Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Krakatau 1: Krakatoa Aku Datang

Hembusan dingin terasa menyeruak ruangan rumah yang berisi dengkuran beberapa laki-laki kelelahan ketika pintu dibuka lebar. Hawa panas pinggiran laut sejak siang sudah sirna menyatu bersama buliran keringat yang mendingin dan lembab .

Saat itu, jarum jam tangan sedang menunjukkan pukul 02.00 wib dini hari.
 “Yuk siap-siap, kapal sudah siap di dermaga. Jangan lupa bawa pakaian renang, kita langsung snorkling,” seru seorang pria yang sejak tadi mondar-mandir. “Yang punya makanan bisa langsung di bawa,’ tambahnya.

Semua bergegas, mengucek mata yang rasanya belum puas mengatup. Gerakan tubuh menimbulkan bunyi gemeretukan otot-otot yang sudah bekerja lebih kuat dari biasanya.

***
Suasana sunyi senyap. Gelap. Cahaya lampu kapal-kapal pencari ikan terlihat bergerak diombang-ambing gelombang lautan. Begitu pun lampu rumah penduduk Pulau Sebesi, bercahaya redup digoyang hembusan angin dini hari. Gelapnya dini hari seolah menelan  pulau seluas 2620 Ha yang secara administratif berada di wilayah Desa Tejang, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan. Pulau yang sebagian besar tubuhnya berbentuk gunung dengan ketinggian 844m ini memiliki penghuni lebih 2000 jiwa. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan.
 
Dermaga Pulau Sebesi

Sebesi selalu menjadi tuan rumah bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Di samping memiliki fasilitas home stay dan transportasi kapal yang memadai, posisinya pun strategis menguntungkan wisatawan yang membidik Anak Krakatau sebagai destinasi wisata di akhir pekan. Agustus hingga Oktober adalah bulan-bulan tingginya jumlah wisatawan. Air laut surut, gelombang laut yang cenderung tenang dan pemandangan bawah laut yang begitu indah disinari matahari. Warna biru toska yng berimpitan dengan biru pekat menjadi pemandangan yang menggairahkan decak kagum. Mendekati Desember hingga awal tahun waktu yang tidak pas untuk berkunjung karena tingginya intensitas hujan dan badai pasang lautan.



“Berapa jam ke Anak Krakatau? “ tanyaku pada Al, pria yang membangunkan kami tadi.
“Sekitar dua jam dan nanti kita treking  Gunung Anak Krakatau sekitar 30 menit.” Jawabnya.
Aku pun bergegas, berganti pakaian dan menuju dermaga Sebesi. Bercelana pendek dengan dua potong baju kaos tipis, walau sepertinya tidak berguna di hawa dingin angin pantai.

“Sialnya jaket hilang sebelum berguna di waktunya. Duh nasib,” gumamku lirih. Terbayang jaket parasut merah yang telah ku persiapkan entah di mana saat ini. Entah sudah dipakai awak bus di Pulo Gadung, pengamen jalanan atau penumpang bus yang kebetulan menemukan jaketku yang terjatuh. Akibatnya, aku harus cari cara agar tidak kedinginan di terjang angin laut.

Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 wib. Dermaga sepi. Empat kapal kayu terdampar merapat dan diayun-ayun ombak. 
Aku menjejakkan kakiku ke atap kapal bersama delapan belas orang dari kelompok backpacker travel Indonesia. Sejak Jumat malam aku sudah bergabung bersama kelompok open trip ini. Ada peserta dari Solo, Kalimantan, dan sebagian besar memang berasal dari Jakarta. Mereka semua adalah orang-orang pencinta perjalanan. Menjejaki kaki di indahnya alam Indonesia. Mengisi waktu di akhir pekan atau mengambil cuti sekalian. Menambah teman baru dalam canda dan tawa. Sesaat meninggalkan hiruk piruk Jakarta.

Duduk di atas atap kapal tidak memungkinkan bagiku. Terjangan angin laut bisa saja membuatku kedinginan dan masuk angin. Segera aku mengambil celah, turun ke lantai satu kapal. Mencari posisi di samping kotak kayu yang mengeluarkan suaru mesin yang menderu-deru. Aku merebahkan badan di lantai kayu kapal. Headset kuletakkan di telinga, cukup membantu. Sesaat ku terlelap dalam deru suara mesin dan dinginnya angin laut. Lelap.

Bersambung....

***

 

 

Mengejar Perayaan Seribu Lampion di Candi Borobudur

Setiap tahun di saat puncak perayaan Trisuci Waisak di Candi Borobudur selalu menjadi magnet kuat bagi masyarakat Indonesia dan manca negara untuk dikunjungi. Perayaan pelepasan seribu lampion menjadi alasan utama bagi wisatawan. Begitu saya, perayaan lampion menjadi titik tolak untuk ikut serta dalam perayaan Trisuci Waisak 2557 BE/2013, di Magelang, Jawa Tengah.

Langit Yogyakarta, Sabtu 25/5, terlihat mendung berawan. Sesekali rintik hujan telah menetesi pelan  bumi Yogyakarta. Melihat ke arah utara, Magelang,  langit putih terang terlihat. Ada perasaan optimis bahwa cuaca akan cerah. Tentunya dengan harapan perayaan seribu lampion akan berlangsung semarak di bawah sinar bulan purnama.

Bersama rombongan, saya pun menyusuri padatnya jalur  lalu lintas Yogyakarta menuju Candi Borobudur. Sepanjang 42 km perjalanan menuju Borobudur berbagai kendaraan berpacu mengejar waktu untuk perayaan lampion. Mobil berplat daerah luar Yogyakarta dan Jawa Tengah harus antri di beberapa titik kemacetan. Lain dengan kendaraan motor yang terus menyusuri celah kosong jalan.

Di tengah perjalanan, hujan pun mengguyur. Tapi tim dan saya tetap melanjutkan perjalanan walau didera hujan. Kesalahan utamanya, tidak membaca jas hujan. Demi langit terang, cuaca cerah di langit Magelang, terbisat asa bahwa cuaca pasti cerah. Motor pun terus dipacu melewati lalu lintas yang semakin padat di sore hari.

Melewati pertigaan ke arah Candi Borobudur, cuaca pun cerah. Langit putih, matahari sore mengintip di balik barat awan sore hari. Perjalanan pun terus dilanjutkan, menjelang Candi Mendut mulai terlihat tumpukan wisatawan domestik dan internasional di pinggir jalan. Ada yang menggunakan sepeda motor, mobil, mini bus dan bus besar. Di wajah mereka terlihat suasana hati nan bahagia karena mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan pelepasan seribu lampion nanti malam.

Suasana Candi Mendut usai salah satu prosesi upacara waisak

 Beberapa prosesi terlewati
 
Saya tidak sempat untuk melihat beberapa prosesi upacara waisak karena semua acara sudah dipusatkan di Candi Borobudur sore itu. Saya tak bisa menyaksikan upacara  prosesi kirab air suci dan api abadi dari Candi Mendut ke Borobudur. Prosesi upacara itu berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Pada prosesi itu, tidak kurang dari 100 Bhiksu dan Bhiksuni Sangha Theravada dan Mahayana akan berjalan melewati 3,7 km jarak tempuh Candi Mendut ke Candi Borobudur.

Sebelum upacara kirab air suci dan api abadi, pada pagi harinya sekitar pukul 07.30 WIB  digelar tradisi Pindapatta. Biasanya pada prosesi ini para wisatawan dan fotografer akan terus mengikuti jalannya prosesi. Pindapatta itu sendiri berasal dari Bahasa Pali yang artinya menerima persembahan makanan. Namun dalam perkembangannya persembahan berupa uang pun dilakukan oleh para umat Buddha.

Proses Pindapatta ini dimulai dengan doa bersama di tempat ibadah Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio di alun alun Kota Magelang, dengan terlebih dahulu mengadakan doa yang dipimpin Ketua Dewan Sangha Perwakilan Buddha Indonesia (Walubi), Bhiksu Tadisa Paramita Mahasta Vira. Pada waisak 2557 BE/2013 ini, berdasarkan informasi dari Kompas.com, diikuti oleh Bhiksu dari mancanegara Australia, China, Singapura dan Thailand. Melalui tradisi ini, umat Buddha ingin menciptakan jodoh baik dan juga memberikan kesempatan untuk turun membantu lingkungan setempat agar mempunyai rezeki dan terhindar dari malapetaka. Bagi Anda yang ingin melihat langsung prosesi ini dan prosesi lainnya, datanglah sedari pagi.

Mereguk Ruh Dini Hari di Desa Tertinggi Pulau Jawa


Pernahkah Anda merasa dingin menggigil, gigi bergemetukan, dan pakaian  di badan seperti tak berguna di waktu dini hari di sebuah desa tertinggi Pulau Jawa? Jika belum, saatnya Anda meluangkan waktu untuk mengunjungi Desa Sembungan, Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo,Jawa Tengah, Indonesia.

Pertengahan April 2013, saya berkesempatan mengunjungi desa yang terletak di ketinggian lebih dari 2000 mdpl itu.  Desa Sembungan juga dikenal sebagai Desa Matahari (Village of Sun). Mungkin orang akan beranggapan desa ini berudara panas karena dijuluki Desa Matahari. Anggapan itu termentahkan ketika saya berkunjung ke sana di saat matahari belum menyinari tanah itu. Udaranya sungguh dingin.

Sekitar pukul 01.00 wib dini hari, saya menginjakkan kaki di perkampungan yang berpenduduk sekitar 3000 jiwa. Suasana didominasi keheningan, sesekali hembusan kabut tebal putih menderu deru. Anda mungkin bisa bayangkan desa ini seperti desa tanpa penghuni. Tak ada suara aktivitas manusia sedikitpun. Tak ada manusia di pos ronda. Begitu pun suara televisi. Kondisi sekitar diterangi lampu neon di pelataran rumah penduduk.

Tungku Kehidupan Pendaki Merbabu




Mbok Wahyuni (60), begitulah warga Desa Wekas, Magelang, Jawa Tengah ini disapa. Setiap hari selalu siap sedia memberikan energi baru untuk para pendaki Gunung Merbabu melalui tungku perapiannya ini. Seumur hidupnya, si mbok tinggal di desa terakhir di kaki gunung setinggi 3142mdpl ini. Uniknya, si mbok belum pernah menginjakkan kakinya ke Puncak Merbabu.

"Sampai pos 2 saja, buat apa ke puncak," tuturnya pada kami,Sabtu 16/2. Sembari mengaduk-aduk nasi yang hampir matang, si mbok selalu menjawab pertanyaan kami. 

Photo edited by Rigo Hidayat

Budaya Baca dan Koran Dinding

Selasa (12/2) siang, matahari terik menyengat kulit di ramainya lalu lintas kota Surakarta. Berbagai kesibukan masyarakat tetap terus berjalan. Ada tukang becak yang terus menyusuri jalanan mencari penumpang, pedagang kaki lima yang setia menjaga barang dagangannya, dan para siswa yang terlihat ceria bersenda gurau sesamanya di perjalanan pulang

Di persimpangan jalan Gadjah Mada no 59 Surakarta, di bawah pohon rindang terlihat pemandangan unik. Seorang tukang becak bertopi merah sedang mengamati halaman-halaman koran di etalase kaca. Selang sesaat, beberapa orang ikut bergabung dan serius mengamati halaman-halaman koran tersebut.

Sejuknya hembusan angin siang hari, tak mengahalangi aktivitas warga Solo untuk mampir ke persimpangan jalan itu. Ya, tepatnya di depan Gedung Monumen Pers Nasional, di bawah pohon rindang koran-koran dinding itu dipajang dan dikonsumsi setiap hari oleh masyarakat.

Berbagai informasi disajikan melalui koran dinding itu. Isu politik, hukum, ekonomi, olahraga hingga iklan lowongan kerja menjadi konsumsi harian warga Solo di saat siang dan sore menjelang.

warga Solo sedang menikmati sajian koran dinding/foto: dokumentasi pribadi


Koran dinding, saya menyebutnya demikian, menjadi bukti bahwa budaya baca dikalangan masyarakat masih ada. Kemasan menarik, situasi dan suasana yang tepat serta budaya membaca sambil berdiri, menjadi daya tarik bagi koran dinding sehingga senantiasa dikunjungi.

Koran dinding, seperti di kota Solo ini sulit ditemukan di perkotaan Indonesia. Sepenemuan saya, hanya baru di depan gedung societe Sasana Soeke (sekarang gedung monumen pers nasional) budaya baca koran dinding dilestarikan.

Koran dinding menurut saya tak sekadar koran yang ditempel di papan kaca bak papan-papan pengumuman. Lebih dari itu, terdapat suatu budaya baca yang memberikan efek samping positif bagi kebersamaan sebagai satu kehidupan sosial.

Budaya baca koran dinding pun menjadi sajian unik dan menarik di tengah berkembangnya dunia komunikasi informasi. Bisa bersama kita saksikan dan rasakan, di era penuh gadget setiap individu dengan mudahnya mengakses informasi dari situs-situs online. Tak perlu melewati terik matahari dan padatnya lalu lintas, informasi sesuai keinginan dengan gampang dapat diperoleh.

Dengan adanya koran dinding, masyarakat secara langsung dapat berkomentar,  bercoloteh dan berdiskusi tentang topik-topik di koran tertentu yang dipajang. Pola pikir dan sikap untuk mengenal sesama lambat laun akan tumbuh di saat kegiatan membaca. Semua merasa sama, tak ada lagi pembedaan status sosial, semua terfokus menikmati sajian media massa.

Budaya baca dan koran dinding bisa saja menjadi sebuah tawaran baru di tengah semakin menurunnya minat baca masyarakat akan media massa cetak seperti koran. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia dimungkinkan untuk menerapkan budaya koran dinding seperti di kota asal Jokowi ini. Tempat-tempat strategis fasilitas umum bisa diletakkan koran dinding. Di samping melayani masyarakat akan informasi, koran dinding bisa dijadikan satu cara untuk meningkatkan kembali budaya baca di kalangan masyarakat luas.

Bagi Anda yang tidak mau membeli koran atau malas membaca, budaya baca koran dinding mungkin pilihan tepat. Di samping unik, tentunya akan menyenangkan dan menambah kenalan dengan sesama pembaca koran dinding.



Berita Duka dan Pengalaman Baru di Hari Rabu

Rabu (4/1), tepat di tahun naga ini, ada berita duka bahwa kawakan fotografi senior Ed Zoelverdi meninggal dunia pada pukul 02.00, 4 Januari. Ia adalah fotografer yang malang melintang di dunia fotografi sejak bergabung bersama majalah berita mingguan Tempo 1971-1994. Namun, ketika majalah Tempo dibrangus pemerintah Orde Baru, ia pun berhijrah ke majalah Gatra 1995-2000.

Kebetulan, pada hari yang sama, saya sudah mulai masuk bekerja magang di majalah Gatra. Ketika sampai di kantor Gatra, saya langsung diarahkan ke ruang sidang redaksi. Agenda kali ini adalah pengajuan usulan topik liputan. Sebelum diarahkan, sesi perkenalan sekilas pun dilakukan kepada wartawan-wartawan Gatra.

Dengan berita duka tersebut, wakil pemimpin redaksi majalah Gatra mempercepat proses pengajuan usulan topik liputan dan selanjutnya melayat ke rumah senior Ed. Suhu udara ruangan yang dingin memaksa saya untuk mengenakan jaket. Kopi dan makanan yang tersedia belum berani saya sentuh. Malu. Semoga nanti tidak!


Sekitar pukul 12.00 WIB rapat redaksi pun dimulai. Usulan topik dari setiap wartawan datang silih berganti. Wakil pemimpin redaksi menjadi pusat usulan. Berbagai usulan dikritisi dan dipertanyakan oleh dia. Seru memang, namun saya hanya bisa terdiam dan memperhatikan para wartawan. Wajar, hampir seminggu belakangan saya tidak tahu detail isu atau peristiawa apa saja yang terjadi di negeri ini. Tentunya, peristiwa yang penting dan menjadi perhatian media massa di Indonesia.

Suasana ruangan yang dingin tak menyurutkan ide-ide cemerlang para wartawan. Ada beberapa di antara mereka mengepulkan asap rokok, menikmati kue, dan secangkir kopi. Rapat redaksi berlangsung santai tapi serius. Selang tiga puluh menit, rapat redaksi pun ditutup.

Dari rapat redaksi, ada hal menarik yang saya perhatikan. Hal tersebut berkaitan komentar para wartawan akan objek informasi. Misalkan, ketika membahas mengenai bos vivanews grup, mereka menyebutnya dengan Raja Lumpur. Untuk partai dakwah berbendera putih menyebutnya dengan sosok berjenggot. Bagi saya itu terkesan lucu dan menggelikan.Walaupun memang ketika menyajikan informasi kepada publik haruslah objektif dan proporsional.

Hal menarik lain yang saya perhatikan adalah slide di layar bagian depan ruang sidang redaksi. Ditayangankan dengan proyektor terlihatlah semua rencana berita-berita yang akan digarap dan diinformasikan pada publik. Lengkap dengan judul informasi, tanggal, dan penanggungjawab. Rencana-rencana liputan tersebut bagaikan stok yang harus selalu tersedia.

Saya sejenak berfikir bahwa beginilah pekerjaan di media massa cetak majalah. Berbagai informasi dikumpulkan dan dibedah di sidang redaksi. Jika memenuhi kriteria-kriteria kelaikan berita, maka rancangan topik akan digarap. Berbeda sekali dengan media cetak harian yang mengedepankan aktuliatas. Sehingga mewajibkan wartawannya untuk berkantor di pusat-pusat informasi seperti gedung DPR, Istana negara dan sebagainya. Namun, hal terpenting adalah bagaimana informasi harus sampai pada masyarakat luas.

Jadi, lengkap sudah hari pertama kerja sebagai seorang wartawan di majalah berita. Mungkin karena wartawan magang, hingga tulisan ini di publish saya masih santai dan menikmati magang ini. Entahlah nanti.

Bandung-Yogyakarta


Foto ini diambil sekitar bulan Juni-Juli 2010. Saat itu adalah waktu dimana saya berwisata ke Yogjakarta bersama Felani Hayati. Perjalanan yang menyenangkan tentunya, terlebih jika bersamanya.

Dengan menggunakan kereta bisnis, saya, Felani dan Da Gun berangkat menuju kota yang penuh dengan kebudayaan, kreativitas masyarakatnya dan kerapian kota. Perjalanan pun di mulai pada sore hari dari stasiun Kota Bandung dan berakhir di stasiun Tugu, kota Yogyakarta.

Di Yogyakarta, berbagai tempat pun dikunjungi. Mulai dari candi Borobudur, candi Prambanan, Malioboro, dan tempat lainnya walaupun hanya selayang pandang. Cuaca panas Yogyakarta tak membuat kami lelah, terlebih Felani. Semangatnya tak kunjung padam untuk mengunjungi objek wisata satu ke objek wisata lainnya. Namun, sangat disayangkan waktulah yang harus mengakhiri perjalanan wisata ini.

Kembali ke Bandung dengan menumpangi bis malam, Bandung Ekspress. Di hati berharap lagi suatu saat akan selalu bersama lagi menikmati pemandangan indah di seantaro dunia. Target selanjutnya, Pulau Bali, siapkah wahai Felani Hayati ??