Chapal Ibhanan

Cerpen

Seorang pria paruh baya terlihat memperbaiki kain selimut gendongan berwarna putih ke lehernya. Dalam kain gendongan itu seorang bayi perempuan terlelap tidur. Setelah kain tergantung pas dilehernya, kedua tangannya kembali pada kedua pegangan becak.

Pria tukang becak ini berumur 38 tahun dan ia bernama Chapal. Ia adalah warga sebuah kota di negara bagian Rajashtan,India.

“Kemana ibu anak itu Pak?” tanya seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi menumpangi becak Chapal.

“Ibu anak perempuan ini telah tiada. Istriku meninggal ketika melahirkan anak kami tercinta ini,” jawab Chapal lirih.

Tanda Seru (!)


Saya ingin bercerita. Kali ini tentang sebuah tanda seru (!) di kampus saya tercinta, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran. Tanda seru berwarna putih berlatar belakang warna biru, bisa dibilang rutin tersebar diseantero kampus ketika mendekati akhir tahun. Ya, bilangan Oktober-Desember di setiap tahunnya. Tanda seru (!) berposter kecil dan besar ditempel di dinding, kursi hingga tembok-tembok gedung perkuliahan. Untuk saat ini, tanda seru (!) terpajang di gerbang masuk fakultas.

Pasti banyak yang bertanya, tanda apa itu? Anda pun mungkin bertanya-tanya. Tapi saya tentunya tak akan memberikan jawaban akan arti tanda seru (!) itu dalam konteks kampus saya.

Saya ingin bercerita lain dalam persepsi berbeda. Pada 1839-1914 seorang filusuf, ahli logika dan semiotika Amerika Serikat Charles Sanders Pierce mengungkapkan bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berfikir dengan sarana tanda, tanpa tanda komunikasi tidak bisa dilakukan. Tanda menjadi penting karena melalui tandalah manusia bertukar persepsi yang merupakan inti komunikasi.

Tanda seru (!) berwarna putih, berlatar belakang biru tadi menjadi media komunikasi antara komunikator (pemberi pesan) dan komunikan (penerima pesan). Pada awalnya, tanda seru (!) berupa tumpukan huruf,yaitu huruf i ditulis di atas huruf o, namun dirasa tak efektif. Tanda ini berasal dari bahasa Latin “io” yang berarti “seruan kegembiraan”. Sekarang tanda seru (!) yang simpel telah menjadi konsumsi kita saat ini.

Kembali ke cerita soal tanda seru (!) di kampus saya. Tanda seru di sana tak selalu diartikan ‘seruan kegembiraan’, malahan diartikan suatu tanda akan suatu hal yang mendebarkan dan penuh kehati-hatian. Sama seperti tanda seru (!) di jalan raya yang menandakan tanda untuk berhati-hati. Di aturan EYD Bahasa Indonesia, tanda seru (!) dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau rasa emosi yang kuat.

Bagi sebagian orang yang memiliki rasa emosi yang kuat, tanda seru (!) tentunya menjadi perhatian serius. Tapi tidak bagi mereka yang cuek atau tidak memiliki rasa emosi itu. Tanda itu hanyalah tanda biasa yang tidak memiliki arti apapun baginya. Untuk itu, agar pesan tanda tersebut bisa sampai pada objek, pemberi tanda seharusnya telah membentuk persepsi kuat bahwa tanda seru (!) memiliki tujuan. Jika tidak tentulah tanda itu menjadi sia-sia.

Tanda seru (!) harus berakhir dengan kegembiraan, sesuai dengan arti sebenarnya ‘seruan kegembiraan’. Kegembiraan tentunya hal yang bisa mendekatkan hubungan antar berbagai pihak dilingkari rasa senang dan bahagia. Semoga kegembiraan itu benar-benar terjadi.

Salam tanda seru (!)

Kamis, 18 Oktober 2012







Wartawan, aparat dan kekerasan

Seorang tentara TNI AU terlihat mencekik wartawan yang meliput jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Riau, Pekanbaru, Selasa (16/10). Aksi ini dilakukan di hadapan sejumlah anak sekolah dasar.



Dua hari lalu, Selasa (16/10) dunia demokrasi dan kebebasan berekpresi kembali tercoreng. Beberapa orang wartawan dipukul,kamera dirampas, dan dianiaya oknum aparat TNI. Kejadian itu bemula, ketika  pemburu berita berusaha mengabadikan jatuhnya pesawat tempur TNI AU di Pekanbaru.

Masih teringat jelas, pada Selasa (29/5) silam oknum TNI dari satuan Marinir menganiaya tujuh wartawan di Padang. Sejumlah peralatan liputan dirusak. Jelas tak ada salah, para pemburu informasi hanya melakukan tugas liputan penertiban sejumlah kedai remang-remang yang diduga sebagai tempat praktek asusila oleh Satuan Polisi Pamong Praja Padang.

Dua kejadian terakhir tentunya sangat mencoreng kebebasan pers. Di negeri yang katanya sedang berlangsung demokrasi ternyata masih menunjukkan budaya hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. 

Menjadi Indonesia

Lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. (Men)dingan (ja)ngan (di)am untuk Indonesia.

Oleh: Mardiyah Chamim, TEMPO Institute


Ada yang memar, kagum banggaku, malu membelenggu,

Ada yang mekar, serupa benalu, tak mau temanimu,

Lekas,

Bangun dari tidur berkepanjangan,
Nyatakan mimpimu,
Cuci muka biar segar,
Rapikan wajahmu,
Masih ada cara menjadi besar,

Mudakan tuamu,

Menjelma dan Menjadi Indonesia.

(diadaptasi dari lirik Menjadi Indonesia-Efek Rumah Kaca)


sumber: Buku Menjadi Indonesia, Surat dari & untuk Pemimpin

Supernova, Partikel: Selalu Menarik

Saya akui, dari keempat seri buku Dee: Supernova, Partikel memiliki daya tarik yang luar biasa bagi saya. Cerita penuh konflik batin, keluarga, dan sosial menjadi bumbu hebat dalam tulisan bernas Dee. Cerita Zarah dalam Partikel menjadi lebih hebat lagi ketika Goenawan Mohammad mengangkatnya dalam tulisan Catatan Pinggir-Tempo. GM mengangkat ide Partikel menjadi cerita tentang bagaimana seorang anak kecil (Zarah) menunjukkan apa yang ia percayai dan bagaimana mereka percaya. Untuk itu, sebagai bentuk rasa kagum saya pada kedua karya di atas, saya abadikan tulisan tentang Partikel di Caping GM di blog saya.


Zarah

Senin, 15 Oktober 2012

Anak-anak, dengan cara apa mereka percaya?

Dalam novel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Anak perempuan ini dididik dan dibentuk ayahnya, Firas, dosen Institut Pertanian Bogor yang tak hendak mengirimnya ke sekolah. Firas sendiri kemudian berhenti pergi ke kampus. Ia hanya jadi guru anaknya. Di bawah asuhan bapak yang kelak hilang itu, Zarah akan bertemu dan memasuki pengetahuan dan pengalaman yang tak lazim.

Firas seorang peneliti (dan sahabat) tumbuh-tumbuhan yang meletakkan fungi di status istimewa. Baginya fungi bukan saja membuktikan diri sanggup bertahan hidup melampaui dua kiamat ketika bumi ditabrak asteroid. Firas juga yakin, fungi adalah makhluk dengan kecerdasan super, melampaui manusia.


Dari sini kemudian ia berangsur-angsur membawa Zarah ke pengetahuan tentang hal-ihwal yang "gaib", tapi sebenarnya gaib hanya bagi yang tak mau tahu. Ayahnya mengajaknya ke Bukit Jambul yang misterius.


Setelah pengalaman di bukit yang dijauhi orang itu Zarah pun tahu, ayahnya mencatat pertemuannya dengan makhluk yang tak datang dari bumi, alien, meskipun merahasiakannya sampai akhir.


Pada suatu hari sang ayah menghilang. Sejak itu Zarah—yang mengagumi ayahnya dan mengiaskannya sebagai "dewa"—mencarinya. Ia masuki pengalaman dari satu benua ke benua lain, sampai novel yang mengasyikkan ini berhenti—atau berhenti sebentar, sebab fiksi ini (delapan tahun setelah episode Petir terbit pada 2004) tampaknya masih akan berlanjut.


Zarah adalah sebuah pencarian panjang. Ia sejumlah pertanyaan hidup yang mengusik jawaban-jawaban yang mati. Di dunia yang dibentuk jawaban seperti itu, ia seorang asing yang ditampik.


Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah—setelah ayahnya tak ada lagi—Zarah mulai merasakan posisinya yang asing itu. Ia tak bisa meletakkan keyakinannya di antara keyakinan yang telah dikukuhkan masyarakat.


Pertanyaan: "Kamu ibadah di mana dong, Zarah?"

Jawab: "Di kebun."
Pertanyaan: "Kamu menyembah apa?"
Jawab: "Jamur."

Dan Zarah dikeluarkan dari kelas ketika ia mengajukan satu teori yang ia dengar dari ayahnya yang berbeda dengan cerita agama tentang kejadian manusia. Bagi gurunya, Bu Aminah, "tidak ada versi lain" selain kisah tentang Adam dan Hawa.


Ketika Zarah mengatakan versi agama belum tentu benar, Bu Aminah meminta murid yang ganjil itu diskors. Guru itu menganggapnya "melakukan penghinaan atas dirinya, atas Alquran, dan atas Islam".


Zarah mencoba memprotes. "Kenapa Bu Aminah harus tersinggung dengan cerita saya? Kalau beliau nggak percaya dengan cerita saya, kan, saya juga nggak marah."


Tapi anak itu harus menghadapi sebuah garis lurus yang tunggal. Kakeknya, yang ia panggil Abah, seorang alim dan pengusaha terpandang di dusunnya, menegaskan garis lurus itu dengan amarah yang keras, begitu ia dengar bahwa cucunya menimbulkan heboh di sekolah.


"Dengar, Zarah," katanya. "Kita ini keluarga Islam. Sampai mati, kita semua tetap Islam. Mulai hari ini cuma boleh ada satu kebenaran yang kamu bawa ke sekolah. Dan ke mana pun kamu pergi nanti, kebenaran itu tidak berubah. Jangan berani-berani kamu pertanyakan. Mengerti?"


Zarah akhirnya tunduk. Ia bersedia dikirim ke sebuah pesantren "kilat" untuk memperbaiki imannya. Selama sebulan itu ia mengiyakan semua yang dikatakan para pembimbingnya. Ia tak hendak beradu argumen.

Orang-orang pun menyangka ia telah berubah jadi manusia baru. Tapi justru pada saat itulah Zarah sepenuhnya membangkang. Anak ini pulang dari pesantren dengan "kesadaran baru". Tapi sebenarnya ia mengikuti sikap ayahnya. "Aku adalah Firas berikutnya," katanya. "Inilah pemberontakan pertamaku."

Dengan cara apa anak-anak percaya?


Saya punya cerita lain, kali ini bukan fiktif: cerita seorang penyair yang "terkutuk". Arthur Rimbaud, sastrawan Prancis akhir abad ke-19 yang dianggap jadi pelopor Surealisme pada usia muda, menulis dengan rasa tak suka yang sengit tentang kepercayaan Kristiani—ajaran yang ditanamkan kepadanya di waktu kecil oleh ibunya. Sajak "Les pauvres à l’église" (Orang-orang Miskin di Gereja) menyebut "iman yang bodoh dan mengemis-ngemis". Sajaknya yang lain, "Soleil et chair" (Matahari dan Daging), meneriakkan "jangan ada tuhan-tuhan lagi".


Rimbaud, yang lahir pada 1854 dan berhenti menulis pada usia 20, berbeda dengan Zarah dalam novel Partikel.


Rimbaud—yang kemudian disebut sebagai salah satu dari "penyair-penyair terkutuk", les poètes maudits—menyerukan keharusan "modern sepenuhnya"; dalam "Soleil et chair" ia tegaskan bahwa "Manusia" adalah Raja dan Tuhan. Sebaliknya Zarah dididik ayahnya agar mengerti bahwa manusia cuma makhluk di tengah fungi, dan tak lebih hebat. Ada perspektif pascamodern di sini.


Tapi baik bagi Zarah maupun Rimbaud, Tuhan didatangkan ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak. Dalam sajak "Les poètes de sept ans" (Para Penyair di Usia Tujuh Tahun) Rimbaud dengan menyentuh dan menusuk menggambarkan seorang anak yang tiap hari Minggu diharuskan ibunya membaca Injil. Anak itu tak membantah. Tapi ia takut akan hari-hari Minggu itu, terutama di bulan Desember yang pucat, ketika ia harus duduk menghadapi meja mahagoni yang berat dan membaca Alkitab.


Tiap malam di kamarnya yang kecil

mimpi-mimpi menindasnya
Ia tak mencintai Tuhan; ia mencintai manusia.
Kita tahu ia anak yang tak bahagia. Tapi dengan cara apa ia percaya?

Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah, yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudian dunia yang dihuni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.


Goenawan Mohamad



sumber