Reality Show: Sebuah Kajian Budaya dengan Pendekatan Ekonomi Politik


Tak bisa dipungkiri, dunia media televisi saat ini sedang mengalami perkembangan pesat. Mulai dari kreativitas isi tayangan, hingga ke perkembangan televisi sebagai industri media. Perkembangan pesat tersebut tidak bisa terlepas dari besarnya pengaruh televisi dalam kehidupan manusia modern.
            Mari kita ambil contoh di negara maju, Amerika Serikat. Dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia, 99% orang Amerika memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari (Agee,et.al.2001:279 dalam Ardianto,et.al.2003:134).
            Sekarang mari kita lihat kondisi penonton televisi di Indonesia. Sejak Juli 2004 AGB Nielsen Media Research mengambil 9 kota besar di Indonesia sebagai basis pengambilan sampel (Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, Makasar, Yogyakarta, Palembang dan Denpasar) rating. Dari riset beberapa sampel tersebut AGB Nielsen Media Research menunjukkan, sebagian besar penonton televisi adalah kelas C (44%) berusia 5-19 tahun (33%) dengan status pelajar/mahasiswa. Durasi rata-rata yang dihabiskan di depan televisi adalah 3,5 jam/hari. Responden yang paling banyak menonton adalah wanita. Ibu rumah tangga paling lama menghabiskan waktunya di depan televisi (4,3 jam/hari). Motivasi terbesar menonton televisi adalah untuk hiburan (Sunarto.2009:94).
            Hal yang tidak bisa dibantah jika sebagian besar motif menonton televisi adalah untuk hiburan. Memang pada faktanya, hampir semua media massa menjalankan fungsi hiburan. Terlebih televisi adalah media massa yang mengutamakan sajian hiburan. Hampir tiga perempat bentuk siaran televisi setiap hari merupakan tayangan hiburan. Walaupun memang ada beberapa televisi yang lebih mengutamakan fungsi pemberitaan/informasi.
            Fungsi dari media massa sebagai fungsi menghibur tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan membaca berita-berita ringan atau melihat tayangan hiburan di televisi dapat membuat pikiran khalayak segar kembali (Ardianto,et.al.2003:17). Salah satu bentuk hiburan di media televisi adalah reality show.  Mari kita lihat tayangan televisi di Indonesia akhir-akhir ini. Setiap televisi berlomba-lomba menyajikan paket acara reality show. Walaupun terkadang kesan mengekor atau ikut-ikut terlihat jelas antar stasiun televisi.
            Sesuai makna katanya, reality berarti kenyataan, show berarti tontonan atau pertunjukan. Dengan demikian, reality show dapat dimaknai sebagai pertunjukan yang bersumber dari kenyataan. Tidak seperti berita yang menyajikan persitiwa berdasarkan nilai beritanya, reality show memilih adegan tertentu yang dianggap dapat memancing tanggapan tertentu dari pemirsa, berupa tawa, geram, dan takut. Acara ini membidik tingkah laku orang-orang di lapangan yang asli ataupun yang sengaja didesain oleh pengatur acara (Budiasih,2005:97).
  Salah satu acara reality show yang diminati oleh penonton Indonesia adalah acara John Pantau. John Pantau adalah nama sebuah program di sebuah stasiun tv swasta (Trans tv), yang acaranya dibawakan oleh seorang tokoh bernama John Martin Tumbel. John Pantau adalah seorang tokoh yang berkeliling Indonesia untuk memantau sudah sejauh apa peraturan ditegakkan.
Dalam tayangan John Pantau, disajikan bagaimana presenter acara yang dengan kocak memantau tiap pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Pelanggaran dan penyimpangan yang disajikan  adalah pelanggaran yang tidak berat di masyarakat dan kadang dosa umum, seperti  menyebrang tidak di zebra cross, mengendarai motor  tanpa menggunakan helm dan siswa sekolahan yang bolos di waktu jam sekolah. Tak hanya itu, program John Pantau juga menayangkan bagaimana ketidaksadaran masyarakat akan peraturan, undang-undang, atau hal-hal tentang kenegaraan. Contohnya yaitu, bagaimana masyarakat masih banyak yang tidak hafal pancasila, atau lagu-lagu nasional.
Dalam menyajikan pelanggaran tersebut, John Pantau menyajikan dengan kocak dan lucu. Tak jarang para pelanggar malah senyum-senyum malu, walaupun memang tidak dipungkiri ada juga para pelanggar yang marah-marah dan lari menyelamatkan diri. Tayangan John Pantau ini ditayangkan dua kali seminggu  di hari Minggu, pukul 16.00 WIB di stasiun Televisi Trans.
            Dilihat secara selintas, acara John Pantau memang memberikan hiburan bagi penonton televisi. Tapi, ada hal-hal lain yang bisa dijadikan bahan pemikiran atau renungan bagi para pengamat media atau akademisi. Hal-hal tersebut berkaitan dengan budaya massa dan perkembangan ekonomi politik media. Oleh karenanya, penulis mencoba untuk melihat atau membongkar “sesuatu” dibalik semua tayangan John Pantau, umumnya acara-acara reality show di media televisi. Dalam melakukan pembahasan nantinya, penulis akan menggunakan budaya pop sebagai titik tolak kajian dan pendekatan ekonomi politik sebagai alat analisis.

Reality Show sebagai Budaya Pop

Untuk mendefinisikan budaya pop, kita perlu mendefinisikan istilah budaya terlebih dahulu. Raymond Williams menyebut budaya sebagai “satu dari dua atau tiga kata yang paling rumit dalam bahasa Inggris,” Williams menawarkan tiga definisi yang sangat luas.
            Pertama, budaya dapat digunakan untuk mengacu pada “suatu proses umum perkembangan intelektual, spritual dan estetis.” Ini rumusan budaya yang paling mudah dipahami. Kedua, budaya bisa berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu.” Ketiga, Williams menyatakan bahwa budaya pun bisa merujuk pada “karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artisitik.” Dengan kata lain, teks-teks dan praktik-praktik itu diandaikan memiliki fungsi utama untuk menunjukkan, menandakan (to signify), memproduksi, atau kadang menjadi peristiwa yang menciptakan makna tertentu (Storey.1993:3).
            Berbicara tentang budaya pop berarti menggabungkan makna budaya yang kedua dengan makna ketiga di atas. Makna kedua -pandangan hidup tertentu- memungkinkan kita untuk berbicara tentang praktik-praktik budaya. Menonton televisi adalah suatu budaya, budaya hiburan. Sedangkan makna ketiga -praktik kebermaknaan-memungkinkan kita untuk membahas tayangan-tayangan di televisi. Budaya ini biasanya disebut sebagai teks-teks budaya. Sekarang mari kita kembalikan pada acara reality show seperti John Pantau. Sebagai besar penonton televisi menonton untuk mencari hiburan. Praktik-praktik menonton televisi adalah sebuah budaya massa dalam era modern saat ini. Sedangkan tayangan reality show merupakan teks-teks budaya yang memberikan makna bagi penonton. Makna dalam hal ini tentunya pesan yang ingin disampaikan oleh televisi.
            Ada beberapa cara untuk mendefinisikan budaya pop. Kata pertama adalah istilah “popular”. Terhadap istilah ini Williams memberikan empat makna: “banyak disukai orang”, “jenis kerja rendahan”, “karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang,” “budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.” (Storey.1993:10). Dengan beberapa definisi tersebut, penulis memberanikan diri untuk mendefinisikan reality show sebagai salah satu budaya pop. Hal ini berangkat dari karya reality show seperti John Pantau bertujuan untuk menyenangkan orang lain dan banyak disukai orang.
            Namun, tulisan berikut ini sedikit melegakan penulis akan keberanian penulis menggolongkan reality show sebagai budaya pop. “Sekarang jelaslah bahwa mengindetifikasi secara pasti sebuah definisi untuk istilah budaya pop tidak semudah kita pikirkan. Banyak kesulitan yang muncul akibat ada atau tidak adanya hal-hal lain yang selalu menggoyahkan definisi stabil yang coba kita pakai. Karena itu tidak akan pernah ada kata cukup untuk membahas budaya pop. Ini sangat beralasan, sebab dalam pembahasannya kita diharuskan selalu mempertimbangkan apa yang menentangnya. Apapun istilah yang kita pakai, entah itu budaya massa, budaya tinggi, budaya kelas buruh, atau budaya daerah yang tercakup ke dalam definisi budaya pop tertentu” (Storey. 1993:25)
  Melihat semakin berkembangnya acara-acara reality show di media televisi, patut kita selidiki mengapa antar televisi seolah-olah berlomba-lomba menyajikan acara serupa. Acara John Pantau mungkin bisa dikatakan mengalahkan program serupa seperti Snapshot di Metro TV dan Mata Kamera TV One. Masih banyak lagi format-format acara hiburan yang memiliki peminat penonton yang besar. Sebut saja termehek-mehek, OVJ Trans TV, Uya Kuya di SCTV dan sebagainya.
Dengan berlomba-lombanya televisi menawarkan acara-acara hiburan, tentunya kita harus berfikir ulang kembali seperti apa motif televisi dalam menyajikan program hiburan tersebut. Suatu program tidak akan terus berlanjut jika tidak menghasilkan banyak penonton. Karena banyak penonton yang menyukailah tentunya program reality show tetap tersajikan hingga sekarang. Oleh karenanya, mari kita lihat seperti apa perkembangan program hiburan reality show di televisi dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik.


Ekonomi Politik Media, Komodifikasi Konten dan Audiens sebagai Entry Point

Sebagai industri media, televisi merupakan entitas ekonomi yang memiliki potensi profit besar bagi akumulasi modal pemiliknya. Sebagai entitas politik, televisi merupakan arena strategis negosiasi berbagai kepentingan melalui penciptaan pendapat umum. Sedangkan sebagai entitas kultural, televisi berperan penting untuk ekspresi identitas dan konstruksi sosial tertentu (Sunarto.2009:8)
            Melihat ketiga entitas di atas, jelas sudah tayangan John Pantau mengandung aspek ekonomi, politik dan kultural. Dari segi ekonomi, tentunya berkaitan dengan akumulasi modal pemilik media bersangkutan untuk menghasilkan uang. Untuk entitas politik, tayangan John Pantau ingin menciptakan pendapat umum bahwa di sekeliling kita, di masyarakat seringkali terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tidak disadari atau disengaja. Sedangkan untuk entitas kultural, disajikan bagaimana sebuah pelanggaran di konstruksi menjadi sebuah tayangan yang lucu dan terkadang membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
            Seperti yang dijelaskan (Mosco,1996:25-38) pengertian ekonomi politik dibedakan menjadi dua macam: (1) sempit dan (2) luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, bersama-sama membentuk produksi,distribusi dan konsumsi sumber daya. Dalam sumber daya ini termasuk di dalamnya produk-produk komunikasi semacam surat kabar, buku, video, film, dan khalayak.
            Dalam pengertian luas berarti kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Kontrol di sini secara khusus dipahami sebagai pengaturan individu dan anggota kelompok secara internal untuk bisa bertahan mereka harus memproduksi apa yang dibutuhkan untuk mereproduksi diri mereka sendiri. Proses kontrol ini secara luas bersifat politik karena proses tersebut melibatkan pengorganisasian sosial hubungan-hubungan dalam sebuah komunitas. Proses bertahan (suvival processes) secara mendasar bersifat ekonomis karena berhubungan dengan persoalan produksi dan reproduksi (Sunarto.2009:14)
            Jalan ontologis dalam teori ekonomi politik komunikasi semacam ini ada tiga macam, yaitu: a) komodifikasi, b) spasialisasi dan c) strukturasi. Komodifikasi (commodification) terkait dengan proses transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Sedangkan spasialisasi (spatialization) adalah proses untuk mengatasi limitasi ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Sementara strukturasi (strukturation) merupakan proses di mana struktur secara bersama-sama terbentuk dengan agen manusia (Sunarto.2009:14-15). Dalam tulisan ini, penulis menggunakan komodifikasi sebagai entry point.
            Dari definisi ekonomi politik di atas bisa dijelaskan bahwa acara John Pantau  di Trans TV melakukan proses produksi terhadap sumber daya --dalam hal ini adalah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masyarakat—yang mana bertujuan untuk bertahan hidup dan mereproduksi diri. Mungkin lebih tepatnya untuk mempertahankan kelangsungan media yang bersangkutan. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masyarakat di produksi dengan direkam dan meminta klrafikasi dari para pelanggar. Selanjutnya, pembawa acara akan menyajikannya dengan lucu dan tertawa gembira. Setelah proses produksi berjalan, proses distribusi pun dilakukan dengan menayangkan di televisi. Pada akhirnya ini menjadi konsumsi penonton televisi yang mana mereka bertujuan sebagai hiburan.
            Proses komodifikasi menggambarkan bagaimana cara kapitalisme mengemban tujuan utamanya untuk melakukan akumulasi modal atau mewujudkan nilai melalui trasnformasi nilai guna menjadi nilai tukar (Mosco, 1996 ;p.140 dalam www.octavadi.wordpress.com)           
Kajian ekonomi politik komunikasi pada umumnya memberikan penekanan untuk menggambarkan dan menelaah signifikansi bentuk-bentuk struktural yang bertanggung jawab atas produksi, distribusi, pertukaran komoditas komunikasi, regulasi pada struktur-struktur yang biasanya oleh negara. Manakala membahas komodifikasi, kajian ekonomi politik lebih banyak memusatkan perhatian pada konten, kemudian sedikit pada perhatian pada audiens media, dan sangat sedikit perhatian pada tenaga kerja dalam industri komunikasi (Mosco, 1996 ;p.144 dalam www.octavadi.wordpress.com).
Smythe (1977) dalam Mosco menyatakan bahwa audiens merupakan komoditas utama media massa. Ide ini dipengaruhi oleh pemikiran Garnham tentang dua dimensi utama komodifikasi media, yaitu; hasil langsung dari produk-produk media, dan digunakannya media periklanan untuk menyempurnakan proses komodifikasi dalam keseluruhan ekonomi. Menurut Smythe media massa yang kita kenal dimunculkan melalui suatu proses dimana perusahaan-perusahaan media menghasilkan audiens dan menghantarkan mereka kehadapan para pengiklan. Program atau konten media disediakan untuk menarik perhatian audiens, lalu para pengiklan membayar media untuk mendapatkan akses terhadap audiens. Melalui titik berdiri ini, kerja audiens atau kekuatan kerja audiens adalah produk utama media massa. Ekonomi politik memang tampaknya memiliki tendensi untuk menempatkan aktivitas audiens dalam mengkonsumsi media sebagai aktivitas tenaga kerja (Mosco, 1996 ;p.148, 150 dalam octavadi.wordpress.com).
            Dari penjelasan ekonomi politik di atas, bisa dilihat bagaimana proses komodifikasi konten dan audiens dalam tayangan John Pantau. Dalam tayangan itu bisa diperhatikan bahwa media televisi melakukan komodifikasi terhadap pelanggaran di masyarakat agar bisa memiliki nilai tukar yang bisa disajikan pada penonton. Selanjutnya, penonton yang banyak dan puas akan menjadi komoditas baru (komodifikasi audiens) untuk disajikan pada pengiklan. Pada akhirnya, tujuan utama adalah ideologi kapitalisme media.

Persaingan antar Media dan Kapitalisme

Berbicara tentang ideologi kapitalisme media tidak bisa juga terlepas dari persaingan antar media. Seperti yang dijelaskan dalam definisi ekonomi politik, bahwa ekonomi politik merupakan alat untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi diri sendiri. Untuk melakukan itu semua diperlukanlah apa yang disebut ideologi kapitalis.
  Persaingan antar media untuk bertahan hidup, terlihat jelas ketika antara satu media dengan media lain berlomba-lomba memberikan acara yang diminati oleh penonto. Tak jarang jika antar media saling mencontoh akan kreativitas tayangan. Untuk acara reality show seperti John Pantau sudah memiliki pesaing di media lain, yaitu, Snapshot di Metro TV dan Mata Kamera TV One.
Menurut Bottomore (1983: 64-67), kapitalisme (capitalism) merupakan sebuah istilah yang mengacu pada sebuah cara produksi di mana modal (kapital) dan bermacam bentuknya merupakan alat utama dalam produksi. Modal ini dapat berbentuk uang atau kepercayaan untuk membeli kekuatan tenaga kerja dan material untuk produksi. Sedangkan ideologi kapitalisme, menurut Heilbroner (1991), merupakan suatu sistem pemikiran dan keyakinan yang dipakai oleh kelas dominan untuk menjelaskan diri mereka sendiri bagaimana sistem sosial mereka beroperasi dan apa prinsip-prinsip yang diajukannya. Ideologi ini melihat pencarian laba (kapital) sebagai fokus kegiatannya (Sunarto. 2009:44).
Selanjutnya dalam (Sunarto.2009:44-45) dijelaskan bahwa ideologi kapitalis ini memberikan pembenaran pada setiap individu untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya guna dimanfaatkan untuk lebih memperbesar jumlah kapital pemiliknya (kaum kapitalis). Dalam upayanya ini, mereka melakukan eksploitasi terhadap sumber daya yang ada, apakah itu tenaga manusia (buruh) maupun alam.
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa program hiburan/entertainment di media televisi sangat berkaitan erat dengan ideologi kapitalisme. Terlepas apakah acara itu menghibur atau tidak. Acara reality show, John Pantau telah melakukan komodifikasi terhadap pelanggaran yang terjadi di masyarakat untuk dijadikan komoditas televisi dan disajikan kepada penonton sebagai suatu budaya pop/budaya entertainment yang menghibur. Secara tidak langsung acara ini mengeksploitasi para masyarakat yang melakukan pelanggaran untuk dijadikan komoditas yang nantinya menghasilkan kapital-kapital baru bagi kaum kapitalis (pemilik modal), yang mana hal itu bertujuan sebagai alat survival live dan melakukan reproduksi demi kelangsung hidup media televisi.
            Tidak hanya eksploitasi masyarakat yang melakukan pelanggaran, para penonton atau audiens juga secara tidak sadar sudah dieksploitasi waktu mereka ketika menonton acara John Pantau. Jumlah penonton/audiens dijadikan komoditas media untuk ditukarkan dengan iklan, yang pada akhirnya akan menghasilkan modal-modal baru.


Daftar Bacaan :

Ardianto,et.al. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Budiasih, Kun Sri.2005. “Berani Menolak TV ?!”. Bandung: PT Mizan Bunaya Kreativa
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. Singapore: SAGE Publications Asia-Pacific Pte Ltd
Storey,John. 1993. Teori Budaya dan Budaya Pop.   Yogyakarta: Penerbit Qalam
Sunarto. 2009. Televisi,Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Belajar dari Spiderman



“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri... “ (QS. Ar Ra’du ayat 11)

Bagi peminat film superhero hollywood pastilah mengetahui film Spiderman. Deretan panjang film-film superhero, seperti X-Man, Superman dan Spiderman membuat para penggemar selalu menanti aksi pujaan mereka. Begitu pun penggemar film Spiderman.
Timbul pertanyaan kepada kita, mengapa film-film Superhero seringkali menjadi film favorit dan menegangkan. Apakah karena aksi sang Superhero yang selalu memenangi setiap pertarungan? ataukah karena pola pikir manusia yang memang naluriah mengagumi sesuatu yang kuat, bijaksana, dan memberikan bantuan banyak orang, serta memberantas kejahatan? Ataukah ada jawaban lain ?
Pada kesempatan kali ini, saya akan mencoba mengintropeksi diri dengan menggunakan Spiderman sebagai medium. Saya berharap ini juga bermanfaat bagi siapa saja yang membaca tulisan ini. Semoga membawa manfaat besar. Di awal tulisan, penulis mengutip satu ayat dari kitab suci mulia Al Quran. Dari ayat yang dijelaskan itu, Tuhan telah menegaskan bahwa Ia tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau seseorang jika kaum atau seseorang tidak mau dan bergerak mengubah nasibnya.
Mari kita kaitkan dengan perjuangan Spiderman dalam memberantas kejahatan. Pada awalnya, ia hanyalah seorang wartawan di sebuah harian di kota tempat tinggalnya. Ia seringkali menerima teguran dan marahan dari bos media, namun sepertinya itu bukanlah tantangan terberatnya. Sehingga pada suatu ketika ia harus menerima kenyataan untuk memiliki kekuatan super luar biasa.
Kekuatan yang Ia dapatkan tentu pada mulanya membuatnya merasa risih dan terkadang kesal. Betapa tidak, ia harus keluar dari kehidupannya yang nyaman sebagai manusia biasa menjadi sosok bertubuh aneh dan memiliki kelebihan. Lambat laun, ia pun paham bahwa kekuatan yang ia dapatkan merupakan amanah agar bisa menjaga keamanan umat manusia dari tangan-tangan jahat. Dengan segala kerendahan hati ia pun membuat pakaian khusus Spiderman dan siap memberantas kejahatan dan menolong siapa pun yang membutuhkan.
Sekarang mari kita renungi, apa yang akan terjadi jika sosok Spiderman tadi tetap tidak mau menerima kekuatan pada dirinya. Sudah bisa kita tebak bahwa ia akan stress menerima kenyaataan itu. Mungkin ia akan mengakhiri hidupnya. Namun, semua itu tidak ia lakukan. Dengan lambat laun ia pun menerima kenyataan itu. Dengan kata lain ia menerima perubahan dan siap untuk berubah demi kebaikan dan manfaat besar untuk orang banyak.
Sebagai manusia, tak bisa dipungkiri bahwa rasa nyaman dan ketenangan adalah dambaan di dalam hidup ini. Uang yang berlimpah, kehidupan yang terjamin serta pengakuan dari orang-orang sekeliling kita telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Oleh karenanya, begitu banyak orang-orang berbondong-bondong berusaha tanpa kenal waktu dan lelah demi menggapainya. Terkadang cara-cara yang tidak dibenarkan pun seringkali digunakan.
Dari inspirasi yang diberikan Spiderman, bisa kita bawa ke dalam kehidupan pribadi kita. Untuk mendapatkan semua yang kita inginkan sangat dibutuhkan kerja keras dan kesabaran yang tinggi. Sebelum itu dilakukan, ada hal yang perlu kita miliki, yaitu semangat PERUBAHAN. Mengapa saya berkata demikian, karena itulah esensi menggapai kehidupan yang lebih baik. Perubahan itu berfungsi sebagai motor/penggerak demi tercapai masa depan yang lebih baik.
Perubahan seringkali dimiliki dan disadari oleh banyak orang. Akan tetapi, sangat sedikit sekali orang yang mau untuk melakukannya. Alih-alih untuk berubah, tetapi menerima setiap kenyataan bahwa itulah takdir yang sudah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa. Pada kutipan surat Al Quran  di atas, jelas-jelas Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum/individu jika mereka sendiri tidak mau berubah. Jadi ini sangat berkaitan sekali dengan apa yang dinamakan USAHA/IKHTIAR.
Oleh karena itu, marilah kita mengajak diri kita menuju semangat perubahan. Semangat yang tidak hanya bertahan sebentar, tetapi selalu membara di tengah hembusan kuat angin cobaan dan rintangan. Di mata impian kita telah terlukiskan masa depan kehidupan yang lebih baik. Tentunya kehidupan baik dan bermanfaat besar bagi orang banyak.

Editorial Media Indonesia, Sebuah Kajian Agenda Setting


Menjelang akhir tahun 2011, dunia pemberitaan  media-media massa di Indonesia seperti kebanjiran informasi. Betapa tidak, berbagai peristiwa terjadi  mulai dari pemberitaan positif hingga negatif. Dari kesuksesan perhelatan Sea Games 2011 hingga permasalahan kemerdekaan negeri Cendrawasih, Papua. Tidak hanya itu, permasalahan korupsi, rombak kabinet, hingga pemilihan pimpinan baru Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) juga menjadi pembicaraan hangat di media massa.
           Suatu yang wajar jika sebuah media massa baik cetak atau pun elektronik memilih dari sekian banyak informasi sebagai objek perhatian khusus. Khusus media massa cetak, perhatian akan sebuah topik pemberitaan disajikan melalui editorial atau tajuk rencana. Dari sanalah terlihat topik atau peristiwa apa yang menjadi perhatian besar dari media massa bersangkutan. Dalam tulisan ini, penulis khusus akan menjelaskan editorial atau tajuk rencana di koran harian Media Indonesia. Melalui editorial inilah, Media Indonesia menunjukkan sikap atau opini akan realitas pemberitaan.
            Baru-baru ini, masyarakat Indonesia mendapatkan harapan baru akan pemberantasan korupsi di negara Indonesia. Harapan baru itu muncul ketika terpilihnya empat komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, Zulkarnain, Busyro Muqoddas dan Abraham Samad terpilih sebagai pimpinan KPK terpilih. Melalui editorial edisi Senin, 5 Desember 2011 berjudul “Pemimpin KPK yang Baru”, Media Indonesia menunjukkan sikapnya akan harapan pemberantasan korupsi di negeri ini. Terlebih akan kasus-kasus besar seperti bailout Bank Century, dugaan korupsi proyek Hambalang, serta korupsi wisma atlet.
            Sebagai pembanding, mari kita lihat editorial/tajuk rencana yang disajikan oleh Koran Tempo. Pada edisi yang sama, Senin, 5 Desember 2011, Koran Tempo menyajikan tajuk rencana berjudul “Mengharap Gebrakan Dahlan Iskan”. Tajuk tersebut berbicara akan harapan pada Menteri BUMN baru, Dahlan Iskan untuk memastikan BUMN di negeri ini menerapkan tata kelola perusahaan yang baik dan memperbaiki proses tender perusahaan-perusahaan milik negara yang masih diwarnai kongkalikong.
            Dari kedua media massa nasional di atas, Media Indonesia dan Koran Tempo memiliki agenda tersendiri akan perhatian mereka akan realitas informasi. Walaupun tidak bisa dipungkiri, kedua media tersebut tentunya memperhatikan isu-isu besar. Namun, yang perlu diperhatikan bagaimana perbedaan kedua media tersebut memberikan tekanan atau perhatian khusus melalui editorial/tajuk rencana akan edisi hari Senin, 5 Desember 2011. Perlu dilihat lagi, pemilihan topik editorial/tajuk rencana tentunya telah memperhatikan perkembangan informasi dan memperhatikan ideologi masing-masing media. Karena memang, editorial/tajuk rencana merupakan sikap resmi media massa secara keseluruhan memandang sebuah realitas informasi yang luas.
            Dalam pembahasan kali ini, perlu rasanya untuk mengkaji ulang bagaimana sebuah editorial/tajuk rencana disajikan pada pembaca. Apakah ada motif tertentu dalam pemilihan topik tersebut ?  Tentunya hal tersebut bisa dikaji berdasarkan teori komunikasi massa. Untuk lebih memfokuskan pembahasan, alangkah lebih baiknya kita terfokus pada satu media massa. Kali ini penulis mengambil editorial Media Indonesia sebagai objek kajian. Dalam kajian ini, penulis menggunakan Teori Agenda Setting sebagai pisau analisis akan penyajian editorial di Media Indonesia yang mengangkat pemberitaan “Pimpinan KPK yang Baru”.

Pengertian Editorial/Tajuk Rencana
Editorial atau tajuk rencana adalah satu bentuk opini lazim yang ditemukan di surat kabar, tabloid, atau majalah. Opini pada tajuk rencana mencerminkan aspirasi, pendapat, dan sikap resmi suatu media pers terhadap persoalan potensial, fenomenal, dan atau aktual yang terjadi dalam masyarakat. (Sumadiria,2009:81)
Opini berupa editorial merupakan bagian dari bentuk karya jurnalisme. Karya jurnalisme digolongkan menjadi dua, news dan views. Karya jurnalisme tentunya berkaitan dengan komunikasi massa. Menurut Bittner, komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large of people. (Rakhmat, 2003: 188)
Gerbner (1967) mengatakan, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan  teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontiniu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri. (Rakhmat, 2003: 188) Tajuk rencana merupakan bagian dari komunikasi massa yang menjadi ujung tombak karakter dan kepribadian sebuah media massa. Karena itulah, hampir 9 dari setiap 10  surat kabar yang terbit di Indonesia menyediakan ruangan khusus secara berkesinambungan untuk tajuk rencana. Opini yang disajikan dalam tajuk rencana diasumsikan mewakili dan mencerminkan pendapat dan sikap resmi pers atau media.  Karena merupakan suara lembaga, maka tajuk rencana tidak ditulis dengan mencantumkan nama penulisnya.
Menurut Assegaf, tajuk rencana sedikitnya harus mengandung lima unsur yang satu sama lain saling berkaitan: 1) menyatakan suatu pendapat, 2) pendapat itu disusun secara logis, 3) singkat, 4) menarik, serta dimaksudkan untuk 5) mempengaruhi pendapat para pembuat kebijakan dalam pemerintah atau masyarakat. (Ardianto,2007:83)

Sejarah Editorial Media Indonesia
Dalam mengkaji editorial Media Indonesia, perlu rasanya bagi penulis untuk memaparkan bagaimana awal munculnya editorial hingga saat ini masih terus menyajikan pandangan-pandangan kritis akan fenomena-fenomena dalam masyarakat.
Menurut Surya Paloh, Pemimpin Umum Media Indonesia yang sekarang adalah pemilik dari Media Group mengatakan bahwa editorial adalah perjalanan panjang sebuah perjuangan terhadap keterusterangan. Ia adalah evolusi kata dan gaya. Kata dan gaya yang ketika itu terpaksa dipilih dan dikemas sedemikian rupa agar tetap masuk ke ruang publik walaupun diluncurkan dari sebuah ruang kebebasan yang amat sempit. (Tim Penulis LP3ES, 2003)
Ruang kebebasan yang amat sempit wajar saja dipaparkan oleh Surya Paloh. Hal itu menggambarkan bagaimana terbelenggunya kebebasan pers dalam mengemukakan pendapat pada masa Orde Baru. Terlebih pendapat yang disajikan dalam tajuk rencana yang sering diasumsikan sebagai kritikan terhadap pemerintah.
Karakter terang, tegas, dan lugas merupakan hal paling menonjol dari editorial. Karakter itulah yang sampai saat ini terus dijunjung dan disajikan dalam editorial sampai saat ini. Karakter itu tak terlepas dari warisan harian Prioritas. Harian Prioritas ini merupakan sebuah harian di Jakarta yang terbit perdana pada 2 Mei 1986 dan diberangus pemerintah Orde Baru pada 29 Juni 1987. Diberangus karena sudah berani lantang menentang dan mengkritisi rezim pemerintah Orde Baru. Trio yang memimpin harian Prioritas, Surya Paloh sebagai Pemimpin Umum, Panda Nababan sebagai Wakil Pemimpin Umum, Nasruddin Hars sebagai Pemimpin Redaksi. Pembrangusan dan pembatasan terhadap pers pada masa Orde Baru merupakan aspek substansial di balik apa yang disebut “Pers Pancasila”. Situasi umum yang dibentuk oleh efektifnya doktrin Pers Pancasila adalah haramnya pencampuradukan antara news dan opini. (Politik Editorial Media Indonesia , 2003: 3)
Kondisi penuh keterbatasan berpendapat tak menyurutkan semangat Surya Paloh untuk tetap bersuara dan mengritik pemerintah. Harian Prioritas dibredel, harian Media Indonesia  menjadi gantinya. Editorial yang saat ini selalu disajikan adalah sebuah evolusi dari rubrik Selamat Pagi Indonesia (SPI) di harian Prioritas. Rubrik itulah yang berani berterus terang dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat dan berfikir masyarakat. Editorial saat ini sudah hidup dan berkembang dalam iklim negeri demokrasi, sehingga cita-cita SPI telah dirasakan saat ini.

Editorial: Sebuah Agenda Setting
Agenda setting model untuk pertama kali ditampilkan oleh M.E. Mc.Combs dan D.L. Shaw dalam “Public Opinion Quarterly” terbitan tahun 1972, berjudul “The Agenda Function of Mass Media”. Kedua pakar tersebut mengatakan bahwa “Jika media memberikan tekanan pada  suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting”. (Effendy, 2003: 287)
            Tatkala mengadakan studi terhadap pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 1968 ditemukan korelasi yang tinggi antara penekanan berita dan bagaimana berita itu dinilai tingkatannya oleh para pemilih. Disimpulkan bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Studi selanjutnya yang dilakukan McComb dan Shaw menunjukkan bahwa mesiki surat kabar dan televisi sama-sama mempengaruhi agenda politik pada khalayak, ternyata surat kabar pada umumnya lebih efektif dalam menata agenda ketimbang televisi (Tan, 1981:277) 287, Effendy: 2003:287)
           Mengenai agenda setting, Alexis S. Tan selanjutnya menyimpulkan bahwa media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara:
a.       Media secara efektif menginformasikan perstiwa politik kepada khalayak;
b.      Media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik
Editorial  selalu mengedepankan kejujuran dan keterusterangan dalam menunjukkan opini lembaga pers pada masyarakat. Keterusterangan itu merupakan bentuk dari tujuan sebuah editorial. Menurut William (1994: 24) dijelaskan tujuan editorial dibagi dalam tiga kategori: 1) menjelaskan (to explain), 2) meyakinkan (to persuade) dan 3) menilai (to evaluate).
Selain itu, William Pinkerton dari Harvard University, Amerika Serikat (Rivers, 1994: 23-24), fungsi tajuk rencana mencakup empat hal: 1) menjelaskan berita (explaining the news), 2) menjelaskan latar belakang (filling in background), 3) meramalkan masa depan (forecasting the future), dan 4) menyampaikan pertimbangan  moral (passing moral judgment).
Dari berbagai tujuan yang dijelaskan di atas, bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa setiap media massa memiliki agenda setting tertentu dalam menyampaikan tajuk rencananya. Begitupun dengan Media Indonesia . Berkaitan dengan fungsi agenda setting, wajar rasanya untuk mengaitkannya dengan salah satu fungsi komunikasi massa menurut Dominick (2001) yaitu, fungsi Interpretation (penafsiran). Fungsi penafsiran hampir mirip dengan fungsi pengawasan. Media massa tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga membeberkan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Organisasi atau industri media memilih dan memutuskan peristiwa-peristiwa yang dimuat atau ditayangkan.
Contoh nyata penafsiran  media dapat dilihat pada halaman tajuk rencana (editorial) surat kabar. Penafsiran ini berbentuk komentar dan opini yang ditujukan pada khalayak pembaca, serta dilengkapi perspektif (sudut pandang) terhadap berita yang disajikan pada halaman lainnya. Tujuan penafsiran media ingin mengajak para pembaca atau pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut dalam komunikasi antar persona atau komunikasi kelompok. (Ardianto, 2007: 15-16)
Penafisaran media dan agenda setting dijelaskan lebih lanjut dalam efek komunikasi massa. Di antara berbagai asumsi tentang efek (pengaruh) komunikasi massa, salah satu yang masih bertahan dan berkembang pada tahun-tahun belakangan ini menyatakan, media massa memperhatikan isu tertentu  dan mengabaikan yang lainnya. Hal tersebut akan memengaruhi opini publik. Studi empiris tentang komunikasi massa pada hakikatnya telah mengonfirmasikan  bahwa efek yang paling memungkinkan terjadi akan berkaitan dengan masalah materi informasi. Asumsi agenda setting menawarkan suatu cara menghubungkan  berbagai penemuan tersebut dengan kemungkinan efek terhadap opini, karena pada dasarnya yang ditawarkan adalah suatu fungsi belajar dari media massa.
Agenda setting model (model penataan agenda) menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi fokus penelitian telah bergeser dari efek pada sikap dan pendapat kepada efek kesadaran dan efek pengetahuan. Asumsi dasar teori ini, menurut Cohen (1963) adalah: The press is signific antly more than a surveyor of information and opinion. It may not be successful much of time in telling the people what to think about. To tell waht to think about artinya  membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan test case tentang apa yang dianggap lebih penting. (Ardianto,et.el., 2007: 76-77)
Agenda setting model menekankan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan  media pada suatu persoalan tersebut. Dengan kata lain, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Sementara itu Manhein dalam pemikirannya tentang konseptualitasasi agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting menyatakan bahwa agenda setting meliputi tiga agenda, yaitu agenda media, agenda khalayak dan agenda kebijkasanaan. Masing-masing agenda itu mencakup dimensi-dimensi sebagai berikut:
1)      Untuk agenda media, dimensi-dimensi:
a)      Visibility (visibilitas) (jumlah dan tingkat menonjolnya berita)
b)  Audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak) (relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak)
c)   Valance (valensi) (menyenangkan atau tidak menyenangkan cara pemberitaan bagi suatu peristiwa)
2)      Untuk agenda khalayak, dimensi-dimensi:
a)      Familiarity (keakraban (derajat kesadaran khhalayak akan topik tertentu))
b)      Personal salience (penonjolan pribadi (relevansi kepentingan dengan ciri pribadi))
c)      Favorability (kesenangan) (pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita)
3)      Untuk agenda kebijaksanaan, dimensi-dimensi:
a)      Support (dukungan) (Kegiatan menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu)
b)      Likelihood of action (kemungkinan kegiatan) (kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan)
c)      Freedom of action (kebebasan bertindak) (nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah).
Konseptualisasi Manheim tersebut mendukung perkembagan teori agenda setting secara menyeluruh (Servin dan Tankard, Jr. 1922: 226) dalam (Effendy,2003: 288- 289).
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bagaimana Media Indonesia sebagai media massa memberikan penekanan pada pemberitaan pemilihan pimpinan KPK dibandingkan menekankan isu pada Koran Tempo.  Dari sana kita bisa menarik kesimpulan bahwa media massa, khususnya Media Indonesia  ingin melakukan apa yang disebut To tell what to think about, artinya media ingin membentuk persepsi khalayak bahwa pemberantasan korupsi adalah hal yang lebih penting dibandingkan isu-isu pemberitaan lain. Begitu juga dengan Koran Tempo dan media massa cetak lainnya yang memiliki editorial/tajuk rencana.

Daftar Bacaan:
Ardianto,et.al., 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Artikel Kajian Agenda Setting Editorial Media Indonesia  dalam Menjalankan Fungsi Kontrol Sosial karya M.Diaz Bonny S – Tugas Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana 2011
Editorial Media Indonesia, edisi Senin, 05 Desember 2011, “Pemimpin KPK yang Baru”
Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu,Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset
Rivers,et.al,. 1994. Editorial. Bandung: Remaja Rosda Karya
Sumadiria,Haris AS. 2009. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Tajuk Rencana Koran Tempo,edisi Senin, 05 Desember 2011, “Mengharap Gebrakan Dahlan Iskan”
Tim Redaksi LP3ES. 2003. Politik Editorial Media Indonesia. Jakarta: Pusataka LP3ES Indonesia