Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel. Tampilkan semua postingan

Menjual tanpa Menjual



Sumber Gambar
 Seringkali dalam keseharian kita menemukan salesman/penjual yang memaksa kita untuk membeli produknya. Berbagai cara, bujuk rayuan dilakukan agar konsumen mau membeli produk mereka. Tentunya kita tidak asing lagi dengan ucapan “Silahkan kakak, belanjanya”. Namun, ucapan tersebut membuat kita untuk tidak membeli produk yang ditawarkan. Boro-boro membeli produk, mampir pun terkadang kita merasa malas.

Ada ungkapan yang sering didengungkan oleh dunia salesman, yaitu menjual tanpa menjual, maka konsumen akan datang dan membeli produk yang ditawarkan. Ungkapan ini persis yang terjadi pada saya saat mengunjungi toko buku ternama di sebuah mall dibilangan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Niat awal kunjungan hanyalah menemani teman untuk menemukan buku yang ia butuhkan plus windows shopping siapa tahu ada buku yang menarik.

Di saat teman saya sibuk mencari buku, saya pun mengitari rak-rak buku yang ada. Persis di depan rak novel, kebetulan saya sedang memegang buku 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum dan Rangga Almahendra, sosok pria paruh baya menghampiri saya dan sekonyong-konyong berkata, “Ini bukunya bagus Mas, berkisah tentang........” ujarnya menjelaskan.

“Ini buku yang pertama Mas, ini buku yang kedua, lalu buku ini hanyalah penyempurnaan saja dengan menambahkan foto-foto dari shooting layar lebarnya,” ujarnya bersemangat menjelaskan dan menunjuki satu persatu bukunya.

Saya terdiam sejenak. Kaget karena ini adalah pengalaman pertama saya bertemu penjaga toko buku yang proaktif dan cerdas menjelaskan pada konsumen mengenai isi buku.

“Mas ini ada buku bagus Mas, ayo mari,” ujarnya mengajak saya ke rak sebelahnya. “Buku ini bercerita tentang seorang anak kecil umur 10 tahun yang di bentuk menjadi mata-mata dalam perang dunia II. Ini cerita nyata Mas. Sekarang ia berumur 50 tahunan, dan masih mendapatkan teror,” ujarnya lancar menjelaskan buku The Child karya Brian Garfield.

“Mas sudah baca tuntas bukunya?,” tanya saya penasaran.

“Sudah Mas,” ujarnya tegas sambil tersenyum.

Saya bergumam dan berfikiran bahwa buku itu sepertinya bagus. Saya pun mengambil buku tersebut dan melihatnya seksama. Sesaat kemudian penjaga toko pun pergi dan saya melanjutkan aktivitas mengitari rak buku di toko tersebut, tapi sekarang saya sudah punya buku baru itu yang siap dibayar di kasir.

Setelah aktivitas belanja di toko buku ternama itu usai, saya berfikir dan berbincang bersama teman saya akan apa yang dilakukan oleh penjaga toko buku tadi. Ia telah berhasil membuat saya yang niatan awal tidak belanja buku menjadi membeli buku. Apa yang penjaga toko lakukan itu persis seperti apa yang saya sebutkan di awal, menjual tanpa menjual.

Secara tidak langsung, penjaga toko itu membuat pengunjungnya merasa diperhatikan, dimanusiakan dan diberi penjelasan yang lengkap. Petugas toko buku itu bukan seperti toko buku biasanya yang petugas toko biasanya berdiri di samping rak buku, diam, dan hanya menjawab jika ditanya oleh konsumen yang bingung.

Dalam kajian marketing, dipopulerkan oleh Hermawan Kertajaya bahwa apa yang dilakukan penjaga toko buku itu disebut marketing 3.0 (marketing with heart). Pada marketing 3.0 penjual bukanlah penjual yang ngotot untuk menjual barangnya. Akan tetapi, penjual hadir sebagai teman atau sahabat yang senantiasa menemani dan memberikan manfaat-manfaat besar pada konsumennya, secara tidak langsung ia menjual tanpa menjual.

Memanusiakan konsumen

Konsep menjual tanpa menjual tentunya akan menjadi satu konsep yang akan terus dikembangkan dan digunakan di masa mendatang mengingat konsumen yang lebih menuntut, lebih connected dan lebih manusiawi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi seperti media sosial membuat konsumen satu sama lain akan tersambung dan memberikan cerita pengalaman mereka. Persis seperti apa yang saya lakukan pada paragraf-paragraf pertama tulisan ini.

Dengan adanya praktik menjual tanpa menjual, secara tidak langsung konsumen pastinya akan bercerita pada orang-orang terdekatnya apa yang sudah dilakukan oleh penjual/salesman. Pada akhirnya praktik ini akan menjadi satu perahu yang akan membawa konsumen-konsumen baru. Semoga apa yang dilakukan oleh penjual di toko buku tadi bisa ditiru oleh penjual-penjual lain yang semuanya berakhir pada kepuasan konsumen dan keuntungan penjual itu sendiri.

Selamat menjual tanpa menjual.





Budaya Baca dan Koran Dinding

Selasa (12/2) siang, matahari terik menyengat kulit di ramainya lalu lintas kota Surakarta. Berbagai kesibukan masyarakat tetap terus berjalan. Ada tukang becak yang terus menyusuri jalanan mencari penumpang, pedagang kaki lima yang setia menjaga barang dagangannya, dan para siswa yang terlihat ceria bersenda gurau sesamanya di perjalanan pulang

Di persimpangan jalan Gadjah Mada no 59 Surakarta, di bawah pohon rindang terlihat pemandangan unik. Seorang tukang becak bertopi merah sedang mengamati halaman-halaman koran di etalase kaca. Selang sesaat, beberapa orang ikut bergabung dan serius mengamati halaman-halaman koran tersebut.

Sejuknya hembusan angin siang hari, tak mengahalangi aktivitas warga Solo untuk mampir ke persimpangan jalan itu. Ya, tepatnya di depan Gedung Monumen Pers Nasional, di bawah pohon rindang koran-koran dinding itu dipajang dan dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat.

Berbagai informasi disajikan melalui koran dinding itu. Isu politik, hukum, ekonomi, olahraga hingga iklan lowongan kerja menjadi konsumsi harian warga Solo di saat siang dan sore menjelang.

warga Solo sedang menikmati sajian koran dinding/foto: dokumentasi pribadi


Koran dinding, saya menyebutnya demikian, menjadi bukti bahwa budaya baca dikalangan masyarakat masih ada. Kemasan menarik, situasi dan suasana yang tepat serta budaya membaca sambil berdiri, menjadi daya tarik bagi koran dinding sehingga senantiasa dikunjungi.

Koran dinding, seperti di kota Solo ini sulit ditemukan di perkotaan Indonesia. Sepenemuan saya, hanya baru di depan gedung societe Sasana Soeke (sekarang gedung monumen pers nasional) budaya baca koran dinding dilestarikan.

Koran dinding menurut saya tak sekadar koran yang ditempel di papan kaca bak papan-papan pengumuman. Lebih dari itu, terdapat suatu budaya baca yang memberikan efek samping positif bagi kebersamaan sebagai satu kehidupan sosial.

Budaya baca koran dinding pun menjadi sajian unik dan menarik di tengah berkembangnya dunia komunikasi informasi. Bisa bersama kita saksikan dan rasakan, di era penuh gadget setiap individu dengan mudahnya mengakses informasi dari situs-situs online. Tak perlu melewati terik matahari dan padatnya lalu lintas, informasi sesuai keinginan dengan gampang dapat diperoleh.

Dengan adanya koran dinding, masyarakat secara langsung dapat berkomentar,  bercoloteh dan berdiskusi tentang topik-topik di koran tertentu yang dipajang. Pola pikir dan sikap untuk mengenal sesama lambat laun akan tumbuh di saat kegiatan membaca. Semua merasa sama, tak ada lagi pembedaan status sosial, semua terfokus menikmati sajian media massa.

Budaya baca dan koran dinding bisa saja menjadi sebuah tawaran baru di tengah semakin menurunnya minat baca masyarakat akan media massa cetak seperti koran. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia dimungkinkan untuk menerapkan budaya koran dinding seperti di kota asal Jokowi ini. Tempat-tempat strategis fasilitas umum bisa diletakkan koran dinding. Di samping melayani masyarakat akan informasi, koran dinding bisa dijadikan satu cara untuk meningkatkan kembali budaya baca di kalangan masyarakat luas.

Bagi Anda yang tidak mau membeli koran atau malas membaca, budaya baca koran dinding mungkin pilihan tepat. Di samping unik, tentunya akan menyenangkan dan menambah kenalan dengan sesama pembaca koran dinding.



Bonus Demografi, Bonusnya Pengusaha


Tahun 2013 tentunya harus menjadi langkah baru generasi muda Indonesia. Langkah yang tak lagi santai, tapi langkah luar biasa demi tercapainya cita-cita gejolak jiwa muda, gejolak kesuksesan.

Tren generasi muda di awal tahun adalah membuat resolusi. Resolusi bagaikan daftar keinginan yang siap diwujudkan hingga tahun depan datang. Oleh karenanya, siapkah Anda, hai generasi muda untuk membuat resolusi luar biasa? Tentunya resolusi yang menuntun Anda pada gejolak-gejolak kesuksesan tadi.

Sebelum generasi muda Indonesia membuat daftar resolusinya, saya ingin menawarkan pada generasi muda di seluruh negeri nan indah ini, Indonesia. Tawarannya adalah apakah Anda mau suatu bonus? Pasti tak ada yang menolak jika diberi bonus, terlebih bonusnya berupa uang. Mari kita bersama simak, bonus apa ya yang sedang saya coba tawarkan.

Kita sebagai generasi muda pasti sudah tahu bahwa pada periode tahun 2020-2035 adalah momentum luar biasa bagi perekonomian bangsa Indonesia. Kenapa bisa ya? Pasti bisa, karena pada rentang waktu itulah Indonesia diprediksikan akan melewati masa hebat dan itu tak akan terulang kembali di masa selanjutnya.

Bagi Anda berjiwa wirausaha tentunya sudah siap menghadapi masa hebat itu. Masa hebat itu dikenal dengan masa Bonus Demografi. Dengan artian Indonesia akan melewati masa di mana jumlah penduduk produktif lebih besar dibandingkan jumlah penduduk muda.

Berdasarkan laporan McKinsey Global Institute (MGI), pada 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia mengalahkan Jerman dan Inggris.

Hebatnya, Indonesia menjadi negara maju dengan didorong pertumbuhan kelas konsumen yang akan tumbuh dua kali lipat pada 2030. Lebih lanjut diperkirakan perekonomian Indonesia terus tumbuh 5%-6%, pada tahun 2030 terdapat tambahan 90 juta jiwa kelas konsumen baru. Jika Indonesia mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi 7%, besar kemungkinan akan tumbuh 170 juta jiwa kelas konsumen baru.

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki konsumsi domestik yang besar. Berbeda dengan Cina dan India yang tumbuh pesat disebabkan tingginya angka kontribusi ekspor. Sebagai gambaran, McKinsey menjelaskan kontribusi ekspor terhadap pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia hanya sekitar 11%, sementara kontribusi konsumsi domestik terhadap PDB mencapai 55%.

Sebuah peluang fantastis bukan? Sekarang pertanyaannya, apakah produsen juga akan tumbuh seiring pertumbuhan dua kali lipat konsumen? Apakah kita sebagai generasi muda membiarkan kontribusi konsumsi yang 55% dimanfaatkan oleh negara asing? Tentunya jawabannya tidak. Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, tentunya sangat banyak peluang usaha yang bisa dikembangkan. 

Laporan McKinsey menitikberatkan peluang pasar tersebut akan berasal dari empat sektor, tiga diantaranya mentransformasikan perekonomian Indonesia yakni jasa, perkebunan dan perikanan, dan sumber daya alam. Hal terakhir yang penting adalah bagaimana memainkan peran dalam meningkatkan kemampuan tenaga kerja yang akan mendiversifikasi perekonomian Indonesia lebih hebat lagi. 

Sebagai generasi muda, kita harus tahu dong cara menghadapi bonus demografi mendatang. Tentunya kita tidak mau, ketika saatnya tiba bonus demografi, kita sebagai generasi bingung tak tahu mau melakukan apa. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton di panggung kehidupan bangsa kita sendiri. Untuk itu perlu pengenalan dan persiapan yang saat ini harus kita lakukan segera. 

Hal pertama dan terpenting untuk menghadapi bonus demografi adalah produktivitas. Untuk meningkatkan produktivitas dibutuhkan lapangan kerja yang mampu menampung peningkatan tenaga kerja usia produktif. Tanpa adanya penciptaan lapangan pekerjaan baru serta peningkatan kualitas sumber daya manusia, bonus demografi tidak akan menjadi window of opportunity, justru sebaliknya malah menjadi window of disaster. 

Kita sebagai generasi muda tidak ingin ketika bonus demografi datang, peluang kerja sangat sulit, seleksi ketat dan berujung pada pengangguran terdidik. Oleh karenanya Indonesia butuh banyak lapangan kerja. Dan ingat lapangan kerja itu harus diciptakan dan dibangun. Nah, kesempatan untuk generasi muda, seperti kita-kita ini untuk menciptakan lapangan kerja baru. Kalau bukan kita siapa lagi. Tentunya kita tidak mau menggantungkan nasib masa depan kita pada generasi sebelum kita yang penuh berbagai persoalan. 

Kita pun harus menguatkan diri secara fisik dan finansial untuk menghadapi bonus demografi nanti. Inovasi dan kreatifitas tentu sangat dibutuhkan. Kita tak hanya bersaing sesama generasi muda di Indonesia, tapi juga kita mendapat tantangan dari luar negeri. Terlebih perdagangan bebas segera berlaku total. 

Masih banyak peluang untuk memajukan negeri ini melalui tangan wirausaha. Tanah tropis nan subur banyak yang tidak dikelola. Pemanfaatan kekayaan laut kepulauan Indonesia masih jauh dari harapan. Sektor jasa pun semakin banyak dibutuhkan di Indonesia dan masih banyak lagi. Itu tugas kita sebagai generasi muda untuk menangkap semua peluang itu dan tentunya harus dimanifestasikan dalam kehidupan nyata berupa status baru: wirausaha Indonesia.

Untuk itu mari kita berharap dan berbuat untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Mari arahkan resolusi kita di awal tahun 2013 ini sebagai satu langkah bersama-sama menyongsong karunia Tuhan berupa bonus demografi. Semua itu tentunya membutuhkan komitmen, kerja keras,kerja cerdas dan sikap yang pantang menyerah. Semuanya untuk Indonesia nan jaya. Selamat tahun baru 2013 hai para calon generasi muda pengusaha Indonesia.

APBN Masih Dianggap Dokumen Rahasia

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, memandang bahwa APBN masih dianggap sebagai suatu dokumen yang rahasia.

Menurut dia, masyarakat hanya bisa mengakses APBN ketika produk anggaran tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR RI.

"Tentang keterbukaan informasi kalau kita kaitkan dengan RAPBN atau APBN memang terjadi pendangkalan, pengaburan keterbukaan informasi," sebut Arif, dalam konferensi pers terkait Open Government Partnership, di Jakarta, Minggu (15/4/2012).

Ia menyebutkan, selama ini dokumen APBN dipandang sebagai hal yang rahasia ketika masih dibahas oleh pemerintah dan DPR. Baru setelah produk anggaran tersebut ditetapkan masyarakat bisa mengaksesnya.
Hal ini lantas bertentangan dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.
"Dalam UU Nomor 17 tahun 2003 bahwa anggaran negara harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tambah Arif.

Berdasarkan sejumlah produk hukum tersebut, keterbukaan informasi terkait APBN itu seharusnya dimulai dari proses pembahasan hingga pada produk APBN itu ditetapkan.

Maksudnya, produk APBN bisa diakses untuk mendorong partisipasi publik dalam proses pembahasan.
"Tapi faktanya RAPBN yang dibahas oleh pemerintah dan DPR itu masih dianggap sebagai dokumen rahasia. Ada pengaburan tentang makna semata informasi itu hanya ketika produk ditetapkan," tegas dia.

"Jadi saya kira sebenarnya ada pendangkalan pemaknaan tentang substansi keterbukaan informasi. Itu mengalami pengaburan," pungkas Arif.

Bank Mandiri, Solusi Kehidupan Mandiri Anda

Semakin tingginya permintaan layanan keuangan dari masyarakat Indonesia, mengharuskan dunia perbankan kompetitif dalam memberikan keunggulan dalam pelayanan. Data Bank Dunia menunjukkan 56,5 persen dari 237 juta penduduk Indonesia adalah kelas menengah. Semakin tumbuhnya kelas menengah, tentunya memberikan peluang besar bagi produk perbankan.

Sebagai salah satu bank ternama dan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, Bank Mandiri telah memberikan layanan  terdepan, terpercaya bagi konsumennya. Tentunya dengah harapan Bank Mandiri dapat tumbuh dan mewujudkan masa depan bersama Anda.

Demi memberikan pelayanan maksimal, Bank Mandiri dalam layanan distrubusinya telah dilengkapi jaringan Electronic Data Capture, Electronic Channels yang meliputi Mandiri Mobile, Internet Banking, SMS Banking dan Call Center 14000. Dengan pelayanan tersebut, pengguna Bank Mandiri telah memeroleh banyak kemudahan dalam setiap kebutuhan dalam hidup. Bagi Anda yang masih bingung memilih layanan perbankan, segera putuskan bahwa Bank Mandiri-lah yang selama ini Anda dambakan.

Dengan kehidupan mandiri Anda, Bank Mandiri memberikan kemudahan bagi Anda dengan mandiri tabungan. Hanya dengan setoran awal sebesar Rp 500.000,- Anda akan memiliki rekening tabungan diseratai Kartu Mandiri Debit yang bisa digunakan untuk berbelanja di merchant-merchant tertentu. Fasilitas ATM Mandiri, SMS banking, Internet banking dan Mandiri Call 14000 akan senantiasa memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi transaksi keuangan Anda.

Tak puas dengan mandiri tabungan, Anda pun bisa membuat mandiri kartu kredit. Dengan layanan ini, aktivitas belanja Anda tidak akan terkendala lagi permasalahan keuangan. Anda akan menikmati transaksi pembelanjaan atau penarikan tunai di seluru merchant berlogo Visa atau ATM berlogo Plus dan Mastercard.

Bank Mandiri pun juga semakin memberikan kemudahan dalam pelayanannya terkait kebutuhan uang secara cepat dan dalam jumlah besar. Diantaranya, mandiri kredit tanpa agunan (KTA) ini merupakan kartu kredit perorangan tanpa agunan dari Bank Mandiri untuk berbagai keperluan. Mandiri KTA ini  diberikan kepada calon debitur yang memenuhi persyaratan, diantarnya calon dibetur harus sudah bekerja dan memiliki penghasilan. Mandiri KTA ini tentunya memberikan keuntungan besar bagi penggunanya, yaitu cicilan ringan, tanpa agunan, dan limit kredit hingga Rp 200 juta. Pastinya layanan ini akan memudahkan keuangan mandiri anda. Terlebih mandiri kta ini memberikan perlindungan asuransi jiwa bagi penggunanya

Selanjutnya, tentunya Anda tak ingin bukan mimpi Anda gagal terwujud di masa depan karena terbentur masalah keuangan? Mandiri Tabungan Rencana solusinya. Anda bisa menggunakan mandiri tabungan rencana ini jika ingin mewujudkan mimpi Anda di masa mendatang. Mandiri tabungan rencana ini dalam valuta rupiah dan US Dollar. Anda bisa mengatur jangka waktu dan mendapat perlindungan asuransi gratis plus bunga relatif tinggi dari layanan ini.

Terakhir ini adalah sebuah layanan dari bank mandiri yang sesuai untuk Anda yang ingin memiliki rumah tapi terbentur masalah keuangan. Ya, Mandiri KPR. Layanan ini adalah kredit pemilikan rumah dari bank mandiri yang diberikan pada perorangan dengan proses cepat, mudah dan suku bunga kompetitif. Bagi Anda yang membutuhkan rumah tinggal/apartemen/ruko/rukan yang dijual melalui developer atau non depelover, Mandiri KPR lah solusinya. Dengan uang muka ringan dan jangka waktu fleksibel hingga 15 tahun, mimpi Anda untuk memiliki rumah akan segera terwujud.

Nah tunggu apalagi, pastinya Anda sudah memahami beberapa keunggulan dari Bank Mandiri. Segera wujudkan mimpi Anda dengan Bank Mandiri. Kehidupan mandiri Anda akan  menjadi kenyataan. Selamat bergabung dengan Bank Mandiri.


*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba #blogbankmandiri

 



Pentingkah Sinergitas Jurnalis dan Masyarakat?

Baru-baru ini, Rabu 6/2, Manajer Program Media dan Informasi Yayasan TIFA, R.Kristiawan melontarkan pernyataan bawah saat ini banyak media di Indonesia yang tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas demokrasi. "Mirisnya, malahan media itu mengancam demokrasi itu sendiri," ujarnya pada diskusi publik "Tirani Media Menghadapi Pemilu 2014" seperti yang diberitakan Gatra.com 

Lebih lanjut, Kris berpendapat adanya kesalahpahaman dalam mengartikan reformasi kemerdekaan media sejak 1994. Menurutnya, reformasi itu hanya dipahami pada dimensi liberalisasi politik. Seharusnya dimensi liberalisasi ekonomi juga harus dipikirkan mengingat adanya koridor profit. Terlebih saat ini para pemilik media lebih mengutamakan ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Kita bersama mahfum, pemilu 2014 semakin dekat. Aksi gerak cepat partai politik memikat perhatian publik semakin terlihat, terlebih di media massa. Negeri ini sempat dihebohkan dengan bergabungnya Hary Tanoesudibyo (pengusaha media MNC Group) ke Partai Nasdem besutan Surya Paloh (pemilik Media Group dan sekarang Ketua Umum Partai Nasdem).

 Masyarakat Indonesia lega, ketika ada perpecahan visi antara Hary Tanoe dan Surya Paloh yang berujung pada keluarnya bos MNC Group dari Partai Nasdem. Selain isu panas MNC Group dan Media group tadi, permasalahan di dunia media massa semakin terus terjadi. Lihat kasus Luviana, jurnalis televisi berita di negeri ini yang menjadi korban pemilik media. Selain itu, framing berita dan konstruksi realitas yang tidak seimbang kerap terjadi di media massa demi saling sindir dan menjatuhkan kelompok lain.

Saya sepakat dengan pernyataan Kris yang mengungkapkan bahwa para jurnalis yang memprakarsai proses demokratisasi akhirnya menjadi korban liberalisasi ekonomi. Terlebih dengan posisi jurnalis yang masih lemah, sehingga mereka harus siap menghadapi tekanan dan pengaruh dari pemilik media yang bertendensi politik dalam melaksanakan fungsinya.

Jurnalis sejatinya sama dengan pekerjaan yang lain. Namun, profesi jurnalis yang terhimpun dalam konstruksi PERS memiliki kesempatan (katanya) sebagai kontrol sosial. Pers dikenal sebagai pilar keempat demokrasi dan memiliki fungsi sebagai watchdog bagi  kekuasaan.Dalam menjalankan fungsinya, jurnalis sama saja dengan buruh di perusahaan lain yang harus tunduk pada pemilik modal/pengusaha. 

Seberapa hebatnya jurnalis dan memiliki idealisme tinggi untuk kepentingan publik, ia tetaplah buruh yang memiliki 'hutang' pekerjaan bagi pemiliki modal.Lihat saja, permasalahan kesejahteraan di beberapa media di negeri ini masih menjadi sorotan utama beberapa organisasi jurnalis. Rendahnya apresiasi pemilik media, persaingan media nan kompetitif, dan tidak kompaknya jurnalis dalam membela haknya membuat pekerjaan jurnalis masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Secara tidak langsung, setiap pribadi jurnalis mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengontrol proses demokrasi di negeri ini. Tapi apa daya,  tingginya posisi tawar pemilik media yang ikut berpolitik membuat pribadi jurnalis sesekali (sering) melepaskan baju idealisme.

"Bohong, jika ada jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik." Ungkapan itu bisa saja muncul karena media saat ini bekerja untuk memperoleh banyak iklan dan tentunya bermuara pada terkumpulnya modal yang besar. Saya pikir, itulah apa yang disebut Kris tadi ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Jurnalis Butuh Masyarakat

Jurnalis sejatinya warga sipil yang tidak memiliki kewenangan besar dalam mengontrol warga lain. Tidak seperti pemerintah yang bertindak sebagai penguasa dan berkuasa. Sejatinya jurnalis tak ada bedanya dengan masyarakat yang selama ini menjadi sumber-sumber informasi.

Dengan tidak adanya perbedaan antara jurnalis dan masyarakat, sudah sepatutnyalah jurnalis dan masyarakat bahu membahu saling membantu dalam mengawal perjalanan demokrasi di negeri ini. Semakin tingginya kekuasaan pemilik media atas jurnalis, masyarakat sebagai pihak yang dipentingkan oleh jurnalis harus ikut berperan aktif dalam menghadapi kekuasaan pemilik media.

Saya ingin mencontohkan, beberapa kasus kekerasan dan pembunuhan atas jurnalis hingga saat ini belum dituntaskan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Intimidasi yang dialami beberapa jurnalis kerap terjadi ketika jurnalis membeberkan fakta-fakta penguasa korup. Ya, hal ini bisa dikatakan sebagai usaha bagi kepentingan masyarakat. Sayangnya, ketika jurnalis dalam masalah, masyarakat seolah-olah tidak peduli nasib malang yang menimpa pelayan informasinya.

Rendahnya hubungan antara jurnalis dan masyarakat luas, menyebabkan penguasa dan pengusaha semena-mena memanfaatkan sumber daya di negeri ini. Kapitalisasi terus berkembang di atas ideologi oportunis yang katanya sering disusupi pihak asing. Jika ini dibiarkan, ya dampaknya akan seperti saat ini. Media massa akan terus berkembang ke arah ideologi profit, jurnalis menjadi alat palsu keberpihakan terhadap publik.

Untuk itu, di tengah uforia demokrasi, saya menilai pentingnya sinergitas masyarakat dan jurnalis dalam menghadapi kapitalisasi pemilik media (pengusaha) dan penguasa (pemerintah). Persatuan keduanya akan menguatkan posisi rakyat di mata penguasa, dan posisi insan media/jurnalis sebagai pelayan informasi bagi masyarakat luas dan pengawas demokrasi. Tentunya dibutuhkan niat baik dari setiap pihak demi tercapainya tujuan bangsa negara ini, yakni kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur.

Bertumbuhlah Pahlawan Antikorupsi!

Andai Aku Menjadi Ketua KPK

Dua guru bangsa,Soekarno-Hatta telah mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. Tapi perjalanan mewujudkan cita-cita kemerdekaan masih jauh terbentang. Sesungguhnya kita belum merdeka, merdeka dari praktik korupsi. Kita masih membutuhkan pahlawan antikorupsi. Seperti ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Aku pun ingin tumbuh sebagai pahlawan antikorupsi. Andai aku menjadi ketua KPK, aku akan:
 
1.      Mengedepankan pendidikan antikorupsi untuk generasi muda Indonesia.
2.      Memperluas lembaga KPK hingga provinsi dan kabupaten/kota.
3.      Menjaga kewibawaan KPK dengan merekrut pegawai KPK yang independen
4.      Mempertahankan UUD No 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5.      Meningkatkan Koordinasi dengan lembaga penegak hukum lain
6.      Memperkuat penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
7.      Mencegah dan memonitor penyelenggaraan lembaga negara
8.      Menyediakan kotak aduan tindak korupsi di setiap lembaga KPK pusat dan daerah
9.      Memberi penghargaan sebagai pahlawan antikorupsi bagi whistle blower
10.  Menerbitkan buku profil para koruptor bersalah setiap tahun dan dijual secara umum di masyarakat.

      Tumbuhlah para pahlawan antikorupsi. Tegakkan kepala tunjukkan keberanian pada koruptor. Hiduplah dan berjuanglah pahlawan antikorupsi. Jasa-jasamu akan berguna untuk bangsa dan negara ini di masa mendatang. Seperti hasil juang dua pahlawan nasional baru kita, Sukarno-Hatta.

Bertumbuhlah Pahlawan Antikorupsi! (essay)

Bangsa Indonesia patut bersyukur dan lega, akhirnya gelar pahlawan nasional pun disematkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dwi tunggal proklamator kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Soekarno-Hatta pada Hari Pahlawan, 10 November 2012. Betapa tidak, harta dan nyawa dipertaruhkan demi tercapainya cita-cita Pembukaan UUD 1945: Indonesia merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Walaupun dua guru bangsa itu telah mendapatkan gelar sepatutnya, tapi perjalanan mewujudkan cita-cita kemerdekaan masih jauh terbentang. Sesungguhnya kita belum merdeka.

Masih banyak permasalahan bangsa dan negara ini. Salah satunya korupsi. Mari coba tanya pada diri kita sendiri. Apakah kita telah merdeka dari praktik korupsi? Apakah kita telah bersatu melawan koruptor penggasak kekayaan negara ini? Apakah kita sudah merasakan kehidupan yang adil dan makmur?
Zaman terus bergulir, generasi terus berganti  dan tantangan pun berbeda. Desentralisasi kekuasaan, tingginya ongkos politik dan  praktik suap telah memicu praktik korupsi. Terlebih itu terjadi di lembaga pemerintahan, perusahaan pemerintah dan swasta. Praktik kotor korupsi terus merajalela dan menggerogoti kesucian hati nurani kita sebagai bangsa beradab.

Kita tahu korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Lihatlah di negeri kaya sumber daya alam ini, masih banyak rakyat yang kelaparan dan luput pendidikan. Ketimpangan sosial semakin terlihat, seolah-olah dewi keadilan tak pernah ikut campur dalam kehidupan kita.

Perlu cara-cara luar biasa memerangi korupsi, seperti kasus Bank Century, wisma atlet, cek pelawat pemilihan gubernur senior BI, dan simolator SIM. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada 2003, terlihat signifikan hasil pemberantasan korupsi. Anggota DPR, menteri, pemerintah daerah, komisioner KPU, Jaksa, duta besar, hingga CEO BUMN  ditindak bersalah di Pengadilan Tipikor. Sejak 2011 saja sekitar Rp 152,9 triliun aset kekayaan negara telah diselamatkan.

Toga



Sebuah momen yang paling dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah wisuda. Ya, momen bahagia di mana seorang mahasiswa dinyatakan berhasil melewati lika liku kehidupan kampus.

Di hari wisuda, seorang mahasiswa berdandan dengan sangat apik. Berusaha tampil cantik dan gagah. Kebaya dengan berbagai macam warna dan desain, hingga sepatu yang menawan bagi wisudawati. Lain hal dengan wisudawan. Setelan jas hitam, dasi, dan sepatu pantofel terlihat serasi dengan bahu tegak dan tegap.

Hal lain yang sangat dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah mengenakan jubah hitam, kalung berlogo universitas dan tentunya toga berwarna hitam. Terlihat wah dan sangat menggetarkan jiwa.

Hari di saat wisuda merupakan hari yang sangat istimewa. Orang tua, sanak saudara dan kolega hadir untuk merayakannya. Hari yang begitu semarak diisi dengan upacara pelantikan wisudawan dan wisudawati oleh rektor dan petinggi-petinggi universitas. Nyanyian hymne universitas terdengar menggetarkan jiwa. Tak jarang ada air mata yang menetes. Haru menyelimuti jiwa sebagai tanda status mahasiswa telah ditanggalkan. Berganti status lain yang terkadang masih misteri.

Banyak orang bertanya-tanya ketika acara wisuda berlangsung. Pertanyaan itu terkait aksesoris mahasiswa yang akan diwisuda, yaitu Toga.

Dia & Politik Kampus


Dia  tercenung sejenak. Memeriksa suara teriakan yang sayup-sayup terdengar. Tangannya ia katupkan di telinga. Berharap suara itu datang lebih jelas. Suara sayup itu pun tak kunjung jelas.

“Pilihlah kami. Pilih no 3. Kami pasangan....... berbakti untuk kepentingan mahasiswa,” suara sesekali lantang. Sesekali hilang ditiup hembusan angin sore.

Dia pun mengabaikan suara itu. Ah, biarlah. Paling suara mereka-mereka yang haus akan kekuasaan kampus. Mereka yang haus untuk menduduki kursi panas. Dekat dengan rektor, mengumbar janji pro mahasiswa. Pandai bermanis mulut berkata telah berbuat banyak untuk kepentingan rakyat mahasiswa. Mereka seperti pahlawan, datang  untuk berjuang demi kepentingan bersama. Memang terlihat, tapi sayangnya ada kepentingan golongan yang setiap tahun mereka pertahankan.

Dia sudah malang melintang di dunia kehidupan kampus. Perkenalkan, namanya dia. Semester tiga belas. Tinggal satu semester lagi nasibnya akan ditentukan. Tamat sebagai sarjana atau pecundang malang yang katanya hidup berkalang kepedulian.

Setiap tahun, dia mendapatkan selebaran kertas kecil. Kadang berwarna merah, biru, hijau atau putih. Ada dua foto mahasiswa berjas rapi, kadang berdasi. Berdiri tegap atau duduk dengan mata awas, gagah. Dua mahasiswa itu katanya pahlawan pembawa kemenangan. Semoga begitu. Mereka politisi kampus, pemain utama di sebuah kampus di negeri yang sedang belajar demokrasi. Selebaran itu pun memiliki angka. 1,2 dan 3. Jarang sekali 4 dan 5.

Tahun-tahun awal menjadi mahasiswa, dia bengong, tak mengerti politik kampus. Tahun berikutnya, ia mulai mengerti politik, walaupun sebatas definisi. Dari pengetahuan yang ia dapatkan, politik itu adalah kegiatan atau aktivitas yang memberikan dampak kebaikan bagi semua elemen masyarakat. Dia lupa siapa tokoh yang berbicara demikian. Tahun berikutnya, ia mulai paham bahwa politik kampus itu penuh kepalsuan. Kata-kata manis, diiringi teriakan kesatuan membuatnya paham bahwa politik kampus hanyalah alat aktualisasi diri bagi mereka yang oportunis.

Menjelang angka tujuh tahun dia berstatus mahasiswa, banyak pengalaman yang ia rasakan. Tapi pengalaman akan politik kampus tak pernah terselesaikan. Dulu ketika masih berstatus siswa, dia memuji tindakan mahasiswa yang bentrok dengan aparat pemerintah. Membela rakyat jika sembako naik, mendemo pemerintah jika subsidi bbm dikurangi. Sekarang pujiannya akan status mahasiswa semakin memudar. Pudar dan tak berwarna lagi.

Dunia kampus memang penuh kenangan. Dia mengakui hal itu. Tapi ada kenangan yang tak pernah ia lupakan. Kenangan akan politik kampus yang benar-benar menghantuinya. Selalu terngiang dan tak pernah mendapat jawaban yang pas. Beberapa kenalannya dari mahasiswa sekarang sibuk bekerja di perusahaan, jadi karyawan. Dulu kenalannya ini berada di barisan depan setiap unjuk rasa. Berani pasang badan, dengan ikatan kain di kepala.

Hmm. Politisi kampus hanyalah sebutan keren bagi para mahasiswa pembela kebenaran dan keadilan. Dia mencoba menyimpulkan walaupun tak semua itu mungkin benar.

Suara sayup-sayup teriakan kampanye kampus masih terdengar. Huh, politik kampus adalah politik menyelamatkan diri sendiri setelah menanggalkan status mahasiswa. Itu politik individualistis demi terciptnya kehidupan pribadi yang realistis. Tak ada yang salah memang. Karena setiap mahasiswa hal pertama ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri, lalu keluarga, terakhir baru bangsa dan negara. Dia hanya sesalkan, masih ada (banyak) politisi kampus yang berlindung dari jubah kemunafikan. Jubah di mana mereka merasa adalah para pemenang. Selainnya pecundang. Sayangnya bukan.

Hah. Semoga ini asumsi dan prasangka negatif dia saja.

Tanda Seru (!)


Saya ingin bercerita. Kali ini tentang sebuah tanda seru (!) di kampus saya tercinta, Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom), Universitas Padjadjaran. Tanda seru berwarna putih berlatar belakang warna biru, bisa dibilang rutin tersebar diseantero kampus ketika mendekati akhir tahun. Ya, bilangan Oktober-Desember di setiap tahunnya. Tanda seru (!) berposter kecil dan besar ditempel di dinding, kursi hingga tembok-tembok gedung perkuliahan. Untuk saat ini, tanda seru (!) terpajang di gerbang masuk fakultas.

Pasti banyak yang bertanya, tanda apa itu? Anda pun mungkin bertanya-tanya. Tapi saya tentunya tak akan memberikan jawaban akan arti tanda seru (!) itu dalam konteks kampus saya.

Saya ingin bercerita lain dalam persepsi berbeda. Pada 1839-1914 seorang filusuf, ahli logika dan semiotika Amerika Serikat Charles Sanders Pierce mengungkapkan bahwa kita sebagai manusia hanya bisa berfikir dengan sarana tanda, tanpa tanda komunikasi tidak bisa dilakukan. Tanda menjadi penting karena melalui tandalah manusia bertukar persepsi yang merupakan inti komunikasi.

Tanda seru (!) berwarna putih, berlatar belakang biru tadi menjadi media komunikasi antara komunikator (pemberi pesan) dan komunikan (penerima pesan). Pada awalnya, tanda seru (!) berupa tumpukan huruf,yaitu huruf i ditulis di atas huruf o, namun dirasa tak efektif. Tanda ini berasal dari bahasa Latin “io” yang berarti “seruan kegembiraan”. Sekarang tanda seru (!) yang simpel telah menjadi konsumsi kita saat ini.

Kembali ke cerita soal tanda seru (!) di kampus saya. Tanda seru di sana tak selalu diartikan ‘seruan kegembiraan’, malahan diartikan suatu tanda akan suatu hal yang mendebarkan dan penuh kehati-hatian. Sama seperti tanda seru (!) di jalan raya yang menandakan tanda untuk berhati-hati. Di aturan EYD Bahasa Indonesia, tanda seru (!) dipakai sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau rasa emosi yang kuat.

Bagi sebagian orang yang memiliki rasa emosi yang kuat, tanda seru (!) tentunya menjadi perhatian serius. Tapi tidak bagi mereka yang cuek atau tidak memiliki rasa emosi itu. Tanda itu hanyalah tanda biasa yang tidak memiliki arti apapun baginya. Untuk itu, agar pesan tanda tersebut bisa sampai pada objek, pemberi tanda seharusnya telah membentuk persepsi kuat bahwa tanda seru (!) memiliki tujuan. Jika tidak tentulah tanda itu menjadi sia-sia.

Tanda seru (!) harus berakhir dengan kegembiraan, sesuai dengan arti sebenarnya ‘seruan kegembiraan’. Kegembiraan tentunya hal yang bisa mendekatkan hubungan antar berbagai pihak dilingkari rasa senang dan bahagia. Semoga kegembiraan itu benar-benar terjadi.

Salam tanda seru (!)

Kamis, 18 Oktober 2012







Wartawan, aparat dan kekerasan

Seorang tentara TNI AU terlihat mencekik wartawan yang meliput jatuhnya pesawat tempur Hawk 200 di Riau, Pekanbaru, Selasa (16/10). Aksi ini dilakukan di hadapan sejumlah anak sekolah dasar.



Dua hari lalu, Selasa (16/10) dunia demokrasi dan kebebasan berekpresi kembali tercoreng. Beberapa orang wartawan dipukul,kamera dirampas, dan dianiaya oknum aparat TNI. Kejadian itu bemula, ketika  pemburu berita berusaha mengabadikan jatuhnya pesawat tempur TNI AU di Pekanbaru.

Masih teringat jelas, pada Selasa (29/5) silam oknum TNI dari satuan Marinir menganiaya tujuh wartawan di Padang. Sejumlah peralatan liputan dirusak. Jelas tak ada salah, para pemburu informasi hanya melakukan tugas liputan penertiban sejumlah kedai remang-remang yang diduga sebagai tempat praktek asusila oleh Satuan Polisi Pamong Praja Padang.

Dua kejadian terakhir tentunya sangat mencoreng kebebasan pers. Di negeri yang katanya sedang berlangsung demokrasi ternyata masih menunjukkan budaya hukum rimba. Siapa yang kuat, dia yang menang. 

Gubernatorial Election: Between Citizens' Party or Party's Party


Tomorrow, July 11, is a time for jakartans to elect their new governor for the 2012-2017 period. As we know, every candidate had campaigned about her vision and mission if they are elected in this election. Every candidate had a unique campaign. Each candidate held an event, showed a famous figure from the artist or popular person. For sample, duo candidate Foke-Nara shows manysingers and band: Roma Irama& Soneta, Ridho Roma, Wali Band, D'Massiv, Didi Kempot, and Chintya Sari.


Their supporter enjoys the show, dancing and shouting while mentioning the name of Foke-Nara. We could call this election campaign as citizen party. In this condition, many supporters can enjoy the show and get home a money from candidate.

In other hand, Alex-Nono candidate extended free medicine for their support. Once more time, this is a citizen party. Behind this party phenomena in election, not all people know that every party has prepared for their party. There have prepare what will they do if their candidate won this election.

Tomorrow, citizen party has done. No more money, no more food, no more medicine, just an adjustment of candidate promises as long as their campaign. 

Tomorrow, the result of the election will tell us as jakartans that how the condition of Jakarta in five years to go. Nobody knows about that. The important thing is everybody has experienced their party. The different thing is how long everybody can enjoy the effect of this gubernatorial election

Mempertanyakan Nasib Anas Urbaningrum


Pada Rabu, 13 Juni 2012 ruang Puri Agung Hotel Sahid, Jl Sudirman, Jakarta, terlihat megah. Tirai biru muda dan deretan kursi menghadap ke panggung. Di panggung telah berdiri podium. Berlatar belakang foto Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Ketua Umum Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FPKD) PD, Ventje Rumangkang, bertuliskan “Silaturrahmi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat” ; “Demokrat Tetap Satu, Sekali Demokrat Tetap Demokrat”.

Wartawan yang bertugas meliput acara ini sempat bertanya-tanya, “Kenapa tidak ada wajah Ketua Umum, Anas Urbaningrum di background itu?”. Beberapa anggota PD bingung untuk memberikan penjelasan. Tapi, Ketua DPP PD, Sutan Bathoegana, mengatakan gambar wajah Anas tak ada karena ini forum yang digelar oleh FPKD PD. "Lho ini kan forum yang digagas FPKD, jadi wajar saja," kata Sutan, seperti yang dikutip dari detiknews.com.

Walaupun penjelasan sudah diberikan, tetap saja rasa kepenasaran pemburu berita bergelora. Terlebih dalam rapat ini diikuti oleh elemen PD mulai dari Dewan Pembina, Majelis Tinggi, dan seluruh Ketua DPD PD.

Pertemuan bertajuk “Silaturrahmi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat” meninggalkan tanda tanya besar dengan hadirnya DPD PD dari setiap daerah. Selaiknya partai, DPD merupakan bawahan langsung dari DPP. Ada hal aneh ketika Ketua DPP tidak diundang datang.

Berdasarkan informasi yang diperoleh wartawan, pertemuan ini bertujuan untuk mendengarkan masukan Ketua DPD se-Indonesia, terlebih dengan semakin merosotnya citra partai di mata publik. Selain itu, Ketua Dewan Pembina SBY juga memberikan arahan untuk persiapan menghadapi pemilu 2014. Seperti yang dijelaskan Sutan, SBY akan mendengarkan juga masukan dari forum pendiri dan deklarator PD yang nantinya akan dirumuskan sebagai arahan untuk para pengurus PD. Sekali lagi, mengapa Ketua DPP, Anas tak diundang mengingat DPD berada di bawah kepemimpinannya. Terlebih salah satu rumusannya berguna untuk partai dalam menghadapi pemilu 2014.

Lain hal dengan komentar Wakil Ketua Dewan Pembina PD Marzuki Alie. Ia menjelaskan alasan tidak hadirnya Anas bertujuan membangkitkan keberanian DPD untuk berani berbicara. Marzuki mengaku diberi informasi langsung SBY bahwa itu hanya forum DPD PD. "Memang tidak melibatkan DPP supaya DPD-nya berani ngomong,"katanya.

Terlepas dari tanda tanya besar ketidakhadiran Anas, beredar isu bahwa Anas akan digulingkan dari kursi kekuasaannya. Mengingat beberapa kasus korupsi yang menyebutnya terlibat. Baru-baru ini pun KPK memastikan bahwa Anas terlibat korupsi dalam pembangunan  sport center, Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Nama Anas yang semakin santer disebut-sebut Nazaruddin sepertinya mempengaruhi ketidakhadirannya di Cikeas beberapa waktu lalu. Penegasan Anas berupa bantahan bahwa ia tidak terlibat korupsi tak lagi didengar oleh Dewan Pembina PD, SBY. Walaupun Anas siap digantung di Monas, terlebih dahulu Anas harus siap dilengserkan dari kekuasaan sebagai Ketua Umum PD. Forum beberapa waktu lalu mungkin saja sudah membicarakan itu semua.

Untuk selanjutnya, apa yang bisa ditebak dari putusan Partai Demokrat pada Anas Urbaningrum? Mengingat DPD yang notabennya berada dalam kekuasaannya telah bertemu langsung dengan Dewan Pembina dan majelis tinggi tanpa kehadirannya. Sikap wibawa seperti apa yang nantinya diperlihatkan Anas untuk membayar harga dirinya dihadapan DPD se-Indonesia. Apakah instruksi Anas untuk kemajuan partai akan didengar dan dilakukan? Entahlah, terlebih dalam forum itu juga dibahas strategi PD dalam menghadapi 2014, minus Anas. Kita tunggu saja kejutan dari partai berkuasa ini.