Stop Perdagangan "Kartini" Muda

Pada 21 April di setiap tahunnya, Indonesia memeringati hari sosok perempuan yang sangat berjasa untuk menaikkan derajat perempuan Indonesia.

Raden Ajeng Kartini. Sosok yang dikenal memiliki semangat juang  untuk memajukan bangsa dan selalu mengedepankan jiwa demokratis bagi persamaan antara sesama manusia.

Dilahirkan dari keluarga bangsawan, Kartini tidak enggan berbaur dengan masyarakat biasa. Hidup dalam zaman feodalisme penjajahan Belanda pun tidak menyurutkan niatnya untuk banyak belajar dan berjuang  demi bangsa dan kaum perempuan.

Perjuangan yang dahulu ia lakukan, sepertinya belum berakhir. Generasi perempuan muda saat ini sepertinya telah terlena dengan apa telah mereka capai. Kesuksesan di berbagai lini kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya. Di samping itu pun, kesuksesan menggapai jabatan-jabatan struktural yang dahulunya banyak diduduki oleh kaum lelaki.

Generasi Kartini muda harusnya tidak terlena dengan apa yang telah dicapai. Kesetaraan gender bukanlah hal yang saat ini harus diperdebatkan. Ada hal yang lebih penting dan utama untuk diperjuangkan kembali oleh kaum perempuan.

Perempuan Bukan Barang Dagangan

Bangsa Indonesia mungkin sudah tahu bahwa Indonesia merupakan negara memiliki jumlah perdagangan perempuan yang tinggi. Sebuah dokumen Traffcking in Person Report yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dan ESCAP (Economic and Social Commision for Asia adn the Pacific)  menyebutkan bahwa Indonesia memiliki jumlah korban perdagangan perempuan yang besar.

Fakta tersebut sesuai rasanya ketika dokumen itu juga menerbitkan bahwa pemerintah Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar-standar pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan.

Benar adanya jika pemerintah telah mengeluarkan UU No 21 tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, ada aspek lain yang belum secara utuh diperhatikan pemerintah untuk mengurangi dan membasmi perdagangan perempuan.


Pendidikan dan Lapangan Kerja

Sebagian besar korban perdagangan perempuan adalah mereka yang memiliki pendidikan rendah  dan dihimpit  kemiskinan. Betapa tidak, apa pun peluang kerja yang menghasilkan uang pasti akan diambil, walaupun jiwa, raga dan harga diri harus dikorbankan.

Perempuan-perempuan yang diperdagangkan pastilah akan bermuara pada pembantu rumah tangga, pengasuh bayi, buruh di pabrik, dan (maaf) menjadi pekerja seks komersil (PSK).

Apa yang dialami oleh perempuan dalam perdagangan perempuan merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Terlebih merupakan tanggung jawab kaum perempuan sendiri.

Pendidikan dan peluang kerja hendaklah menjadi fokus utama pemerintah untuk menghapus perdagangan perempuan. Pendidikan formal dan pelatihan profesional disertai adanya lowongan pekerjaan dalam negeri akan lambat laun menghentikan perdagangan perempuan ini.

Untuk kaum perempuan sendiri, bahu-membahulah memerdekakan perempuan dari korban perdagangan perempuan. Ingatlah, Raden Ajeng Kartini tentunya akan bangga melihat generasi Kartini muda yang terus berjuang untuk kaumnya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar