Mengapa Harus Kartini?



Mengapa setiap 21 April, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Pada dekade 1980-an, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik pengkultusan R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Tahun 1988, masalah ini kembali menghangat, menjelang peringatan hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu akan diterbitkan buku Surat-Surat Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-Landen Volkenkunde (KITLV).

Tulisan ini bukan untuk menggugat pribadi Kartini. Banyak nilai positif yang bisa kita ambil dari kehidupan seorang Kartini. Tapi, kita bicara tentang Indonesia, sebuah negara yang majemuk. Maka, sangatlah penting untuk mengajak kita berpikir tentang sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah penting. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran banyak mengungkapkan betapa pentingnya sejarah, demi menatap dan menata masa depan.

Mereguk Ruh Dini Hari di Desa Tertinggi Pulau Jawa


Pernahkah Anda merasa dingin menggigil, gigi bergemetukan, dan pakaian  di badan seperti tak berguna di waktu dini hari di sebuah desa tertinggi Pulau Jawa? Jika belum, saatnya Anda meluangkan waktu untuk mengunjungi Desa Sembungan, Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,Jawa Tengah, Indonesia.

Pertengahan April 2013, saya berkesempatan mengunjungi desa yang terletak di ketinggian lebih dari 2000 mdpl itu.  Desa Sembungan juga dikenal sebagai Desa Matahari (Village of Sun). Mungkin orang akan beranggapan desa ini berudara panas karena dijuluki Desa Matahari. Anggapan itu termentahkan ketika saya berkunjung ke sana di saat matahari belum menyinari tanah itu. Udaranya sungguh dingin.

Sekitar pukul 01.00 wib dini hari, saya menginjakkan kaki di perkampungan yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa. Suasana didominasi keheningan, sesekali hembusan kabut tebal putih menderu deru. Anda mungkin bisa bayangkan desa ini seperti desa tanpa penghuni. Tak ada suara aktivitas manusia sedikitpun. Tak ada manusia di pos ronda. Begitu pun suara televisi. Kondisi sekitar diterangi lampu neon di pelataran rumah penduduk.