Film Impor : Budaya Lokal VS Budaya Amerika

Rencana pemerintah membebankan bea masuk atau hak distribusi terhadap setiap film impor Amerika yang akan diputar di Indonesia ternyata berbuntut panjang. Asosiasi-asosiasi pemasok film impor, seperti Motion Picture Export Association of America (MPEAA) dan Ikatan Perusahan Film Impor Indonesia (Ikapifi) pun mengancam akan menghentikan distribusi film hollywood bercokol di bioskop-bioskop Indonesia. Dibalik pelarangan tersebut, ada hal penting yang seringkali luput dari perhatian dan bahasan masyarakat. Hal tersebut berkaitan akan eksistensi budaya lokal di mata masyarakat lokal.



Gambar bergerak (film) merupakan bentuk komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Setiap minggunya, ratusan hingga jutaan orang menonton film di bioskop. Pada buku Komunikasi Massa, karya Elvinaro dkk, disebutkan bahwa di Amerika Serikat dan Kanada lebih dari satu juta tiket film terjual setiap tahunnya. Ini menandakan betapa besarnya minat masyarakat Amerika terhadap film. Tidak berhenti sampai di sana. Film-film Amerika terus disebarkan ke seluruh penjuru dunia agar disaksikan oleh miliaran penduduk bumi ini. Salah satu tempat yang memberikan sambutan hangat akan film Amerika adalah negara Indonesia.

Kita ketahui bahwa seperti televisi, tujuan masyarakat menonton film adalah memperoleh hiburan. Fungsi media massa, yaitu to inform, to educate, to entertain, dan kontrol sosial. Namun, pada media massa film terkandung fungsi persuasif. Pada film terkandung nilai-nilai dan budaya yang ditransformasikan kepada khalayak melalui audio visual bergerak.

Tergerusnya budaya bangsa

Sejak tahun 1979, perfilman nasional memiliki visi sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building (Komunikasi Massa ,2007 :145). Melalui film nasionallah budaya bangsa, kearifan lokal akan perlahan-lahan ditransferkan kepada generasi penerus bangsa.

Pengaruh media massa film terasa lebih kuat dan berefek besar pada masyrakat modern. Film sendiri bisa memberikan efek agenda setting, yaitu efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu budaya: apakah isu budaya dan nilai-nilai itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; sedangkan efek lanjutan berupa persepsi (pengetahuan tentang budaya atau nilai-nilai yang terkandung di dalam film tersebut). Bisa dibayangkan jika setiap minggu selalu ada film impor Amerika yang ditayangkan dan ditonton oleh khalayak Indonesia. Lambat laun, budaya Amerikalah yang akan kita lihat di dalam kehidupan kita, sedangkan budaya dan nilai-nilai kearifan lokal akan menjadi kenangan masa lalu saja.

Dengan adanya polemik akan dihentikannya film impor, maka kesempatan untuk perfilman nasional untuk bangkit lagi dengan membawa nilai-nilai kearifan lokal. Insan perfilman pun harus bisa memberikan cerita yang bagus dan didukung dengan visualisasi yang tak kalah canggihnya dengan film impor.

Fungsi film sebagai nation and character building akan segera tercapai jika pemerintah, insan perfilman nasional dan masyarakat bahu membahu untuk mewujudkannya. Memang hal yang tidak mudah untuk mengubah pola pikir generasi muda yang sudah “terkontaminasi” budaya Amerika melalui film hollywood-nya. Akan tetapi, tak ada salahnya jika kita memulainya dari langkah yang kecil, demi eksistensi kearifan lokal dan perfilman nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar