Mereguk Ruh Dini Hari di Desa Tertinggi Pulau Jawa


Pernahkah Anda merasa dingin menggigil, gigi bergemetukan, dan pakaian  di badan seperti tak berguna di waktu dini hari di sebuah desa tertinggi Pulau Jawa? Jika belum, saatnya Anda meluangkan waktu untuk mengunjungi Desa Sembungan, Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,Jawa Tengah, Indonesia.

Pertengahan April 2013, saya berkesempatan mengunjungi desa yang terletak di ketinggian lebih dari 2000 mdpl itu.  Desa Sembungan juga dikenal sebagai Desa Matahari (Village of Sun). Mungkin orang akan beranggapan desa ini berudara panas karena dijuluki Desa Matahari. Anggapan itu termentahkan ketika saya berkunjung ke sana di saat matahari belum menyinari tanah itu. Udaranya sungguh dingin.

Sekitar pukul 01.00 wib dini hari, saya menginjakkan kaki di perkampungan yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa. Suasana didominasi keheningan, sesekali hembusan kabut tebal putih menderu deru. Anda mungkin bisa bayangkan desa ini seperti desa tanpa penghuni. Tak ada suara aktivitas manusia sedikitpun. Tak ada manusia di pos ronda. Begitu pun suara televisi. Kondisi sekitar diterangi lampu neon di pelataran rumah penduduk.
Berada di sebuah desa asing di waktu dini hari tentunya menjadi pengalaman berharga. Terlebih berada di sebuah desa yang menjadi buah bibir para wisatawan. Kabut tebal yang menutup jarak pandang, hembusan angin dini hari dan disertai hujan rintik rintik memberikan ruh baru bagi jiwa gersang warga perkotaan. Keheningan Sembungan seolah olah mengajak pengunjungnya untuk meresapi dan menyelami keberadaan diri manusia di dunia ini.

Ruh keheningan dini hari Sembungan membisikkan hati dan mengembus pikiran untuk sejenak merenungi kehidupan ini. Berpuluh puluh tahun saya menjalani kehidupan di dunia ini, tapi apa saja yang didapat? Ilmukah, Hartakah? Lalu mana jiwa dan nurani itu? Sembungan mengajarkan saya, manusia tak akan berkutik menghadapi kekuatan alam ini. Pada tubuh yang menggigil, pada gigi yang bergemutakan, pada tangan yang mengusap usap muka mencari kehangatan, hati nurani di dalam jiwa seolah ingin bercerita. Cerita seputar intropeksi ruh anak manusia yang jarang bersyukur pada Sang Kuasa.

Perjalanan panjang kehidupan bagaikan kabut putih tebal berisi air. Terlihat menyeramkan dari kejauhan dan membatasi jarak pandang. Ketika kita terus berjalan, kabut tebal di sekeliling kita akan terus terlihat, jarak pandang pun tetap terbatas. Padahal sebenarnya saya sudah berada dalam ketebalan kabut tersebut.

Kabut tebal di Desa Sembungan memberikan renungan berarti bahwa pada hakekatnya manusia pun berjalan dalam kegelapan dunia. Masa depan terlihat gelap, pandangan mata terbatas. Tapi sebagai makhluk ciptaan Tuhan kita ditakdirkan untuk terus berjalan melewati segala ketakutan akan ketidakpastian itu. Karena hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.

Dalam proses menuju ketidakpastian dan keterbatasan jarak pandang akan sesuatu di depan dan masa mendatang, dingin dan tebalnya kabut memberikan renungan bahwa di dalam proses perjalanan itu terdapat kesejukan udara bermuatan udara dan air yang menyegarkan. Tarikan dan hembusan nafas di dalam kabut kehidupan akan membawa kita pada renungan akan indahnya perjalanan kehidupan ini. Ya, tentunya masing masing dari kita memiliki cara dalam merenungi setiap kabut kehidupan ini. Tapi kabut dini hari Desa Sembungan membuatku mereguk intropeksi diri untuk terus melewati perjalanan dunia yang penuh kabut ketidakpastian. Jika Anda ingin mencoba, silahkan datang ke Desa Sembungan di waktu dini hari, apa yang Anda bisa dapatkan dan jangan lupa berbagi cerita ya!


Desa Istimewa

Saya menyebut Desa Sembungan ini sebagai desa istimewa. Desa ini dipercaya sebagai Desa Tertua, Desa Tertinggi, dan Desa Pertama yang dihuni oleh sekolompok masyarakat. Desa Sembungan diambil dari kata Sambungan yang berarti daerah yang menghubungkan antara Dataran Rendah dengan Dieng Plateu. Konon di masa lalu, desa ini menjadi area transit masyarakat Hindu Kuno.

Sebagai desa yang diminati wisatawan, akses menuju Sembungan terbilang mudah. Sarana jalan utama Dieng telah bagus, hanya memasuki desa Sembungan baru jalannya sedikit rusak dan berbatu. Pesona desa Sembungan cukup memberikan kesan menarik. Telaga Cebong, pemandangan pagar bukit di semua penjuru mata angin, dan lahan pertanian Carica warga yang memikat mata. Dan yang pasti jangan sampai Anda melupakan mentari pagi nan indah di puncak Gunung Sikunur di sebelah timur Desa Sembungan. Anda pasti akan ketagihan, begitu pun saya. Sekian.

Berikut beberapa hasil dokumentasi saya di Desa Sembungan:

Sunrise di Puncak Gunung Sikunir, Desa Sembungan, Dieng

Lahan garapan warga Desa Sembungan

Aktivitas penduduk Desa Sembungan di pagi hari

Gapura selamat datang Desa Sembungan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar