Media Nasional, Lebay Tak Kunjung Usai

Bencana gempa dan tsunami yang melanda negeri Sakura memberikan peluang besar bagi media massa untuk terdepan menyampaikan informasi. Namun, peluang tersebut disalahgunakan oleh media, sehingga memberikan keresahan bagi publik di tanah air.



Keresahan itu terbukti ketika Ketua Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang memberikan siaran pers di Tokyo, 17 Maret 2011. Seperti yang dijelaskan pada situs www.ppijepang.org , bahwa PPI Jepang menyatakan bahwa media nasional tidak profesional dalam menyampaikan berita terkait bencana jepang.

Tidak bisa kita pungkiri, sejak bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang, media nasional berbondong-bondong memberitakan tragedi ini. Terutama media massa televisi. Dengan kemampuan audiovisualnya, televisi mampu membuat publik terkesima dan ketakutan melihat betapa dahsyatnya tsunami yang melanda Jepang. Tidak cukup satu atau dua kali tayangan, tetapi hampir di setiap program berita tayangan air yang menggulung dataran Jepang terus diputar. Tangisan pilu yang menyayat hati pun menjadi produk komersial yang memiliki nilai jual tinggi bagi media.

Pada kode etik jurnalistik (KEJ) terdapat peraturan yang menyatakan bahwa Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Ini menandakan apapun yang disiarkan kepada publik adalah hal yang terjadi di lapangan dan apa adanya. Berbeda sekali dengan apa yang telah dilakukan oleh media nasional (televisi) dalam menyiarkan berita bencana Jepang.

Contoh tidak benarnya informasi yang disampaikan oleh media nasional adalah berkaitan dengan KBRI Tokyo yang terus melakukan evakuasi WNI yang berada pada radius 0-100km ke Tokyo. Padahal KBRI Tokyo itu berada pada lokasi berjarak 250 km dari PLTN Fukushima. Di samping itu, kesalahan pelaporan jumlah korban bagi WNI juga sering menimbullkan salah tafsir. Sehingga publik di tanah air yang memiliki keluarga di Jepang semakin was-was akan nasib keluarganya.

Tidak hanya kali ini media nasional me-lebay-kan pemberitaannya terkait bencana. Hal yang mungkin masih diingat oleh pembaca adalah pemberitaan yang berkaitan dengan penyergapan teroris di desa Tumenggung, Kuningan. Salah satu televisi bergengsi, yang katanya terdepan mengabarkan memberitakan bahwa si teroris sudah tertembak. Padahal faktanya belum.

Keakuratan sering sekali diabaikan oleh media untuk berpacu dalam menginformasikan berita pada publik karena itu jugalah publik seringkali tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh media.

Sinetron oleh Media Nasional


Hal yang wajar jika kita mau menyebut media nasional (televisi) sebagai penyuguh tayangan sinetron pada publik. Mengapa demikian ? Selama ini, televisi selalu menggunakan kemampuan gambarnya untuk melukiskan kepiluan dan sakit perih akibat bencana. Beberapa bencana di negeri ini, tsunami Aceh, gempa Padang, meletusnya gunung merapi Jogjakarta sampai pada bencana Jepang. Semua bencana tersebut seperti menjadi makanan empuk yang siap dimainkan penyampaiannya, seperti sinetron negeri ini.

Sungguh memilukan jika ketidakprofesionalan dan ketidakpahaman akan kode etik selalu membuat jurnalis menghasilkan karya sampah. Betapa tidak, besar efek ketakutan dan kecemasan yang melanda publik media di negeri ini dengan tayangan yang lebay tadi. Jika ini dibiarkan, fungsi media massa sebagai informasi dan memberikan rasa aman pada publik tidak akan berjalan lagi.

Sebagai solusi, lembaga berwenang seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus berani memberikan sanksi tegas bagi media-media yang tidak akurat dan melebih-lebihkan dalam memberikan informasi bencana, sehingga menyebabkan timbulnya ketakutan pada diri publik. Di samping itu juga, jurnalis dan lembaga pers harus mempelajari kembali kode etik dan hukum yang mengatur bagaimana pemberitaan itu benar bagi publik. Masyarakat pun juga harus bahu-membahu untuk selalu mengingatkan jika media massa keluar dari aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Tegas Pada Harga BBM

Gejolak tuntutan perubahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memberikan dampak yang luar biasa bagi perekonomian dunia. Gejolak yang berlanjut tersebut mempengaruhi harga minyak dunia. Secara, negara-negara yang bergejolak merupakan negara pengekspor minyak bagi dunia.


Negara Bahrain, Yaman, Aljazair dan Libya memberikan pasokan sekitar empat juta barrel untuk pasar minyak global, begitulah ungkap analis JPMorgan Global Commodities Research yang dikutip dari kantor berita Prancis, AFP.

Selain itu, ada juga ahli yang meramalkan krisis di Timur Tengah dan Afrika Utara ini mengakibatkan harga minyak menyentuh 200 US$ per barrel. Jika ini terjadi, maka aspek perdagangan barang dan jasa akan sangat terganggu.

Apa Kabar Subsidi BBM

Indonesia dahulunya merupakan negara pengekspor minyak dan tergabung dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), tetapi sekarang tidak lagi. Hal itu disebabkan karena setiap hari Indonesia membutuhkan 1,4 juta barrel per hari. Besar pasak dari pada tiang, itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi produksi dan konsumsi minya nasional. Produksi minyak nasional hanya sekitar 900 barrel per hari. untuk sisanya, sekitar 500 barrel negeri kaya ini harus mengimpor dari negara-negara Arab.

Masyarakat Indonesia pastilah mengerti dan paham bahwa pemerintah sudah pandai mengelola uang negara. Namun, fakta di lapangan tidak seperti itu. Pemerintah sepertinya tidak berani mengambil kebijakan yang berkaitan dengan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak).

Pada tahun 2011, pemerintah telah menyunat anggaran negara sebesar 136 triliun rupiah untuk subsidi. Sembilan pulah enam triliun digunakan untuk mensubsidi harga BBM di negeri ini. Padahal sudah jelas, hampir 80 % subsidi BBM itu digunakan oleh golongan menengah ke atas. Apakah ini yang namanya membantu rakyat miskin ?

Harga BBM Harus Naik

Dengan tren rezim SBY yang mengedepankan citra baik di depan rakyatnya, membuat Pemerintah Kabinet Bersatu jilid II ini ragu-ragu menaikkan BBM. Padahal jika BBM tidak dinaikkan, maka anggaran untuk subsidi BBM semakin membengkak. Pada akhirnya, pengelolaan APBN 2011 akan terganggu.

Apa yang sebenarnya ditakutkan pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM. Apakah pemerintah takut dipanggil sama anggota DPR, toh mereka saja sibuk dengan pertarungan politiknya. Atau jangan-jangan pemerintah takut dimaki dan dihujat sama rakyat sendiri. Entahlah.

Dibilang tidak berani, pemerintahan SBY sudah melakukan pengotak-atikan harga BBM. Pada rentang tahun 2005-2009 saja, pemerintah sudah 3 kali menaikkan dan 3 kali menurunkan harga.

Pada 2005, harga BBM menyentuh dasar 1800 rupiah per liter. Selanjutnya, pada 2008-2009 harga itu meningkat hingga 6000 rupiah per liter. Dan sekarang turun pada posisi 4500 rupaih per liter. Ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya sanggup untuk menaikkan sekitar 500 -1000 per liter BBM di saat krisis minyak ini.

Hal terpenting adalah pemerintah jangan lagi membuat rakyat tenang dan damai dengan subsidi BBM. Jelaskan pada rakyat bahwa harga BBM itu memang tinggi di perdagangan internasional. Terlebih produksi minyak nasional yang tak kunjung bisa mencukupi.

Indonesia dahulunya memang negara pengekspor minyak. Namun, sekarang tidak lagi. Itu disebabkan semakin menurunnya tingkat produksi minyak nasional. Pada tahun 2010 saja, pencapaian produksi minyak bumi belum memenuhi target APBN 2010. Kehilangan kesempatan produksi ini disebabkan adanya “unplanned shutdwon (gangguan tidak bisa produksi oleh sesuatu yang tidak direncanakan).

Kehilangan produksi terbesar terjadi pada PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) pada bulan Juli dengan menutup 1.010 sumur. Di samping itu juga, pecahnya pipa gas membuat kesempatan produksi sekitar 2 juta barrel lenyap.

Analis perminyakan ITB Rudi Rubiandini menyatakan bahwa “unplanned shutdown” ini disebababkan oleh peralatan yang sudah tua, sistem pemeliharaan dan pengawasan yang kurang proaktif, ditambah pula telatnya kesigapan dalam menangani kecelakaan atau kerewelan peralatan di lapangan.

Energi alternatif 

Berbicara tentang energi, tidak terbatas pada bahan bakar minyak. Masih banyak lagi energi alternatif yang bisa digunakan untuk melindungi negeri ini dari krisis energi. Energi tersebut bisa dari batu bara, gas alam, energi air yang diubah menjadi energi listrik dan sebagainya. Langkah-langkah kecil untuk mengubah pola pikir masyarakat yang masih kuat bergantung pada sumber energi minyak harus dilakukan pemerintah.

Pada akhirnya nanti, negara ini akan memiliki pasokan energi baru dan terhindar dari ketergantungan akan negara-negara pengeskpor minyak. Beruntung lagi jika dampak krisis minyak tidak berimbas besar pada perekonomian nasional. Semoga harapan itu bisa terwujud.

Disarikan dari Ecconomic challenges dan Kolom di Metro TV, Liputan 6 dan sumber lainnya

Minat Baca Turun, Mahasiswa Pasif

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memberikan dampak negatif pada keaktifan mahasiswa di bangku perkuliahan. Mahasiswa cenderung diam dan lebih senang “autis” dengan benda-benda canggih berupa ponsel untuk berkomunikasi dengan teman sejawat, dari pada mendengarkan cuap-cuap dosen di di depan kelas.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika akhir perkuliahan biasanya dosen selalu memberikan pertanyaan, apakah ada yang tidak paham atau ada tanggapan terhadap materi perkuliahan. Pada momen inilah mahasiswa biasanya menunjukkan kepasifannya. Diam dan perlahan-lahan menundukkan kepala. Ini memberikan arti bahwa peserta perkuliahan sudah mengerti atau tidak paham akan materi yang sudah disampaikan. Atau memang tidak ada keinginan untuk bertanya atau menanggapi.

Fenomena kefasifan mahasiswa di dalam kelas hampir terjadi di setiap perguruan tinggi. Hal itu disebabkan menurunnya daya kritis dalam menerima dan menganalisis materi-materi perkuliahan. Mahasiswa sebagai insan intelektual dan agent of change harus mampu memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan yang luas tentu tidak di dapat hanya dengan berdiam diri. Itu semua didapatkan jika tingginya minat dan kebiasaan membaca mahasiswa. Membaca apapun itu, baik informasi di media massa, buku dan diktat perkuliahan.

Sulit Menulis

Kebiasaan membaca berkaitan erat dengan kemampuan tulis menulis. Pada saat ini, mahasiswa sulit sekali untuk menulis di media massa, apalagi menulis untuk tugas akhir skripsi. Terkadang untuk mencari topik tulisan pun susahnya setengah mati. Jika kebiasaan membaca mahasiswa tinggi, mungkin tidak akan ada lagi permasalahan seperti itu. Bisa-bisa karya pemikiran mahasiswa yang fresh, kreatif dan solutif akan banyak dihasilkan.

Tokoh sastra Indonesia, Taufik Ismail pernah berkata bahwa minat baca masyarakat pada saat ini telah turun. Pada zaman Hindia Belanda, seorang pelajar tingkat menengah selama tiga tahun harus membaca minimal 25 buku. Buku-buku tersebut ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu buku tersebut harus dirangkum dan akan diujikan. Berbeda dengan sekarang, mahasiswa hanya membaca rangkumannya saja, tidak isinya secara keseluruhan. Padahal perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah memberikan banyak kemudahan.

Untuk meningkatkan budaya membaca di kalangan mahasiswa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, tingkatkan kualitas pelayanan di perpusatakaan kampus. Peningkatan kualitas tersebut bisa dilakukan dengan memperbanyak koleksi buku-buku utama perkuliahan dan buku penunjang.

Di samping itu, peningkatkan koleksi media massa berupa majalah, koran dan ensiklopedi juga diperlukan. Agar mahasiswa tidak hanya berkutat pada ilmu-ilmu di perkuliahan, juga pengetahuan akan peristiwa terkini di seantero dunia.

Kedua, berikan kemudahan bagi mahasiswa untuk mengakses buku-buku yang ada diperpustakaan. Biarkan mahasiswa di waktu luangnya untuk bebas mencari buku apa saja yang disukai. Jangan sampai buku-buku yang berkualitas hanya di simpan di lemari dan menjadi pajangan.

Ketiga, pihak universitas dan organisasi mahasiswa hendaknya semakin sering melakukan lomba-lomba penulisan. Entah itu penulisan artikel opini, esai, cerita fiksi dan sebagainya. Dengan lomba-lomba tersebut diharapkan antusias mahasiswa untuk terus membaca dan menulis semakin meningkat.

Dengan adanya peningkatan kualitas perpusatakaan di kampus, kemudahan akses terhadap buku-buku, dan berbagai lomba penulisan yang menarik, maka minat membaca dan menulis dikalangan mahasiswa akan semakin meningkat. Tidak aneh lagi jika nantinya pemikiran-pemikiran mahasiswa yang kritis dan kreatif akan tertulis di media massa, buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Mahasiswa yang dijuluki sebagai kaum intelektual muda dan agent of change akan terwujud. Pada akhirnya akan terbangun tatanan negeri yang sejahtera, adil, dan makmur diiringi dengan tingkat intelektual kaum muda yang tinggi, dan pantas untuk disamakan dengan negara-negara maju.

Film Impor : Budaya Lokal VS Budaya Amerika

Rencana pemerintah membebankan bea masuk atau hak distribusi terhadap setiap film impor Amerika yang akan diputar di Indonesia ternyata berbuntut panjang. Asosiasi-asosiasi pemasok film impor, seperti Motion Picture Export Association of America (MPEAA) dan Ikatan Perusahan Film Impor Indonesia (Ikapifi) pun mengancam akan menghentikan distribusi film hollywood bercokol di bioskop-bioskop Indonesia. Dibalik pelarangan tersebut, ada hal penting yang seringkali luput dari perhatian dan bahasan masyarakat. Hal tersebut berkaitan akan eksistensi budaya lokal di mata masyarakat lokal.



Gambar bergerak (film) merupakan bentuk komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Setiap minggunya, ratusan hingga jutaan orang menonton film di bioskop. Pada buku Komunikasi Massa, karya Elvinaro dkk, disebutkan bahwa di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahunnya. Ini menandakan betapa besarnya minat masyarakat Amerika terhadap film. Tidak berhenti sampai di sana. Film-film Amerika terus disebarkan ke seluruh penjuru dunia agar disaksikan oleh miliaran penduduk bumi ini. Salah satu tempat yang memberikan sambutan hangat akan film Amerika adalah negara Indonesia.

Kita ketahui bahwa seperti televisi, tujuan masyarakat menonton film adalah memperoleh hiburan. Fungsi media massa, yaitu to inform, to educate, to entertain, dan kontrol sosial. Namun, pada media massa film terkandung fungsi persuasif. Pada film terkandung nilai-nilai dan budaya yang ditransformasikan kepada khalayak melalui audio visual bergerak.

Tergerusnya budaya bangsa

Sejak tahun 1979, perfilman nasional memiliki visi sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Komunikasi Massa ,2007 :145). Melalui film nasionallah budaya bangsa, kearifan lokal akan perlahan-lahan ditransferkan kepada generasi penerus bangsa.

Pengaruh media massa film terasa lebih kuat dan berefek besar pada masyrakat modern. Film sendiri bisa memberikan efek agenda setting, yaitu efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu budaya: apakah isu budaya dan nilai-nilai itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang budaya atau nilai-nilai yang terkandung di dalam film tersebut). Bisa dibayangkan jika setiap minggu selalu ada film impor Amerika yang ditayangkan dan ditonton oleh khalayak Indonesia. Lambat laun, budaya Amerikalah yang akan kita lihat di dalam kehidupan kita, sedangkan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal akan menjadi kenangan masa lalu saja.

Dengan adanya polemik akan dihentikannya film impor, maka kesempatan untuk perfilman nasional untuk bangkit lagi dengan membawa nilai-nilai kearifan lokal. Insan perfilman pun harus bisa memberikan cerita yang bagus dan didukung dengan visualisasi yang tak kalah canggihnya dengan film impor.

Fungsi film sebagai nation and character building akan segera tercapai jika pemerintah, insan perfilman nasional dan masyarakat bahu membahu untuk mewujudkannya. Memang hal yang tidak mudah untuk mengubah pola pikir generasi muda yang sudah “terkontaminasi” budaya Amerika melalui film hollywood-nya. Akan tetapi, tak ada salahnya jika kita memulainya dari langkah yang kecil, demi eksistensi kearifan lokal dan perfilman nasional.