Independensi Ilmu Jurnalistik, Perlukah?

Pernah satu kali, saya dan teman di Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran berdiskusi mengenai posisi Ilmu Jurnalistik dalam Ilmu Komunikasi. Pada saat itu tepatnya dalam perkuliahan Kapita Selekta.  Kapita Selekta adalah sebuah mata kuliah yang khusus diajarkan untuk melihat dan memahami Ilmu Komunikasi secara keseluruhan.

Dalam diskusi tersebut, ada yang berpendapat bahwa Ilmu Jurnalistik bukanlah sebuah ilmu, melainkan sebuah bagian dari Ilmu Komunikasi yaitu metode komunikasi. Dalam metode komunikasi sendiri, terdapat metode lain komunikasi diantaranya public relations,propaganda, periklanan, dan lainnya. Namun, dalam diskusi tersebut didiskusikan juga mengapa hingga saat ini di Indonesia khususnya, para ahli atau ilmuwan di bidang komunikasi belum mampu meng-ilmukan Jurnalistik. Dengan kata lain Ilmu Jurnalistik berdiri sendiri dan tidak berada di bawah naungan Ilmu Komunikasi.

Bisa Anda lihat dan ketahui sendiri, di universitas besar negeri di Indonesia Ilmu Jurnalistik belum dijadikan program studi. Malahan Ilmu Komunikasi yang selama ini menjadi induk Ilmu Jurnalistik masih dipertanyakan dan diperdebatkan sisi keilmuannya. Contoh saja, di Universitas Indonesia, Ilmu Komunikasi masih berada dalam naungan Fakultas Ilmu Sosial Politik. Begitu juga di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Andalas di Sumatera Barat. Sebagai pembanding di luar Indonesia, di Universitas Florida Amerika Serikat, seorang dosen tamu saya Mindy McAdams mengatakan bahwa di universitasnya, Jurnalistik atau jurnalisme sudah menjadi fakultas independen. Ia menyebutkan nama fakultas tersebut adalah Faculty of Journalism and Communication. Saya pun berpikir, dengan tingkat kemajuan negara Amerika Serikat, mereka sangat menghargai Ilmu Jurnalistik dengan menjadikannya sebagai sebuah fakultas. Lalu mengapa di Indonesia jurnalistik masih diperdebatkan, terlebih Ilmu Komunikasi ?

Demokrasi dan Jurnalisme

Tak dapat dipungkiri di sebuah negara demokrasi, pers atau jurnalisme sangat berperan penting dalam melangsungkan kehidupan negara. Pers sangat berperan penting, sehingga disebut sebagai kekuatan ke empat atau The Fourth Estate dalam demokrasi. Posisi penting setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, membuat pers atau jurnalisme tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan suatu negara. Namun, mengapa ilmu jurnalistik masih dipertanyakan dan diperdebatkan keberadaannya untuk menjadi sebuah  ilmu yang independen?

Memuat kritikan pribadi dan opini saya, tulisan ini diharapkan bisa menjadi autokritik dan bahan diskusi bagi saya dan pembaca dalam meng-eksistensikan jurnalistik sebagai ilmu. Kembali pada diskusi saya dan teman-teman di kelas Kapita Selekta tadi, ada teman yang menyebutkan bahwa Ilmu Jurnalistik belum menjadi ilmu mandiri dikarenakan adanya ketidakmauan atau ketakutan dari para ahli Ilmu Komunikasi untuk berbuat. 

Saya sepakat dengan pendapat bahwa para ahli komunikasi tidak memiliki keinginan untuk mengindependenkan ilmu jurnalistik. Mengapa demikian? Karena setahu saya, para ahli atau profesor di bidang komunikasi lebih cenderung mengembangkan Ilmu Komunikasi ke bentuk-bentuk lain dibandingkan mengembangkan ilmu jurnalistik. Contohnya, para ahli komunikasi lebih mengembangkan komunikasi terapi, komunikasi kesehatan, komunikasi  bisnis dan sebagainya. Sedangkan untuk komunikasi massa yang di dalamnya ada ilmu jurnalistik cenderung diabaikan. Mirisnya, para praktisi yang terdiri dari media massa, wartawan, dan pengamat media hanya disibukkan memperdebatkan isu-isu pemberitaan di negara ini, bukan memperbincangkan sisi keilmuwaannya.

Saya pun menyesalkan ketika kaum akademisi tidak punya kegairahan untuk menjadikan Ilmu Jurnalistik sebagai sebuah ilmu yang diakui seperti ilmu kodekteran, ilmu ekonomi, ilmu alam dan sebagainya. Bercermin dari apa yang saya perhatikan, Jurusan Jurnalistik yang notabennya harus melahirkan ilmuwan-ilmuwan di bidang jurnalistik justru hanya terfokus pada bagaimana mencetak para pekerja media atau wartawan yang “benar”, pandai menulis, dan memiliki daya tahan dan daya saing ketika terjun ke dunia kerja. 

Kembali pada kaitan jurnalisme dan demokrasi, pers berada dalam posisi dilema. Di satu sisi, pers haruslah melayani publik dengan informasi, di sisi lain pers juga menjadi pusat bisnis yang menggiurkan. Saya tidak menyangkal hal kedua bahwa pers adalah lahan bisnis yang sangat menggiurkan. Oleh karenanya, tidak jarang para wartawan yang memiliki kemampuan pikiran yang luar biasa harus menerima bayaran kecil. Melihat hal tersebut, di sinilah menurut saya letak dari keberadaan Ilmu Jurnalistik. Di sinilah fungsi jurnalistik sebagai ilmu. 

Dengan menjadikan Jurnalistik sebagai ilmu, bukanlah sebagai bagian kecil ilmu komunikasi, posisi tawar jurnalistik menjadi tinggi. Melihat peran jurnalistik yang cukup besar tadi, tidak pongah saya pikir jika jurnalistik adalah alat untuk mencerdaskan dan memajukan negara di samping pendidikan formal. Oleh karenanya, penting sekali ilmu jurnalistik disahkan sebagai ilmu yang independen seperti ilmu lainnya. Tentunya dengan harapan bisa melahirkan para ilmuwan yang fokus pada pengembangan Ilmu Jurnalistik demi tercapainya kehidupan demokrasi yang lebih baik. Pada akhirnya tentu bertujuan untuk memajukan bangsa dan negara tercinta.

1 komentar:

  1. Jadi tidak benar kalau jurusan kamu sudah dijadikan prodi ya? haha

    BalasHapus