Mengejar Perayaan Seribu Lampion di Candi Borobudur

Setiap tahun di saat puncak perayaan Trisuci Waisak di Candi Borobudur selalu menjadi magnet kuat bagi masyarakat Indonesia dan manca negara untuk dikunjungi. Perayaan pelepasan seribu lampion menjadi alasan utama bagi wisatawan. Begitu saya, perayaan lampion menjadi titik tolak untuk ikut serta dalam perayaan Trisuci Waisak 2557 BE/2013, di Magelang, Jawa Tengah.

Langit Yogyakarta, Sabtu 25/5, terlihat mendung berawan. Sesekali rintik hujan telah menetesi pelan  bumi Yogyakarta. Melihat ke arah utara, Magelang,  langit putih terang terlihat. Ada perasaan optimis bahwa cuaca akan cerah. Tentunya dengan harapan perayaan seribu lampion akan berlangsung semarak di bawah sinar bulan purnama.

Bersama rombongan, saya pun menyusuri padatnya jalur  lalu lintas Yogyakarta menuju Candi Borobudur. Sepanjang 42 km perjalanan menuju Borobudur berbagai kendaraan berpacu mengejar waktu untuk perayaan lampion. Mobil berplat daerah luar Yogyakarta dan Jawa Tengah harus antri di beberapa titik kemacetan. Lain dengan kendaraan motor yang terus menyusuri celah kosong jalan.

Di tengah perjalanan, hujan pun mengguyur. Tapi tim dan saya tetap melanjutkan perjalanan walau didera hujan. Kesalahan utamanya, tidak membaca jas hujan. Demi langit terang, cuaca cerah di langit Magelang, terbisat asa bahwa cuaca pasti cerah. Motor pun terus dipacu melewati lalu lintas yang semakin padat di sore hari.

Melewati pertigaan ke arah Candi Borobudur, cuaca pun cerah. Langit putih, matahari sore mengintip di balik barat awan sore hari. Perjalanan pun terus dilanjutkan, menjelang Candi Mendut mulai terlihat tumpukan wisatawan domestik dan internasional di pinggir jalan. Ada yang menggunakan sepeda motor, mobil, mini bus dan bus besar. Di wajah mereka terlihat suasana hati nan bahagia karena mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan pelepasan seribu lampion nanti malam.

Suasana Candi Mendut usai salah satu prosesi upacara waisak

 Beberapa prosesi terlewati
 
Saya tidak sempat untuk melihat beberapa prosesi upacara waisak karena semua acara sudah dipusatkan di Candi Borobudur sore itu. Saya tak bisa menyaksikan upacara  prosesi kirab air suci dan api abadi dari Candi Mendut ke Borobudur. Prosesi upacara itu berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Pada prosesi itu, tidak kurang dari 100 Bhiksu dan Bhiksuni Sangha Theravada dan Mahayana akan berjalan melewati 3,7 km jarak tempuh Candi Mendut ke Candi Borobudur.

Sebelum upacara kirab air suci dan api abadi, pada pagi harinya sekitar pukul 07.30 WIB  digelar tradisi Pindapatta. Biasanya pada prosesi ini para wisatawan dan fotografer akan terus mengikuti jalannya prosesi. Pindapatta itu sendiri berasal dari Bahasa Pali yang artinya menerima persembahan makanan. Namun dalam perkembangannya persembahan berupa uang pun dilakukan oleh para umat Buddha.

Proses Pindapatta ini dimulai dengan doa bersama di tempat ibadah Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio di alun alun Kota Magelang, dengan terlebih dahulu mengadakan doa yang dipimpin Ketua Dewan Sangha Perwakilan Buddha Indonesia (Walubi), Bhiksu Tadisa Paramita Mahasta Vira. Pada waisak 2557 BE/2013 ini, berdasarkan informasi dari Kompas.com, diikuti oleh Bhiksu dari mancanegara Australia, China, Singapura dan Thailand. Melalui tradisi ini, umat Buddha ingin menciptakan jodoh baik dan juga memberikan kesempatan untuk turun membantu lingkungan setempat agar mempunyai rezeki dan terhindar dari malapetaka. Bagi Anda yang ingin melihat langsung prosesi ini dan prosesi lainnya, datanglah sedari pagi.

Wisatawan tak ubah peserta pembagian sembako

Menjelang Magrib, jumlah wisatawan membludak. Saya sempat terpisah dengan rombongan. Ada yang bisa masuk, ada yang harus menunggu hingga pukul 19.00 WIB baru bisa masuk. “Buka gerbangnya,” sesekali teriakan para pengunjung kesal. “Woii, jangan dorong,” saut pengunjung lain yang berada di depan gerbang tujuh, Manohara.

Saya sempat bingung beberapa saat, mencoba mencari celah untuk bisa segera masuk. Situasi lalu lintas di gerbang utama Candi Borobudur terlihat padat. Lalu lintas macet, para pejalan kaki berdesakan. Bagi Anda yang ingin melihat perayaan waisak ini, persiapakan fisik secara baik, tentunya jangan sampai kelaparan. Betapa tidak  wisatawan tak ubahnya seperti penerima sembako yang berdesak desakan. Bayangkan, mungkin ada sekitar puluhan ribu pengunjung, baik umat Buddha atau pengunjung biasa.

Menjelang magrib, pintu gerbang pun belum dibuka. Saya pun menyempatkan diri mencari celah masuk melalui gerbang utama, tapi gagal. Ternyata semua kekacauan itu terjadi karena tidak adanya kejelasan informasi yang diterima oleh pengunjung. Saya sempat berfikir, “Ini ibadah umat Buddha loh. Kok bisa bisanya kerusuhan pengunjung bisa terjadi.”


Suasana di gerbang Manohara. Sempat terjadi kericuhan di saat petugas tidak memperbolehkan pengunjung masuk.


Kerusuhan ini pun didukung dengan tidak rapihnya persiapan panitia untuk menyambut jumlah pengunjung. Bayangkan ribuan pengunjung harus melewati satu gerbang utama Manohara, dan semuanya harus melewati satu metal detector. Para pengunnjung yang tidak paham informasi pasti tidak sabaran, takut prosesi pelepasan seribu lampion akan terlewati. Ada yang mengeluh dan tetap bertahan, ada yang angkat bendera putih, menyerah, dan putar badan kembali pulang.

Rintik hujan semakin deras. Cahaya kilat sambung menyambung di langit. Purnama bulan yang diharapkan tak kunjung datang. Ada rasa was was upacara pelepasan lampion dibatalkan. Namun, apa pun yang terjadi nanti, bagi saya dan tim harus bisa mencapai puncak, mengambil spot terbaik untuk menyaksikan lampion berterbangan di udara.

“Permisi permisi,” ujar beberapa orang berbaju putih. Ada satu orang botak. “Maaf Bhiksu mau lewat,” ujarnya. Saya pun memberikan jalan. “Hah, Bhiksu harus lewat para di gerbang yang sama dengan “penerima sembako?”, maksudnya pengunjung upacara pelepasan lampion?” pikir saya sambil menggelengkan kepala. Perayaan Waisak adalah hari besar umat Buddha, tapi kenapa bisa jalur masuk umat Buddha disamakan dengan pengunjung. Entahlah, mungkin ini hukuman bagi umat Buddha yang terlambat datang. Ini asumsi saya loh, terlebih dengan keterbatasan informasi.

Setelah bertahan hampir setengah jam, akhirnya saya pun berhasil masuk. “Hore horee teriak para pengunjung, akhirnya bisa masuk,” teriak mereka kegirangan. Tapi tunggu dulu, masih ada dua antrian metal detector yang harus dilewati. “Oh my God,” ini sungguh melelahkan ujarku. Tapi demi lampion saya harus sanggup melewatinya.

Dari informasi yang didapat media massa, sebanyak 1316 personil polisi yang mengamankan prosesi Tri Suci Waisak tahun ini. Seluruh personil itu terdiri dari Kesatuan Pengendalian Massa, Polres Kabupaten Magelang dan Magelang Kota, TNI, Polri, Brimob Jawa Tengah dan DIY, Polisi Pamong Paraja, Dinas Perhubungan dan instansi lainnya. Seperti diinformasikan oleh Kompas.com, pengamanan lebih diperketat menyusul banyaknya penggrebekan teroris di beberapa wilayah beberapa waktu lalu.

Di tengah gelapnya malam, semua mata tertuju ke cahaya di puncak Candi Borobudur. Setelah berjalan beberapa saat dan melewati setiap pos pemeriksaan saya pun akhirnya sampai di pelataran utama Candi Borobudur. Suasana sungguh hikmat, tak seheboh di gerbang masuk. Para umat Buddha duduk  mengeliling panggung upacara utama di depan Candi Borobudur. Para fotografer amatir dan profesional sudah mendirikan tripod kamera mengarah ke Candi Borobudur. 


Di bawah guyuran hujan umat Buddha duduk rapi penuh hikmat, bersiap mengikuti pembukaan acara puncak waisak.


Selang beberapa saat, sekitar pukul setengah delapan upacara puncak waisak pun di mulai. Langit pun semakin berkecamuk dengan kilatannya. Rintik hujan pun semakin deras. Para panitia pun sempat ragu untuk menyalakan lilin dupa. “Ini dinyalakan ya?, ini sudah mau hujan. Kalau terkena air, lilinnya tak mau menyala,” ujar seorang umat buddha. Akhirnya disepakati, lilin pun dinyalakan. Hujan pun semakin deras mengguyur. “Ini dupanya, yang mau bantu silahkan,” ujar umat Buddha yang lain. Saya pun ikut serta menyalakannya. Entah apa filosofinya, jelas saya tak paham. Saya hanya ingin membantu agar lilinnya cepat menyala.


 Menyalakan lilin dupa

Hujan terus turun dengan lebatnya. Pakaian baju kaos dan jaket sudah basah kuyup,  tentunya tanpa payung dan jas hujan. Ada pengunjung yang mengeluh, ada yang terdiam tak tahu berbuat apa, ada yang kembali membungkus kamera, ada yang terus menghisap rokoknya demi mencari kehangatan, dan yang kasihan ada yang sakit hampir pingsan. Kekuatan fisik memang harus diperhatikan bagi Anda yang ingin melihat lampion. Perjuangannya sungguh full.

Di tengah guyuran hujan, upacara pembukaan di panggung utama terus berlangsung. Ada sambutan dari Menteri Agama, Gubernur Jawa Tengah, dan para pemangku kepentingan di umat Buddha. Saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Tubuh basah sambil terus berdiri. Sesekali terdengar ucapan dari para pemberi sambutan bahwa umat Buddha berterima kasih pada Presiden RI karena telah menciptakan toleransi kehidupan beragama di Indonesia.

Setelah upacara kata sambutan selesai. Maka bacaan doa pun mulai terdengar. Suasana penuh hikmat bagi umat Buddha. “Sebentar lagi hujan berhenti, dan bulan purnama kan terlihat. Ini persis seperti tahun lalu,” ujar seorang pengunjung berspekulasi. Ia menganggap doa doa para umat Buddha akan memindahkan awan menjauhi langit Borobudur. Bau dupa semakin keras, asap pembakaran dupa beterbangan di angkasa. Satu jam, dua jam, hujan pun tak kunjung reda.

Menjelang pukul 22.00 WIB, hujan tak kunjung reda. Prosesi Pradaksina atau mengelilingi candi sebanyak tiga kali pun telah berlangsung. Biasanya pelepasan seribu lampion akan dilakukan setelah prosesi Pradaksina ini selesai. “Saya sudah hopeless,” ujar seorang pengunjung lalu melipat tripod kamera yang sejak tadi ditegakkan.

Terkadang apa yang diharapkan tak selalu bisa didapatkan. Kerasnya perjuangan tak selalu memberikan harapan seperti di awal. Tapi proses perjuangan itu yang layak untuk diperhatikan. Di sana akan ada secercah pelajaran dan kenangan yang bisa diperoleh untuk waktu mendatang. Situasi inilah yang saya harus hadapi. “Mohon maaf pada semua pengunjung, pelepasan lampion dengan berat hati batal dilaksanakan dikarenakan kondisi hujan yang lebat,” ujar seseorang di speaker pengeras suara.

Suara helaan nafas, suara keluh kesah, sorak sorai terlihat jelas di muka para pengunjung. Sesungguhnya pembatalan lampion bukanlah sesuatu yang harus dikecewakan oleh para pengunjung. Waisak adalah upacara hari besar umat Buddha, sedangkan kita umat lain yang menjadi pengunjung hanyalah untuk hura hura untuk menikmati indahnya lampion. Hanya itu. Lampion bukanlah segalanya, tapi penghargaan pada prosesi ibadah saudara kita umat Buddha itu lebih penting.


Upacara pelepasan lampion. Tahun ini ditiadakan karena hujan tak kunjung reda. Sumber foto: ini


Para pungunjung pun pulang dengan guyuran hujan yang tak henti. Guyuran hujan mungkin saja  menjadi penyejuk hati bagi jiwa egois yang mementingkan diri sendiri. Tidak hanya mereka, saya juga termasuk dalam pengunjung itu. Tapi semuanya menjadi perjalanan penuh kenangan berburu indah lampion. Saya kapok, tentu tidak. Bahagia tentunya, banyak pelajaran dan renungan yang bisa diperoleh.

Untuk mereka umat Buddha selamat berbahagia dengan hari besarnya. Semoga dengan tema waisak ini “Dengan semangat waisak kita tingkatkan kesadaran untuk terus berbuat kebajikan” dan sub tema “Sucikan pikiran, tingkatkan kebajikan, kehidupan jadi harmonis”  kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Semoga semakin indah seperti indahnya bayangan saya akan lampion yang beterbangan di angkasa langit Candi Borobudur.





1 komentar:

  1. sayangnya tahun ini sepertinya kurang sakral buat umat Budha yang mau berdoa... terlalu banyak pengunjung, dan tidak ada tempat tersendiri bagi umat budha untuk bisa khusuk berdoa, mereka harus masuk dan berdesak2an dengan orang umum yang notabene hanya pengen sekedar "NONTON", harusnya ini menjadi fokus dari para panitia, kalau bisa untuk tahun selanjutnya umat budha punya jalur tersendiri untuk bisa masuk dan tempat sembahyang sendiri...

    BalasHapus