Menulis Itu “Bahaya”

Kegiatan atau aktivitas menulis sangat berbahaya. Terlebih jika dilakukan secara rutin dan teratur. Oleh karenanya, jika Anda ingin menulis, pikir-pikir dahulu sebelum melakukannya.

Bahaya yang saya maksudkan bukan lah bahaya yang mengancam keselamatan jiwa. Tapi, bahaya yang berupa candu. Jika dalam kamus dunia narkoba, candu adalah suatu keadaan di mana pengguna akan merasa ketagihan dan ingin mengulang aktivitas tersebut di lain waktu. Begitu juga menulis yang ternyata bisa mencandukan.

Kecanduan menulis hendaklah diharapkan ada di setiap pribadi. Betapa tidak, ketika candu menulis sudah merasuki jiwa, maka jiwa tersebut akan merasa gelisah jika tidak menulis. Setidaknya itu yang akan dan mulai saya rasakan saat ini. Ada sesuatu yang hilang rasanya ketika ide, pemikiran dan observasi di lapangan tidak bermuara pada tulisan. Walaupun belum tentu tulisan itu di baca atau bermanfaat untuk orang lain. Setidaknya menulis bisa melepaskan kegundahan pikiran.

Ada pepatah bijak yang mengatakan (saya lupa siapa yang mengatakan): “Menulislah Anda di setiap hari, maka suatu saat Anda akan jadi seorang penulis”. Saya pikir itu benar. Saya pernah berbincang dengan seorang penulis dan ia mengatakan untuk menjadi penulis tak susah. Cukup membaca dan menulislah secara rutin.

Terkadang godaan untuk malas menuangkan ide dalam bentuk tulisan menghambat kecanduan itu. Kesibukan aktivitas kita pun memberikan pengaruh besar. Tak ayal menulis hanyalah menjadi aktivitas di waktu senggang. Hal inilah yang terkadang membuat kita merasa semakin malas. Lambat laun aktivitas tersebut hilang dalam keseharian kita.

Di Kompasiana ini misalkan, setiap orang dari berbagai latar belakang bebas untuk menuangkan idenya. Tentunya harus sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan. Dengan berkumpul di Kompasiana, kita lebih bisa membangkitkan semangat untuk meraih kecanduan menulis itu. Ada rasa berbeda ketika pemikiran kita belum di posting di Kompasiana. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Namun, kita tentunya berharap tidak berhenti pada kecanduan saja. Tapi kecanduan itu  menghantarkan kita ke kondisi yang lebih baik. Saya menyebutnya kecanduan bermotif. Terserah motif Anda apa. Ingin dikenal, ingin kaya, dan sebagainya. Di balik itu semua, tentunya kita menginginkan kebahagian dan kepuasan pribadi akan karya tulisan yang telah kita hasilkan.

Sekarang saatnya untuk menjemput kecanduan itu. Biar di suatu waktu di masa depan (mungkin) ada tersisa pemikiran kita. Lebih hebat jika kita bisa seperti penulis-penulis hebat tanah air dan dunia. Memang semua itu butuh perjuangan. Untuk mendapatkan kecanduan itu pastilah ada kesakitan/perjuangan berat yang harus dilalui.

Selamat bagi Anda yang akan dan telah menikmati kecanduan itu.

Kalender

Mata ini nanar menatap tumpukan kalender usang tahun lalu di sebuah meja. Kadaluarsa dan tak guna lagi. Kalender baru mengganti kalender usang tadi. Tertata rapi dan selalu diperhatikan. Terkadang diberi tanda, digarisi atau dilingkari. Berbagai jenis gambar/ilustrasi  menambah indahnya kalender tersebut.


Urutan angka tertata rapi. Sebaris ada tujuh angka. Ada berwarna hitam dan merah. Di bagian atas angka tersebut terlihat nama hari. Senin, Selasa, Rabu, dan seterusnya. Warnanya pun ada yang merah dan hitam. Untuk angka dan hari berwarna merah, terdapat keterangan di bagian bawah. Menerangkan hari-hari penting atau hari libur.

Setiap tahun angka dan hari di kalender tak pernah berubah. Selalu ada angka 1 hingga 31. Selalu ada hari Senin hingga Minggu. Selalu ada bulan Januari hingga Desember. Selalu berulang. Yang berbeda hanyalah tampilan, desain, gambar dan angka tahunnya. Ya, sekarang angka itu baru, yaitu 2012. Baru beberapa pekan lalu angka itu berubah dari 2011 ke 2012.

Tak terasa kita sudah menginjak satu bulan di tahun 2012 ini. Kata suku Maya, mereka tak melihat lagi angka di tahun berikutnya. Konon, kalender mereka hanya sampai di tahun 2012. Ada gosip, tahun 2012 adalah tahun terakhir manusia di dunia ini. Kiamat. Tapi itu hanya gosip yang tak perlu kita percaya, kecuali Anda keturunan suku Maya.

Pergantian kalender tahun ke tahun sesuai untuk mewakili kondisi manusia dan dunia ini. Berputar tanpa berganti bentuk. Bumi selalu bulat. Langit terhampar luas. Tak pula bertambah cepat atau lambat. Yang berubah hanyalah tampilan dunia ini. Semakin modern, semakin cantik, dan semakin menuju kehancuran. Namun, entah kapan itu terjadi. Siapa pun tak tahu itu.

Sekarang waktunya kita untuk mulai menyadari keberadaan kalender dalam kehidupan kita. Di meja dan di dinding rumah. Maksudnya, kita lebih menyadari perjalanan hari demi hari di kalender kehidupan ini. Karena kita tak tahu waktu itu akan berhenti sampai di mana. Entah berhenti di angka berwarna hitam atau merah. Berhenti pun tak memedulikan apakah gambar atau ilustrasi di kalender tersebut bagus atau tidak. Tak peduli pula apakah itu hari penting atau tidak.

Kalender tetap lah kalender yang tiap tahun usang dan bertambah angka tahun. Tapi tidak dengan kita sebagai manusia yang sisa hari semakin sedikit. Jatah angka di kalender semakin hari semakin berkurang. Tak terlihat tentunya. Andaikan angka di kalender bisa merepresentasikan sisa kehidupan kita, entah apa yang kita perbuat saat ini. Mungkin tak disibukkan lagi menata kalender di tempat dan posisi yang tepat. Tapi, biarlah angka itu semakin berkurang. Karena itu tujuan kita sebagai manusia. Menuju kalender kehidupan abadi di dunia yang tak berbatas waktu nanti. Tentunya kalender yang tak kan usang dilekang waktu.

Superioritas Buruh


Hari ini, Jumat (27/1), buruh menancapkan satu sejarah di negeri ini. Sejarah yang mungkin menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, pengusaha dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Betapa tidak, sejak siang ribuan buruh memadati dan memblokade ruas tol Cikampek di pintu tol Cikarang. Aksi mereka pun luar biasa, yakni menimbulkan kemacetan hingga 30 km di dua arah Bandung-Jakarta.

Unjuk rasa ribuan buruh ini merupakan aksi menolak putusan PTUN Bandung yang memenangkan gugatan Apindo terkait upah minumum tenaga kerja. Apindo menang dalam menggugat SK Gubernur Jawa Barat tentang UMK di Kabupaten Bekasi. Tidak hanya memacetkan jalan tol, tetapi angkutan transportasi umum-dari dan ke- Jakarta harus menumpuk di ruas tol Cikampek tersebut.

Sebagian pihak menyesali ulah buruh yang mengganggu lalu lintas, terlebih jalan tol yang semestinya bebas hambatan. Tapi di sisi lain, saya melihat hari ini adalah hari kemenangan buruh di mana mereka telah menunjukkan superioritasnya. Yang mana selama ini mereka menjadi kelompok terpinggirkan oleh penguasa dan pengusaha. Kelompok yang menjadi korban kapitalisme modern. Tapi, hari ini mereka telah meraih perhatian berbagai pihak.

Hal yang wajar jika ribuan orang bertindak emosional jika itu terkait persoalan perut (duit/gaji). Terlebih jika pemerintah yang menjadi harapan pun tidak berpihak pada mereka. Mungkin, di saat ini demo di jalan tol lebih berguna dibandingkan berunjuk rasa di depan kantor gubernur/walikota. Karena memang selama ini, di setiap tahun, unjuk rasa para buruh terkait UMK (Upah Minimum Kerja) masih tetap berlangsung di Hari Buruh Internasional. Namun, tak ada perubahan yang signifikan atau evaluasi dari pemerintah. Seperti kata pepatah, “Anjing menggonggong kafilah berlalu”.

Siapa yang tahan, jika setiap tahun berunjuk rasa tapi tak juga didengar. Siapa juga yang tahan jika setiap hari diperas tenaga dan waktu tapi gaji tetap kecil. Oleh karenanya, penting bagi pemerintah pusat/daerah memperhatikan masa depan buruh ini. Jika tidak, permasalahan ini bisa menjadi efek domino di seluruh Indonesia.

Selamat untuk Para Buruh di Bekasi.

Pesawat Baru Presiden


Sebagai bangsa dan negeri yang kaya kita patut bersyukur dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam masa kepemimpinan beliaulah negeri ini (sebentar lagi) akan setara dengan Amerika Serikat. Hal itu dikarenakan presiden kita tercinta akan mempunyai pesawat baru. Laiknya Presiden Obama memiliki pesawat khusus presiden, Air Force One.

Baru-baru ini, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengabarkan berita gembira di Komisi II DPR, Jakarta, Selasa (24/1). Kabarnya: pesawat baru presiden akan terbang pada 2013. Saat ini pesawat baru presiden dalam tahap pengerjaan cabin interior dan security system. Sebagai informasi harga, pesawat tersebut tidak terlalu mahal. Pesawat berjenis Boeing Business Jet dibeli seharga Rp 526 miliar. Lebih murah dibandingkan biaya sewa pesawat perjalanan dinas Presiden dan Wapres RI setiap tahunnya Rp 180 miliar atau totalnya Rp 900 miliar untuk satu periode pemerintahan.

Kita juga patut bersyukur bahwa wakil rakyat di DPR belum meminta pesawat pribadi selaiknya presiden. Untungnya mereka masih meminta ruang baru, renovasi toilet dan parfum ruangan. Walaupun baru-baru ini beredar kabar bahwa mereka meminta jatah dana bantuan sosial (bansos). Tapi, tak apalah dibandingkan mereka meminta pesawat baru. Lebih hemat bukan? Mengingat kita negara yang kaya loh. Setiap tahunnya APBN Indonesia mengalami peningkatan. Untuk tahun 2011, belanja APBN berkisar Rp 1.300 triliun. Tak seberapa jika dibandingkan pesawat baru presiden tadi.

Kita lebih patut bersyukur lagi, di tahun 2012 ini bangsa kita masih mampu menghadapi berbagai musibah dan permasalahan negeri ini. Di berbagai daerah terjadi kerusuhan terkait pemilukada, perebutan hak tanah, pembunuhan, rusuh dalam unjuk rasa, dan bencana alam. Kita pun bersyukur pula negeri kita terhindar dari krisis ekonomi yang saat ini bergejolak di Eropa dan Amerika. Malahan ekonomi kita tumbuh baik. Dunia investasi berkembang pesat. Investor asing semakin mengalihkan modalnya ke dalam negeri.

Walaupun presiden nantinya punya pesawat baru, kita juga patut bersyukur karena pemerintah masih mau mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga saat ini. Semoga rencana untuk mencabut dan membatasi subsisi BBM tidak terjadi di April mendatang.

Ya. Kita harus memberi selamat pada pemerintah kita saat ini. Segala upaya telah mereka lakukan. Walaupun ada pihak yang mengatakan negeri ini adalah negeri auto pilot. Tak apalah, asalkan pesawat presiden nggak auto pilot, kan bahaya. Sekarang, di tengah berbagai permasalahan bangsa mari kita berdoa pesawat baru presiden segera selesai. Supaya nanti presiden mudah untuk menemui rakyatnya di berbagai daerah tanpa perlu menyewa pesawat. Saya yakin, doa 230 juta rakyat Indonesia akan memuluskan proses pembuatan pesawat baru presiden. Oh ya, mari kita ucapkan selamat juga pada Pak Presiden.

Selamat memiliki pesawat baru Pak SBY (nanti 2013).

Sumber: mediaindonesia,detik, dan sumber internet lainnya

(Sejarah) Mie Spesial dari Kakek


Anda mungkin ingat dan terkesan dengan sebuah iklan produk mie spesial belakangan ini. Lucu dan kreatif. Ceritanya bermula dari seorang anak yang baru pulang sekolah. Sesampai di rumah, ia pun disodorkan mie ayam spesial oleh neneknya. Ia pun makan dengan lahap. Namun, ketika mie itu habis, ia kaget dan berhenti makan. Ternyata ia ingat akan ayam peliharaannya. “Nenek, ayamku? “. Ah, saya lupa adegan tepatnya. Saksikan sendiri ya.

Iklan tersebut masih terbayang-bayang ketika saya menuliskan tulisan ini. Sambil tersenyum saya pun teringat cerita mie spesial lain dari kakek. Mungkin Anda sudah ada yang tahu. Tapi bagi yang belum, saya akan ceritakan untuk Anda.

Kakek Ando

Di zaman dulu kala, di Jepang, konon di abad 19, seorang anak ditinggal orang tuanya. Ia pun hidup bersama neneknya. Pada saat itu ia masih berumur 3 tahun. Dalam pertumbuhannya, ia ikut membantu neneknya mengurusi urusan rumah seperti mencuci dan memasak. Dengan aktivitas tersebut, ia pun menjadi pandai memasak.

Dengan kemampuannya itu, ia pun berangan-angan jika sudah besar akan menjadi pedagang ulung. Syukurnya, cita-citanya tercapai. Ketika ia sudah beranjak dewasa, Jepang mengalami krisis pangan. Bantuan Amerika Serikat berupa gandum banyak sekali datang. Harga terigu melorot. Namun, ia melihat masyarakat Jepang sangat suka makan mie. Ia pun berfikir dan memutar otak bahwa hal ini bisa menjadi ladang bisnis yang luar biasa. Kebetulan pada saat itu, mie tidak bisa bertahan lama dan harus dikonsumsi segera.

Ia pun mulai bereksperimen. Di belakang rumahnya, ia pun mulai meracik gandum menjadi mie dengan berbagai rasa. Tentunya harus bisa bertahan lama. Mulai dari kegurihan mie, kekhasan bumbunya dan daya kemas ia pikirkan.

Di tahun 1958 ia sukses besar. Eksperimennya sukses besar. Ia pun mendirikan pabrik mie dan diberi nama Nissin Foods. Beberapa tahun kemudian, ia menambah pabrik mie menjadi dua, tiga, dan seterusnya. Namun, ia pun belum puas. Lalu ia berkeliling Eropa dan Amerika untuk melihat produk mie di sana. Setelah pulang ia pun memperbaiki kualitas produknya menjadi lebih baik.

Pulang dari studi bandingnya, ia pun semakin sukses besar. Pabriknya pun disulap menjadi industri. Genap di umur 77 tahun, di tahun 1988 ia pun mendirikan gedung dan diberi nama Istana Mie. Isinya lengkap, ada restoran mie, bar, tempat hiburan dan museum mie. Mau tau namanya ? Dia adalah Mamofuku Ando. Ya, kakek Ando kalau saya menyebutnya.

Lalu, bagaimana dengan nenek dan anak laki-laki tadi. Itu cerita lain lagi. Mungkin di suatu saat di masa depan, bocah itu akan menjadi Ando-Ando muda yang membuat mie semakin spesial. Tentunya tanpa melupakan ayam-ayam peliharannya.

Salam mie !

Dikutip dari berbagai sumber (blog dan vivaforum)

Pemilu Kepala Daerah Untuk Siapa?


Kamis (26/1), Seminar Nasional “Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” resmi ditutup di Hotel Sultan, Jakarta. Seminar yang berlangsung tiga hari itu menyoroti berbagai peristiwa penting pemilukada di seluruh Indonesia. Sebelum penutupan, terlebih dahulu melanjutkan sesi III seminar, yaitu, “Pemilukada: Kini dan Masa Datang.

Dalam acara tersebut, berbagai tokoh datang. Mulai dari ketua MK, ahli hukum pidana, anggota DPR, dan wartawan. Selain itu, juga hadir perwakilan dari setiap kota/kabupaten yang mencakup KPU, Bawaslu, Panwaslu dan Polda. Acaranya meriah, pesertanya pun semangat. Itu terlihat di saat peserta seminar diberikan kesempatan untuk bertanya dan berpendapat. Saya juga bagian dari peserta itu. Tentunya peserta tentatif, pers.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan informasi ini dan sekaligus ingin memberikan komentar akan proses pemilukada di Indonesia selama ini. Tentunya pandangan itu bersumber dari proses diskusi dalam seminar nasional tadi.

Jujur saya mengantuk di ruangan seminar itu. Adem dan sejuk tentunya. Tapi rasa kantuk itu hilang ketika sesi tanya jawab berlangsung. Berbagai peserta berlomba-lomba untuk memberikan interupsi, baik berupa pertanyaan atau pun pernyataan. Dari sebelas peserta yang bertanya dan berpendapat, saya dapat menyimpulkan bahwa pemilukada di negeri ini masih jauh dari baik. Kesimpulan itu timbul ketika masih banyak peserta yang menanggapi politik uang, kecurangan sistematis, dan kekerasan yang diakibatkan menang dan kalah. Simpulan tersebut juga timbul ketika ada wacana untuk mengembalikan lagi pemilihan kepada daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Melihat realitas tersebut, saya pun pun berfikir, untuk apa pemilukada dilaksanakan secara langsung selama ini? Apakah untuk kepentingan golongan saja? Atau hanya sebatas uforia era demokrasi ? Mengingat pemilihan umum secara langsung oleh rakyat dimulai pada 2004 silam.

Masyarakat, khususnya di daerah tentunya belum banyak yang melek politik. Mungkin sebagian besar di antara mereka tidak mempedulikan proses pemilukada itu. Hal terpenting mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Melihat kondisi tersebutlah politik uang semakin merajalela. Satu suara untuk satu pasang calon pemimpin daerah hanya dihargai Rp 25.000- Rp 50.000, mungkin bisa lebih tinggi jika pasangan calon memiliki modal besar. Masyarakat daerah semakin tidak tahu bagaimana elit politik melakukan kecurangan sistematis, seperti penggelembungan suara.

Lebih hebatnya lagi, pemilukada menyisakan hal-hal negatif. Para wakil rakyat yang terpilih terjerat korupsi setelah mereka menjabat. Ada juga yang pecah kongsi dan tidak menyelesaikan kewajibannya. Ada juga partai politik/pasangan yang kalah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mirisnya lagi, bentrok antar pendukung calon tak dapat dihindari. Kekerasan horizontal tak dapat dielakkan. Malahan, baru-baru ini saya melihat kantor dan mobil di Kabupaten Bima di bakar massa. Konon masih terkait dengan pemilukada.

Lalu, masihkah kita mempertahankan pemilukada seperti itu? Pemimpin yang terpilih tidak amanah dan cenderung korup. Masyarakat pemilih hanya mendapatkan uang hasil jual suara sesaat. Pertumbuhan ekonomi di daerah lambat. Padahal untuk sekali pemilukada bisa menelan 15-30 miliar rupiah. Terlebih biaya pasangan calon, entah berapa yang harus dikeluarkan.

Oleh karenanya, apakah kita akan mengembalikan proses pemilihan kepada daerah ke DPRD ? Jika jawabannya iya, tentunya kita sudah merusak cita-cita demokrasi yang telah lama diperjuangkan bangsa ini. Jika tidak, bagaimana caranya pemilukada langsung itu bisa menghasilkan pemimpin yang benar? Semua peluang itu telah didiskusikan dan diperbincangkan dalam Seminar Nasional itu. Masukan dari berbagai pihak, seperti, ahli hukum, akademisi dan wartawan pun sudah diterima MK. Mungkin, untuk saat ini waktunya kita untuk melihat apakah hasil evaluasi tersebut benar-benar dijalankan oleh Pemerintah, MK dan DPR? Ya, semoga kita masih bisa berharap.

Dicari: Kambing Hitam DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia naik kelas. Dulu, mereka suka bermain berbagai jenis ikan. Mulai dari ikan teri, ikan salmon, dan ikan paus. Puas bermain binatang air, mereka pun mencoba ke wilayah daratan. Tak muluk-muluk, mereka saat ini disibukkan dengan pencarian kambing hitam. Tentunya, hingga saat ini belum ditemukan.

Kambing hitam ini tidak jelas kelaminnya. Entah itu jantan atau betina. Namun, pencarian kambing hitam ini muncul ketika wakil rakyat disibukkan ketika mereka merenovasi toilet dan ruang rapat banggar. Hal yang buat mereka makin lupa adalah ketika mereka disibukkan akan permasalahan kalender dan pengharum ruangan.

Sangat disayangkan rasanya, anggota dewan terhormat dan (mungkin) memiliki intelektual baik harus kehilangan kambing. Tapi, jika dipikir-pikir mereka patut merasakan hal serupa. Betapa tidak, mereka hanya menghabiskan waktu untuk pelesiran ke luar negeri. Rancangan Undang-Undang dibiarkan terbengkalai. Ketika masa bersidang, banyak di antara mereka tidak datang. Kursi mereka kosong. Anggota yang datang, hanya untuk tidur dan berbincang-bincang rekan sejawat. Pidato pimpinan DPR dan interupsi bagaikan dongeng pengantar tidur. Tapi, tidak semua seperti itu.

Kambing hitam itu mungkin saja bisa menjadi sapi atau kerbau. Mengingat sepak terjang wakil rakyat yang hebat dan menghebohkan. Hebat, karena tak peduli kondisi rakyat. Hebohnya terletak pada uang yang dihabiskan untuk pemborosan.

Di tahun lalu, DPR harus gagal dalam rencana pembangunan gedung baru senilai Rp 1,3 triliun rupiah. Pepatah - banyak jalan menuju Roma - benar-benar dipahami dan dipraktikkan. Tidak jadi gedung, ruangan pun bisa. Tak tanggung-tanggung, Rp 20 miliar dihabiskan untuk ruangan berukuran 10 x 10 meter persegi. Tentunya dilengkapi fasilitas bintang lima. Ada kursi ergonomis anti pegal, pengedap suara, dan televisi berharga mahal. Jangan salah, kursi tersebut produk internasional.

Kita kembali ke kambing hitam. Saya menilai, DPR ini kebanyakan binatang peliharaan. Ikan belum selesai, sudah beralih ke kambing. Untuk kambing hitam yang belum ditemukan ini, sudah selaiknya DPR gentelman. Tidak saling tunjuk dan saling menyalahkan. Toh, sama-sama pemelihara binatang.

Konon katanya, pimpinan DPR Marzuki Ali sekaligus pimpinan BURT tidak dilibatkan dalam renovasi ruangan ini. Saya pikir ini wajar, karena pimpinan terhormat ini lagi sibuk dengan permasalahan kalender dan parfum ruangan. Karena kesibukannya itulah, pimpinan DPR harus tidak diikutkan dalam pembahasan. Akibatnya sederhana, Sekjen DPR Nining Indra Saleh mendapatkan Surat Peringatan (SP) dari Marzuki Ali.
Apakah itu tindakan aneh? Tidak. Sudah sewajarnya di sebuah lembaga. Tapi, permasalahan sekarang adalah uang itu sudah dibelanjakan. Ruangan rapat sudah mewah. Kursi produk luar negeri sudah ada di sana. Lalu buat apa saling tuding sana sini?

Namun, tunggu dulu. Fakta di lapangan mengatakan Sekjen tidak mau disalahkan. Nining Indra tidak mau bertanggung jawab dengan renovasi ruang banggar tersebut. Lalu, telunjuk tuduhan diarahkan ke Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR. Toh, ketua BURT adalah Marzuki Ali dan ia tidak mengetahui hal itu. Nah, setelah ini mau ke mana lagi?

Saya pikir, ini adalah dagelan baru. Panggung sandiwara baru. Mungkin anggota dewan berfikir, rakyat tentunya sudah puas dan bosan dengan sajian bernuansa ikan. Saatnya mengganti dengan sajian kambing. Mari kita saksikan pencarian kambing hitam DPR. Selamat menikmati !

Stop Hujat Afriani!


Saya bukan kerabat Afriani. Bukan pula pengacaranya. Saya hanya masyarakat Indonesia biasa yang semakin gerah akan pemberitaan kecelakaan maut Tugu Tani.

Tiga hari belakangan ini, perhatian masyarakat Indonesia terpusat pada kecelakaan maut yang menelan 9 korban tewas di Tugu Tani Jakarta. Media massa berbondong-bondong menyoroti persoalan ini. Media cetak dan siaran berlomab-lomba menjadikan peristiwa naas tersebut sebagai sajian utama. Video dan foto kecelakaan tersebut beredar di internet. Beberapa media cetak, baik lokal maupun nasional, menjadikannya sebagai headline.

Perhatian tersebut pun diiringi berbagai komentar masyarakat. Di media sosial berbagai hujatan muncul. Tentunya ditujukan pada pengendara mobil, Afriani cs. Berbagai simpati pun muncul untuk keluarga korban. Ya, korban yang konon katanya tak kesampaian melihat Monumen Nasional (Monas).

Melalui tulisan ini, saya mengajak pembaca semua untuk berfikir jernih dan meniadakan emosi sesaat. Kita tahu, pelaku sudah pasti bersalah. Hukum sudah menjawab itu semua. Tapi, kita sebagai masyarakat Indonesia masih saja berlaku kekanak-kanakan. Emosi yang meledak-ledak dan sesaat, tentunya melupakan esensi peristiwa tersebut.

Begitu besar pelajaran yang diambil dari peristiwa itu. Pertama, saya menilai bangsa kita saat ini dalam kondisi labil. Bisa dikatakan seperti ABG (Ababil Baru Gede). Suka menghujat, emosi labil, dan belum menyentuh akar permasalahan. Kita sebagai bangsa yang dari berbagai suku dan agama ternyata masih belum mampu menyamakan pemikiran mengakar. Maksudnya, pemikiran yang tidak melihat permasalahan di permukaan saja, tetapi pemikiran yang global dan mengakar.

Kedua, bangsa kita saat ini tidak bisa memetik pelajaran dari setiap peristiwa. Terkait permasalahan miras dan narkoba misalkan, permasalahan ini sudah sejak kapan menjadi sorotan pemerintah dan pihak agama. Berbagai upaya untuk melarang peredaran miras hanya menjadi wacana tanpa eksekusi. Jika pun dieksekusi, bangsa kita sibuk dengan perang argumentasi. Perang argumentasi tanpa esensi.

Ketiga, mari kita mendorong pemerintah untuk meningkatkan Perda pelarangan miras menjadi undang-undang. Mengingat hal ini memberikan dampak negatif yang besar sekali bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika kita sebagai bangsa yang beradab dan menyadari ketiga poin tadi, tentunya hujatan caci maki tak akan keluar dari mulut kita. Pasti Anda akan lelah sendiri jika hanya bisa mengomentari dan mencaci maki, namun permasalahan atau peristiwa maut itu terulang lagi di masa mendatang. Tentunya, jika inti permasalahan tidak dikomentari dan dikritisi.

Saya berfikir, cukup sudah lah penderitaan yang diterima oleh Afriani dan kerabatnya atas musibah itu. Cukup sudahlah rasanya kesedihan yang diterima oleh kerabat korban kecelakaan. Biarkanlah kedua belah pihak menyelesaikan permasalahannya dengan hukum dan Tuhan. Cukup sudahlah media mengeksploitasi peristiwa ini. Masih punya hati nurani kan, tentunya. Sesekali coba bayangkan, bagaimana jika seandainya Anda dalam kondisi tersebut. Bagaimana perasaan Anda jika di berbagai media tercatut nama Anda. Tidak satu pun yang menginginkan tentunya.

Oleh karenanya, mari kita alihkan pikiran dan emosi kita untuk bersama-sama membenahi bangsa ini dari dampak negatif minuman keras dan narkoba. Mari kita bersama-sama mengingatkan pemerintah untuk selalu konsisten mengatur dan menegakkan peraturan yang memberikan rasa nyaman dan aman bagi masyarakat. Semoga hati nurani kita bisa ikut bicara.

Pengamen Jakarta

Bagi Anda yang tinggal di Jakarta tentunya tidak aneh lagi dengan fenomena pengamen jalanan. Tapi, bagi Anda yang sesekali datang ke Jakarta mungkin menganggap ini adalah sebuah fenomena menarik. Tentunya, menarik untuk diamati dan dikomentari.

Siang itu, Senin (22/1), di sebuah angkutan umum - bus Metro Mini 640 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang- seorang bocah laki-laki barusan naik. Dia berumur kira-kira 15 tahun. Berkulit hitam dan berambut pirang. Di lengan tangan kanannya ada gelang. Di telinga terdapat anting logam berwarna silver. Bocah ini memakai kaus lusuh dan celana pendek yang lumayan kotor. Kakinya murni telanjang tanpa alas kaki.

Setelah menemukan posisi berdiri yang pas, ia pun mengucapkan salam dan permisi pada penumpang. Bekas botol susu ultra milk yang berisi pasir ia goncangkan. Suaranya pun keluar. Walaupun urat lehernya sudah keluar, suaranya tetap kalah dengan hiruk pikuk lalu lintas jalanan. Penumpang pun tidak ada yang peduli. Ada yang asik mendengarkan musik dengan headset di telinga. Ada yang tidur. Ada pula yang menatap ke luar jendela dengan sesekali menyeka tetesan keringat.

Selang lima menit, bocah tadi pun selesai dengan tugasnya. Tak lupa pula ia mengucapkan salam dan permohonan maaf jika ia mengganggung para penumpang. Setelah itu, ia mengeluarkan plastik kantong. Ia pun berjalan menyusuri lorong bus. Mengumpul rupiah demi rupiah dari keikhlasan para penumpang. Syukurnya, masih ada yang peduli dan memberi walaupun itu koin seratus atau lima ratus. Sesampai di pintu belakang, ia pun meminta turun pada sopir. Kakinya yang telanjang terlatih sekali meloncat dari bus sekalipun bus belum berhenti sempurna. Panasnya aspal sepertinya tak dirasakannya lagi. Bus pun berjalan dan bocah tadi pun menghilang.

Dari bocah tadi, begitu besar pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran terpenting adalah ucapan permisi dan minta maaf. Ingat, ini adalah kota megapolitan yang sangat matrealistik. Tapi, di tengah kerasnya kehidupan itu, bocah tadi mampu menunjukkan daya tahannya, terlepas itu dia sebenarnya tahan atau tidak.

Mungkin ada di antara Anda yang mengatakan, ucapan permisi dan maaf dari pengamen itu hanyalah penarik hati bagi orang lain. Dalam tulisan ini, saya mengesahkan saja pendapat Anda. Namun, hal terpenting adalah mampukah kita untuk belajar dari sana? Mengingat, kehidupan kita mungkin ada yang lebih baik dibandingkan pengamen jalanan tadi.

Pengamen jalanan adalah fenomena sosial di setiap negara dan kota. Amerika Serikat yang notabennya negara adidaya ternyata masih memiliki pengamen jalanan. Apalagi Jakarta yang merupakan ibukota negara Indonesia dan menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Dengan perputaran uang yang sangat cepat, ditambah daya tarik ibukota membuat orang-orang di daerah berlomba-lomba memasuki Jakarta. Tak peduli, apakah mendapatkan pekerjaan atau tidak. Hal terpenting, ke Jakarta dulu deh.

Bocah tadi merupakan satu contoh di antara ratusan ribu atau mungkin jutaan pengamen jalanan di seluruh kota di Indonesia. Lalu timbul pertanyaan dibenak kita, salah siapakah ini?

Sebagai jawaban, pengamen jalanan telah berulang kali mendendangkan mengapa mereka menjadi pengamen. Bisa disimpulkan, dari senandung itu, mereka mengutuk pemerintah yang korup dan mementingkan diri sendiri. Mengutuk pemerintah yang membuat pembangunan di negeri ini tidak merata. Pengangguran ada dimana-mana. Harga bahan makanan semakin mahal. Jangankan untuk membiayai sekolah, untuk membeli sandal dan makan saja mereka sangat kesusahan. Mau tak mau kaki mereka harus direlakan bersentuhan dengan aspal panas sengatan matahari.

Wajar kiranya nasib mereka belum berubah ke arah lebih baik. Dendangan sindiran lagu mereka untuk pejabat pemerintah tidak pernah didengar oleh orang-orang bersangkutan. Pemerintah dan wakil rakyat bisa dibilang tidak pernah menggunakan angkutan umum dalam bertugas. Mobil-mobil mewah telah membatasi mereka untuk mendengarkan dendangan hati para pengamen jalanan. Sungguh sangat disayangkan. Coba seandainya para pejabat mencoba menggunakan angkutan umum, tentunya akan berkurang pengamen di negeri ini.

Tapi, apalah daya dendangan lagu pengamen Jakarta dan di kota-kota lain menguap seiringan panas lalu lintas. Bersyukur bila cucuran keringat berbalas recehanan kepingan rupiah. Semoga itu cukup untuk makanmu sehari-hari dan membeli sandal jepit. Semoga suaramu tak sia-sia di hadapan Tuhan kelak.