Malangnya Hambalang*

Mereka lagi berbicara soal Hambalang
Mereka lagi berdiskusi soal korupsi Hambalang
Mereka lagi berdebat ambruknya Hambalang

Mereka lagi saling serang wacana soal Hambalang
Mereka lagi mencari siapa pemenang
Entah pemenang mana yang diperjuangkan

Hambalang malang telah membuktikan ketidakmatangan pemerintah
Hambalang malang telah menunjukkan ketidakseriusan pemerintah
Hambalang malang telah membongkar kebobrokan pemerintah

Ah, mereka akan terus berwacana dan berencana
Menggunakan berbagai cara
Membungkam setiap kemungkinan yang ada

Negeri ini terlalu banyak wacana dan rencana
Entah sampai kapan
Sekarang mari nikmati dulu tayangan Hambalang yang malang.

*Hambalang merupakan proyek pusat sekolah olahraga di Bukit Hambalang, Bogor. Ambruk pada 25 Mei 2012

Diplomasi Ala Negeri Penakut

Indonesia kembali mencatat rekor ‘memuaskan’. Rekor dimana pemimpin negerinya lunak pada pengedar  narkoba internasional. Rekor ‘memuaskan’ itu berawal ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi  (pengurangan hukuman) pada terpidana kasus narkoba kelahiran Brisbane Australia, Schapelle Leigh Corby, 34 tahun. Terpidana Corby tertangkap membawa 4,2 kilogram mariyuana ke Bali sekitar tujuh tahun silam.

Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 22/y/2012, tanggal 15 Mei 2012, Si Ratu Mariyuana akan menghirup udara bebas setelah melewati sisa masa hukumannya, delapan tahun lagi. Lima tahun merupakan angka fantastis yang diberikan oleh presiden pada pelaku narkoba. Tak pernah ada sebelumnya, sekalipun untuk warga Indonesia. Terlebih remisi diperketat pada permasalahan strategis seperti korupsi, pencucian uang, dan penjualan narkotika antar negara.

Presiden SBY boleh berkilah bahwa ini merupakan hak prerogatifnya sebagai kepala negara. Memang ini tak bisa dipermasalahkan pula secara hukum atau politik. Tapi publik negeri ini curiga, kenapa sang presiden memberikan grasi itu? Seperti ada ketidakterbukaan.

Dengan adanya grasi pada pelaku narkotika, Indonesia secara langsung telah terlihat lemah di mata internasional. Terlebih permasalahan warga negara di luar negeri sering tak menjadi prioritas. Apakah ada negosiasi dan hubungan mutualisme antara Indonesia dan Australia? Entahlah. 

Secara citra, mungkin Indonesia dielu-elukan sebagai negara demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan perdamaian. Mungkin itu sebatas citra, tidak seperti tindak perilaku negara lain di sekitar negeri ini. Tak jauh-jauh, baru-baru ini Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan AS Leon Panetta menyatakan akan menambah kekuatan militer perang di kawasan Asia Pasifik. Menjelang 2020, Amerika akan menyelesaikan misi strategis keamanannya di kawasan ini dengan menempatkan 60 persen kekuatan perangnya. 

Belakangan ini juga, telah kita ketahui Amerika telah membangun pangkalan militer di Australia. AS telah mempertimbangkan menggunakan kepulauan Cocos atau di Samudera Indonesia yang terletak di lepas pantai Australia Barat Laut untuk meluncurkan pesawat pengintai tak berawak. Selain itu, AS menempatkan kapal induk dan kapal selam tempur bertenaga nuklir di Perth. Itu semua katanya dilakukan untuk menghadapi sangketa Laut Cina Selatan serta menjamin keamanan kawasan Asia Pasifik.

Kita boleh saja curiga bahwa grasi ratu mariyuana merupakan langkah awal Indonesia mendekati barat. Terlebih negeri ini tak memiliki sistem angkatan perang mutakhir. Kapal-kapal banyak yang usang, alutsista banyak ketinggalan zaman. Entah apa yang bisa dikedepankan jika suatu saat Asia Pasifik termasuk Laut Cina Selatan menjadi lahan bertempur AS versus Cina dan kroninya.

Negeri ini sudah sering menempuh jalur diplomasi. Sangketa perbatasan dengan Malaysia berlarut-larut diselesaikan dengan diplomasi. Negeri ini juga tak memiliki posisi tawar strategis jika berhadapan negara-negara adidaya. Mungkin negeri ini sudah disebut negeri penakut. 

Entah berapa ratu mariyuana lagi yang nanti bisa dijadikan materi berdiplomasi. Atau ratu-ratu lain yang bisa dipertukarkan demi keamanan dan perdamaian bangsa dan negara ini. Seperti kata pepatah “Jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang” dan kita harus tahu bahwa itu sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Semoga Indonesia mampu untuk menghadapi itu semua.

sumber:

Perkenalkan, Namaku Ide

Berpuluh-puluh buku telah aku baca. Ludahku telah kering untuk membantu membalikkan ratusan hingga ribuan halaman buku. Berbagai pengetahuan telah aku telan, aku pahami, dan terkadang aku rekam kuat diingatannku. Tapi aku masib belum puas.

Siapa sangka ternyata kepuasan itu relatif. Ada orang yang baru membaca satu buku lantas puas. Tapi aku tidak. Aku tak puas jika hanya membaca. Aku tak puas jika hanya tahu. Aku lebih tak puas jika aku hanya membaca terus lupa. Aku puas jika aku mempunyai ide. Ide yang bisa aku tulis dan dibaca oleh mereka-mereka yang tak puas.

Pernah satu ketika aku berjalan di jalanan raya. Melihat dan mendengar deru bising kendaraan. Matahari terik, panas membakar kulit.

Pernah pula di suatu ketika aku duduk termenung di depan rak-rak buku di sebuah perpustakaan. Rak-rak itu bertingkat-tingkat. Di setiap tingkat tertata rapi sesuai jenis dan klasifikasinya. Ada buku-buku yang terus menua termakan zaman. Rapuh, robek, dan berakhir di tong sampah. Tapi ada juga yang diawetkan dalam lemari kaca.

Pernah pula di satu ketika aku bergelantungan di bus kota. Teriakan keras kenek bus menggaet penumpang. Sesekali berhenti. Menaikkan dan menurunkan penumpang. Ada yang menggerutu kesal. Ada pula yang tertidur pulas di pojok jendela bus kota. Ada yang bergelantungan hingga tangannya keras beradu besi karatan. Ada pula yang risih ketika para pengamen dan anak jalanan menyodorkan tangan meminta uluran uang.

Pernah lagi di suatu ketika aku membaca habis sebuah surat kabar. Informasi berseliweran. Foto-foto terpajang dengan seni tata letak. Tulisan-tulisan berita memusingkan mata. Belum substansi informasi yang terkadang tak tepat sasaran. Ada berita korupsi. Ada berita narkoba. Ada pula berita pak presiden berikan grasi ratu mariyuana asal negeri kangguru. Ada berita lumpur yang tak usai-usai. Semuanya berpacu. Membaca yang tak perlu. Begitupun aku.

Pernah di satu ketika aku merasakan....... Ah, aku terlalu banyak berbicara ‘ketika’. ‘Ketika’ yang tak bisa memuaskan hasrat jiwa. Ingat, aku butuh kepuasan. Kepuasan untuk memiliki ide. Iya, aku tahu bahwa kepuasan itu relatif. Aku ingin menikmati kerelatifan kepuasan itu. Itu semua berawal dari ide.

Telah banyak aku melihat, mendengar dan merasakan. Belum ada sesuatu ide yang bisa aku munculkan. Ini berdampak pada kepuasaanku.

Aku mohon, ide datanglah kau saat ini. Aku ingin berkenalan denganmu. Aku ingin berpuas diri menikmatimu. Biar kepuasan ini bisa aku rasakan. Aku tularkan.  

Datanglah ide, kenalkan: ini aku. Aku yang mencarimu di setiap sisi. Aku telah mencarimu dimana-mana. Aku telah ke jalan raya. Aku telah ke perpustakaan penuh rak buku. Aku telah bergelantungan di bus kota. Aku pun telah membaca habis surat kabar hari ini. Tapi mengapa kau tak sudi berkenalan denganku wahai ide. Apa salahku. Apakah kau belum puas melihat perjuanganku untuk menemuimu. Sesulit itukah bisa mengenalmu?

Sungguh aku putus asa wahai ide. Aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan. Jika kau tak cukup waktu untuk berkenalan denganku. Izinkan aku merasakan keberadaanmu. Biarkan dekapan eratmu membuatku mencapai kepuasan. Kepuasan yang membawaku pada senyum dan rasa bahagia.

Aku akan merenung lagi.

Aku akan mencoba menjawab. Kini aku tahu keberadaanmu wahai ide. Aku tahu. Kali ini kau tak bisa bersembunyi lagi. Sekarang aku bisa tersenyum. Kepuasanku mendapatkan dan menyalurkanmu segera terwujud.

Sekarang dengarkan wahai ide. Kau pasti ada dimana-mana. Kau ada di bus kota, kau ada di perpustakaan penuh rak buku, kau ada di jalanan dan kau ada di surat kabar. Sepertinya kau tidak pernah bersembunyi wahai ide. Kau terbuka. Mau berkenalan dengan siapa pun. Hanya saja aku yang lupa. Aku dan mereka lupa bahwa kau ada dalam pertanyaanku selama ini.

“Perkenalkan, ini aku. Kau pasti ide,” ujarku mengulurkan segala sesuatu.

“Iya. Aku Ide Cemerlang tepatnya. Terima kasih telah berkenalan denganku. Jaga aku agar tetap berkenalan denganmu,” ide menjawab sekenanya.

“Pasti akan. Karena aku sumber keberadaannmu,” jawabku sambil tersenyum.

Sekarang aku telah puas. Bagaimana dengan kau? Apakah sudah puas. Jika belum carilah idemu, berkenalanlah dan nikmati setiap kebersamaanmu mencapi kepuasaan yang relatif.

Jatinangor, 2012