Toga



Sebuah momen yang paling dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah wisuda. Ya, momen bahagia di mana seorang mahasiswa dinyatakan berhasil melewati lika liku kehidupan kampus.

Di hari wisuda, seorang mahasiswa berdandan dengan sangat apik. Berusaha tampil cantik dan gagah. Kebaya dengan berbagai macam warna dan desain, hingga sepatu yang menawan bagi wisudawati. Lain hal dengan wisudawan. Setelan jas hitam, dasi, dan sepatu pantofel terlihat serasi dengan bahu tegak dan tegap.

Hal lain yang sangat dinantikan oleh seorang mahasiswa adalah mengenakan jubah hitam, kalung berlogo universitas dan tentunya toga berwarna hitam. Terlihat wah dan sangat menggetarkan jiwa.

Hari di saat wisuda merupakan hari yang sangat istimewa. Orang tua, sanak saudara dan kolega hadir untuk merayakannya. Hari yang begitu semarak diisi dengan upacara pelantikan wisudawan dan wisudawati oleh rektor dan petinggi-petinggi universitas. Nyanyian hymne universitas terdengar menggetarkan jiwa. Tak jarang ada air mata yang menetes. Haru menyelimuti jiwa sebagai tanda status mahasiswa telah ditanggalkan. Berganti status lain yang terkadang masih misteri.

Banyak orang bertanya-tanya ketika acara wisuda berlangsung. Pertanyaan itu terkait aksesoris mahasiswa yang akan diwisuda, yaitu Toga.

Dia & Politik Kampus


Dia  tercenung sejenak. Memeriksa suara teriakan yang sayup-sayup terdengar. Tangannya ia katupkan di telinga. Berharap suara itu datang lebih jelas. Suara sayup itu pun tak kunjung jelas.

“Pilihlah kami. Pilih no 3. Kami pasangan....... berbakti untuk kepentingan mahasiswa,” suara sesekali lantang. Sesekali hilang ditiup hembusan angin sore.

Dia pun mengabaikan suara itu. Ah, biarlah. Paling suara mereka-mereka yang haus akan kekuasaan kampus. Mereka yang haus untuk menduduki kursi panas. Dekat dengan rektor, mengumbar janji pro mahasiswa. Pandai bermanis mulut berkata telah berbuat banyak untuk kepentingan rakyat mahasiswa. Mereka seperti pahlawan, datang  untuk berjuang demi kepentingan bersama. Memang terlihat, tapi sayangnya ada kepentingan golongan yang setiap tahun mereka pertahankan.

Dia sudah malang melintang di dunia kehidupan kampus. Perkenalkan, namanya dia. Semester tiga belas. Tinggal satu semester lagi nasibnya akan ditentukan. Tamat sebagai sarjana atau pecundang malang yang katanya hidup berkalang kepedulian.

Setiap tahun, dia mendapatkan selebaran kertas kecil. Kadang berwarna merah, biru, hijau atau putih. Ada dua foto mahasiswa berjas rapi, kadang berdasi. Berdiri tegap atau duduk dengan mata awas, gagah. Dua mahasiswa itu katanya pahlawan pembawa kemenangan. Semoga begitu. Mereka politisi kampus, pemain utama di sebuah kampus di negeri yang sedang belajar demokrasi. Selebaran itu pun memiliki angka. 1,2 dan 3. Jarang sekali 4 dan 5.

Tahun-tahun awal menjadi mahasiswa, dia bengong, tak mengerti politik kampus. Tahun berikutnya, ia mulai mengerti politik, walaupun sebatas definisi. Dari pengetahuan yang ia dapatkan, politik itu adalah kegiatan atau aktivitas yang memberikan dampak kebaikan bagi semua elemen masyarakat. Dia lupa siapa tokoh yang berbicara demikian. Tahun berikutnya, ia mulai paham bahwa politik kampus itu penuh kepalsuan. Kata-kata manis, diiringi teriakan kesatuan membuatnya paham bahwa politik kampus hanyalah alat aktualisasi diri bagi mereka yang oportunis.

Menjelang angka tujuh tahun dia berstatus mahasiswa, banyak pengalaman yang ia rasakan. Tapi pengalaman akan politik kampus tak pernah terselesaikan. Dulu ketika masih berstatus siswa, dia memuji tindakan mahasiswa yang bentrok dengan aparat pemerintah. Membela rakyat jika sembako naik, mendemo pemerintah jika subsidi bbm dikurangi. Sekarang pujiannya akan status mahasiswa semakin memudar. Pudar dan tak berwarna lagi.

Dunia kampus memang penuh kenangan. Dia mengakui hal itu. Tapi ada kenangan yang tak pernah ia lupakan. Kenangan akan politik kampus yang benar-benar menghantuinya. Selalu terngiang dan tak pernah mendapat jawaban yang pas. Beberapa kenalannya dari mahasiswa sekarang sibuk bekerja di perusahaan, jadi karyawan. Dulu kenalannya ini berada di barisan depan setiap unjuk rasa. Berani pasang badan, dengan ikatan kain di kepala.

Hmm. Politisi kampus hanyalah sebutan keren bagi para mahasiswa pembela kebenaran dan keadilan. Dia mencoba menyimpulkan walaupun tak semua itu mungkin benar.

Suara sayup-sayup teriakan kampanye kampus masih terdengar. Huh, politik kampus adalah politik menyelamatkan diri sendiri setelah menanggalkan status mahasiswa. Itu politik individualistis demi terciptnya kehidupan pribadi yang realistis. Tak ada yang salah memang. Karena setiap mahasiswa hal pertama ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri, lalu keluarga, terakhir baru bangsa dan negara. Dia hanya sesalkan, masih ada (banyak) politisi kampus yang berlindung dari jubah kemunafikan. Jubah di mana mereka merasa adalah para pemenang. Selainnya pecundang. Sayangnya bukan.

Hah. Semoga ini asumsi dan prasangka negatif dia saja.

Perseteruan Dua “Tikus” Terakhir


Skyfall
Produser: Michael G.Wilson, Barbara Broccoli.
Produksi: Columbia Pictures
sutradara: Sam Mendes
Durasi:  145 menit
Pemain: Daniel Craig, Judi Dench, Javier Bardem, Ben Whishaw, Albert Finney dan Ralph Fiennes.


James Bond (Daniel Craig) kembali menunjukkan aksi hebatnya. Setelah sukses tampil apik di Casino Royale (2006) dan Quantum of Solace (2008), Bond kembali hadir dalam film Skyfall. Film besutan sutradara Sam Mendes dan produser  Michael G.Wilson & Barbara Broccoli ini mampu mengatur ketegangan emosi penonton.

Dalam film berbudget $200 juta dan berdurasi 145 menit ini, Bond dihadapkan pada satu perjuangan untuk mengenal kembali identitas dirinya. Di samping itu, ia pun harus berhadapan dengan mantan agen rahasia M16 yang masih aktif di internet.

Amba, Salwa dan Surat



Lasmi Pamuntjak telah sukses menyihir pembaca dengan novel terbarunya: AMBA. Bahasa Lasmi yang lugas dengan deskripisi detail dan mengikat, mampu membawa pembaca ke suasana penuh kecaman di bilangan tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Yogya dan Kediri.

Amba, sosok tokoh utama. Perempuan desa, pemalu di awal dan berfikiran kritis. Anak seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah ini menyambung pendidikannya di Fakultas Sastra UGM, Yogya. Sejak ia menginjak dewasa, ibunya hanya ingin Amba segera menikah. Mengikuti tradisi perempuan kampung yang cepat menika. Dengan pola fikir feminis, Amba menolak. Memilih hidup jauh dari keluarga, menimba ilmu dan menerjang tantangan kehidupan.

Ada Salwa Munir. Sosok pemuda santun, seorang instruktur dosen di universitas yang sama dengan Amba. Jatuh cinta pada Amba pada pandangan pertama. Cintanya sempat berbalas, sempat bertunangan, namun kalah dengan praktik cinta dalam kehidupan. Sosok Bhisma Rashad, dokter muda lulusan Universitas Leipzig lebih mampu menunjukkan arti cinta sesungguhnya. Tidak hanya kata romantis, surat, janji masa depan, tapi ia berikan sentuhan cinta pada tubuh Amba yang bergetar dan pasrah ketika mereka bersama.

Hipotiroid: Pembunuh Otak Berdarah Dingin


Penyakit hipotiroid atau hipertiroid pada ibu hamil di Indonesia masih belum menjadi kesadaran masyarakat luas. Padahal penyakit ini tak bisa dianggap enteng, terlebih pada anak yang baru lahir dari ibu penderita hipotiroid. Anak yang terlahir hipotiroid akan mengalami cacat mental, berfikir lambat dan akibat terparah anak terlahir idiot.

Kekurangan tiroid sejak dalam kandungan disebut hipotiroid kongenital. Hormon tiroid ini berperan untuk pertumbuhan otak, pertumbuhan fisik dan perkembangan metabolisme tubuh.

“Pada otak, hormon tiroid berguna untuk membentuk sel-sel nouron otak, membangun jaringan dan membentuk diferensiasi fungsi otak, seperti berbicara, mengingat, sensitifitas dan sebagainya,” ujar Spesialis Anak Konsultan Endokrinologi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) dr.Diet Rustama, SpA(K).

Pada kehidupan manusia, pertumbuhan fisik memiliki dua periode, yaitu periode bayi dan remaja. Sedangkan masa pertumbuhan otak hanya terjadi sekali, yaitu pada umur 1-3 tahun. “Itu yang memperihatinkan, karena masa kritis pertumbuhan otak pada rentang itu saja. Lewat dari rentang itu, otak tidak berkembang lagi. Jika terjadi gangguan pada otak, akan fatal akibatnya bagi anak,” tambah dr.Diet yang juga Ketua Sub Pokja-Pokjanas Screening Bayi Baru Lahir Kemenkes RI di RSIA Hermina Pasteur Jl. DR.Djundjunan No.107, Bandung pada Jumat (2/11).