan kelas seperti “neraka”, yang membuat peserta didiknya ketika masuk kelas selalu dihantui kecemasan. Suasana kelas yang pasif, guru atau dosen seperti manusia super. Para pendidik tersebut siap “melahap” kekurangan-kekurangan peserta didik yang tidak mencapai standar yang telah ditetapkan. Sayang sekali bukan ? Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mengembangkan potensi diri dan mendewasakan peserta didik, menjadi panggung yang menakutkan dan lambat laun menghilangkan kepercayaan diri peserta didik.

Jika hal ini dibiarkan oleh pemerintah, bersiaplah generasi penerus bangsa nantinya hanyalah kumpulan orang-orang yang mudah diperbodoh dan tidak memiliki kepercayaan diri serta tidak memiliki kedewasaan dalam berfikir.

Perbaiki Sistem

Sudah kita ketahui, mungkin juga sudah dirasakan beberapa perubahan sistem pendidikan kurikulum. Kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan Kurikulum Terpadu Sistem Pendidikan (KTSP).
Beberapa perubahan kurikulum tersebut sepertinya tidak ada yang efektif. Betapa tidak, kurikulum tersebut hanyalah singgah sebentar di sekolah, lalu pergi dan diganti dengan kurikulum berikutnya.

Kurikulum yang pernah dicobakan tersebut hanyalah trial and error. Tidak ada upaya serius dari pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional untuk membuat sebuah sistem yang benar-benar mencerminkan arti pendidikan.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai lagi membenahi sistem pendidikan negeri ini. Tentunya sistem pendidikan yang berorientasi proses, mengedepankan kreativitas peserta didik dan menjunjung nilai-nilai moral serta mengandallkan kepercayaan diri. Jika sistem pendidikan seperti ini bisa dilaksanakan, sudah sepantasnya kita yakin bahwa nantinya akan lahir generasi-generasi muda cemerlang harapan bangsa.