Menilik Etika Komunikasi Media Massa

Di tengah uforia kebebasan pers, sebuah langkah tepat untuk menilik kembali aktivitas pers dalam menjalankan fungsinya. Setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 yang membungkam kebebasan pers, saat ini pers sudah menghirup udara bebas dalam menikmati keindahan dunia informasi. Berbagai media massa bertumbuhan dan setiap orang bebas berekspresi menyampaikan opini dan mengritik siapa pun di media massa tanpa ketakutan. Namun, di tengah uforia tersebut timbul permasalahan baru, yaitu “kebablasan” kebebasan.
         Saya teringat, bagaimana sebuah media massa online asing memberitakan terbunuhnya Mohamad Khadafi oleh para revolusioner di Libia. Dalam pemberitaannya, sungguh sangat melanggar etika-etika komunikasi. Pelanggaran itu bisa dilihat bagaimana media tersebut menyajikan kepingan-kepingan gambar dan video yang sangat vulgar. Foto kepala penuh darah dan penderitaan Khadafi ketika ditembak disajikan tanpa sensor sedikitpun. Tapi saya bersyukur kala itu, media massa di Indonesia tidak melakukan hal serupa.
            Baru-baru ini juga, saya mengamati pemberitaan kasus sebuah program Sosialite di Televisi One, di mana TV O** mengomersiliasasi penderitaan seorang bocah yang memiliki suatu penyakit menjadi sebuah tayangan lelang fashion. Namun, ternyata tayangan tersebut hanyalah sebuah rekayasa dan bocah menderita itu pun tidak mendapatkan apa-apa dari acara yang katanya bazar amal. Walaupun memang, kasus ini masih dalam proses hukum di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat.
            Dari kedua kasus di atas, terlihat jelas media massa tidak memperhatikan etika dalam menyampaikan pesan pada publik. Etika dalam hal ini adalah etika komunikasi. Dalam sebuah proses komunikasi massa, terdapat beberapa efek yang ditimbulkan, yaitu efek kognitif, afektif dan behavioral. Seperti dikutip dalam Komunikasi Massa karya Ardianto dkk, media massa secara pasti memengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Media membentuk opini publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan. Dominick (2000) menyebutkan tentang dampak komunikasi massa pada pengetahuan, persepsi dan sikap orang-orang. Media massa, terutama televisi, yang menjadi agen sosilisasi (penyebaran nilai-nilai) memainkan peranan penting dalam transimisi sikap, persepsi dan kepercayaan.
         Dengan peran sebagai agen sosilisasi, patut kita pikirkan lagi betapa besar tanggung jawab yang diemban media massa. Oleh karenanya, perlu juga kita tinjau kembali jika sebuah agen sosialisasi tidak memiliki etika dalam komunikasi, apa yang akan terjadi?
          Ada sebuah perspektif yang menurut saya bagus. Perspektif itu meliputi bagaimana sebuah etika komunikasi tidak lagi bergantung pada media massa saja. Akan tetapi, etika komunikasi itu muncul dan berkembang oleh sumbangsih berbagai pihak di luar instansi media massa massa, misalkan pemerintah, deontologis pers, dan masyarakat luas. Dengan perpaduan itu, etika komunikasi baru bisa ditegakkan.
           Dalam era globalisasi informasi dan komunikasi, sangat mudah bagi siapa pun untuk menyampaikan dan menerima informasi. Media massa pun telah menjadi medium tranformasi informasi yang efektif. Kredibilitas media massa pun masih ada di mata masyarakat sebagai acuan untuk melihat kebenaran. Oleh karenanya, penting bagi semua pihak untuk mempertahankan kredibilitas media massa tersebut, tentunya dengan meneguhkan etika komunikasi.
          Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk, serta tentang hak dan kewajiban moral/akhlak. Berkaitan tentang komunikasi, bisa disimpulkan apa yang baik atau yang buruk dalam sebuah proses komunikasi, dalam pembahasan kali ini adalah komunikasi massa.  
Di beberapa pembahasan, saya menyimpulkan bahwa etika komunikasi seringkali dilanggar jika media massa bersentuhan dengan hal-hal berbau pronografi dan kekerasan. Selain itu, sudah dijelaskan pula bahwa etika komunikasi seringkali sulit ditegakkan karena kurang dukungan dan keinginan berbagai pihak.
            Dalam era logika waktu pendek, media massa dituntut untuk melayani publik dengan produk-produk berkualitas dan mengutamakan kecepatan. Di lain pihak,media massa pun dituntut untuk mempertahankan diri agar tetap hidup di tengah persaingan dunia massa.  Sehingga, dorongan untuk saling mendahului dan cepat saji menjadi aktivitas yang memberikan dampak negatif bagi publik. Terlebih permasalahan selera dan tingkat pendidikan publik menjadi peran besar akan kualitas produksi media massa.
            Hal lain yang menarik buat diperhatikan adalah bagaimana etika komunikasi adalah tanggung jawab semua pihak. Selama ini, banyak pihak yang menyalahkan media ketika mereka menyajikan produk-produk yang bertentangan dengan moral dan kepercayaan masyarakat. Media massa selalu dituntut untuk menyajikan sajian yang idealis, tentunya sesuai dengan fungsinya sebagai agen pendidik, penghibur dan sebagainya. Apabila tuntutan tersebut tidak terpenuhi, seringkali media massalah yang berada pada posisi disalahkan. Cara pandang tersebut, memang terlihat tendensius dan tidak memperhatikan seperti apa industri dan persaingan media massa.
 Media massa bukanlah dewa yang bisa selalu berbuat hal baik. Wajar jika suatu waktu, media massa kebablasan melanggar etika yang dianut masyarakat media. Oleh karenanya, penting bagi semua pihak untuk tetap mengontrol dan mengingatkan media massa agar tetap menjalankan fungsinya dengan baik.
Untuk mencapai kondisi ideal tersebut, penting rasanya untuk memperhatikan bagaimana tingkat kemelekan masyarakat akan media. Selama ini, masyarakat media diperlihatkan pasif dan menerima apa saja yang disampaikan oleh media. Hal ini sudah digambarkan dalam teori Jarum Hipodermik, sebuah teori Komunikasi Massa. Namun, hal ini lambat laun tidak seperti dulu lagi. Masyarakat media sudah mulai aktif untuk mengkritisi setiap sajian dari media. Hebatnya, masyarakat telah memiliki hak untuk menghukum media yang melakukan kesalahan. Dengan kemampuan masyarakat media yang kritis, etika komunikasi di media massa akan tetap terjaga.

Literasi Media, Sebuah Jawaban Tepat

Tak bisa kita pungkiri, runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998 memberikan angin segar bagi kehidupan pers dan media. Pada masa Soeharto, ide dan pendapat setiap individu terkekang. Ketika angin kebebasan itu muncul, media pun berbondong-bondong unjuk kekuatan, sehingga seringkali media kebablasan dan tidak lagi memperhatikan etika demi kepentingan ekonomi dan politik.
Runtuhnya Orde Baru juga memberikan kebebasan pada media untuk mengaktulisasi semua pemikiran-pemikiran kreatif. Tak ayal acara-acara hiburan berjamuran di media televisi. Media televisi berlomba-lomba memberikan tayangan menghibur bagi pemirsa. Sehingga seringkali etika komunikasi dilanggar. Komunikasi empatik tidak lagi diperhatikan. Guyonan di televisi seringkali menyinggung dan menyakiti perasaan kelompok-kelompok ekonomi menengah ke bawah. Profesi-profesi kelas ekonomi menengah ke bawah dijadikan bahan olokan dan hal itu terkadang memperoleh rating tinggi. Profesi petani, satpam, pembantu rumah tangga, seringkali dijadikan komoditas utama acara-acara lawakan.
Di lain pihak, komunikasi di media massa juga seringkali kebablasan jika berhadapan dengan pemberitaan kekerasan dan pornografi. Kekerasan berupa terorisme tidak lagi dijadikan sebagai peringatan bagi masyarakat luas  dengan pemberitaan yang objektif. Akan tetapi, terorisme dan kekerasan dijadikan produk untuk menjual kecepatan sebuah media televisi dalam menyampaikan informasi. Kita masih ingat ketika bencana Gunung Merapi meletus di Jogjakarta. Salah satu televisi menyampaikan pemberitaan yang salah dan membuat masyarakat di sana semakin resah. Secara tidak langsung, mereka korban bencana mendapatkan bencana baru dari pemberitaan media massa. Media massa tidak lagi sebagai pemberi informasi yang menenangkan masyarakat, tetapi meresahkan masyarakat. Lagi-lagi dengan alasan kecepatan dan persaingan antar media. Tentunya dibalik itu semua beralasan ekonomi dan politik.
Melihat kondisi saat ini, penting sekali rasanya untuk bertindak. Masyarakat massa di Indonesia yang hampir sebagian besar sudah melek media harus bergerak untuk menjaga media massa dari kebablasan. Masyarakat seharusnya tidak menggantungkan penjagaan akan media massa pada institusi pemerintah, seperti, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers dan sebagainya. Masyarakat harus semakin cerdas dan memiliki kemampuan untuk mengkritisi m edia massa. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan media watchdog harus terus memberikan perhatian pada tingkat kemelekan masyakarat terhadap media massa.
Untuk membuat masyarakat yang kritis dan melek media, menurut saya hal terpenting adalah digalakkannya apa yang disebut literasi media atau pendidikan media. Karena dengan cara seperti itulah, masyarakat media di Indonesia akan lebih bisa mengontrol dan mengkritisi setiap pesan yang disampaikan oleh media massa. Terlebih media massa di Indonesia cukup banyak, khususnya televisi yang bersiaran nasional.
Tujuan literasi media adalah  mengajak khalayak dan pengguna media untuk menganalisis pesan yang disampaikan media massa, mempertimbangkan tujuan komersil dan politik dibalik suatu citra atau pesan media, dan meneliti siap yang bertanggung jawab atas pesan atau ide yang diimplikaskan oleh pesan atau citra itu. (Ardianto,dkk. 2007:222)
Literasi media adalah kepedulian masyarakat terhadap dampak negatif dari media massa. Perkembangan teknologi komunikasi berkaitan dengan media massa, selain memberikan maslahat untuk kehidupan manusia juga menimbulkan mudarat.
Di Indonesia pun terjadi pernah terjadi booming media televisi sejak tahun 1990-an sampai sekarang (11 saluran televisi nasional dan puluhan saluran televisi komunitas atau lokal). Indonesia menempati peringkat kedua dengan 11 saluran televisi nasional, setelah Negeri Srilangka 22 saluran televisi nasional, sementara di negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika hanya 3-4 saluran siaran secara nasional. (Ardianto,dkk. 2007:214)
Dengan jumlah televisi yang banyak, besar sekali kemungkinan etika komunikasi dilanggar. Persaingan antar pemilik media menjadi alasan dibalik ketatnya persiangan. Terlebih ketika media massa dan pers cenderung memperlihatkan keberpihakan pada partai-partai politik tertentu. Dengan kondisi seperti ini, penting sekali bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan akan literasi media.
Baran (2004) menyebutkan saat ini literasi diartikan sebagai kemampuan memahami simbol-simbol tertulis secara efisien dan efektif serta komprehensif. Dengan adanya perkembangan media elektronik, maka kemampuan itu tidak bernama literasi lagi, tetapi menjadi media literacy atau literasi media. Batasan literasi media berarti keahlian memahami dan menggunakan isi media massa secara efektif dan efisien. Literasi media adalah memahami sumber-sumber dan teknologi-teknologi dari komunikasi, kode-kode yang digunakan, pesan yang akan diproduksi, dan seleksi, interpretasi dan bentrokan dari pesan-pesan tersebut (Rubin, dalam Baran. 2004:51) (Ardianto,dkk. 2007:216)
Berikut saya kutip tahapan-tahapan literasi media menurut buku Komunikasi Massa Suatu Pengantar,karya Elvinaro Ardianto, dkk, yaitu:
1.         Peduli akan pentingnya mengelola media, membuat pilihan tontonan, mengurangi waktu menonton televisi, video, games, film, dan berbagai bentuk media cetak.
2.    Mempelajari beberapa keahlian khusus untuk melihat secara kritis, belajar menganalisis dan bertanya apa yang ada di dalam frame, bagaimana hal itu terbentuk, dan hal apa yang mungkin terlewati. Kemampuan untuk melihat secara kritis bisa dipelajari dari kegiatan interaktif yang dilakukan secara berkelompok
3.      Melihat ke belakang frame untuk mengeksplorasi isu lebih dalam lagi. Siapa yang memproduksi media tersebut dan apa kegunaannya? Siapa yang memperoleh untung, Siapa yang merugi?

Dari tiga tahapan di atas, bisa saya kesimpulan bahwa literasi media sangat membutuhkan kesadara dari masyarakat dalam memperlakukan media. Di samping itu, diperlukan keahlian dan pengetahuan untuk menganalisis pesan-pesan apa saja disampaikan di media massa. Tidak  hanya berhenti sampai di sana, literasi media juga melihat ke balik layar sebuah produksi media massa. Pada akhirnya akan melihat siapa yang untung dan siapa yang dirugikan.
Saya sendiri yakin, jika literasi media berjalan dengan baik dan pemerintah mendukung, pastilah media massa akan berfikir ulang dengan tayangan-tayangan yang kerap melanggar etika komunikasi. Media massa akan lebih berhati-hati lagi dalam menyampaikan pesan. Komunikasi empatik nantinya akan bisa terwujud, mengingat media massa sangat bergantung pada komunikannya agar mereka tetap berlangsung hidup.