Tak Berkutik Hadapi Bos Media

Masih teringat jelas oleh saya ketika Hari Buruh Sedunia (May Day), 1 Mei 2010 diperingati dengan meriah oleh beberapa kesatuan buruh di kota Bandung dan sekitarnya,Jawa Barat.

Kesatuan buruh ini berkumpul di depan Monumen Perjuangan, di jalan Dipati Ukur dan bergerak ke arah Gedung Sate. Di depan kantor gubernur Jawa Barat inilah kesatuan buruh menyampaikan orasi dan tuntutannya. Mulai dari upah yang tidak sesuai standar, pemutusan hubungan kerja PHK), dan sebagainya disampaikan dengan semangat dan disertai dengan teriakan-teriakan disertai kibaran bendera ke udara.

Sebagai mahasiswa Ilmu Jurnalistik, Fikom Unpad, saya pun mengangkat berita ini sebagai pemenuhan tugas Penulisan Berita Langsung (PBL) atau straight news. Dalam proses peliputan, ada hal yang menarik untuk dipertanyakan dan dikaji secara seksama oleh berbagai pihak. Hal menarik itu adalah sekelompok wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, ikut-ikutan demo. Seharusnya wartawan yang meliput dan memberitakan demo berlangsung, malahan menjadi peserta demo. Sehingga pantas rasanya jika saya menyebutnya sebagai "jeruk kok makan jeruk", wartawan kok meliput wartawan lain untuk dijadikan beritanya.

Memang tidak ada salahnya apa yang dilakukan oleh AJI Bandung. Aksi damai yang dilakukan mengusung tema bahwa jurnalis atau wartawan di berbagai media massa, baik cetak, elektronik dan online sama dengan buruh. Tak ada bedanya dengan buruh. Hanya saja selama ini orang menganggap buruh itu hanya bekerja di pabrik. Namun, jurnalis pun adalah buruh. Begitulah isu yang dikedepankan oleh AJI Bandung dalam memeringati hari Buruh Internasional.

Buruh Tak Boleh Membantah

Masyarakat secara luas menganggap sosok wartawan adalah orang yang memiliki kemampuan luar biasa. Kartu pers terkalungkan di leher bagaikan "Benda Sakti /Jimat" atau sumber kekuatan yang bisa membantu banyak orang. Lebih kurang, apa yang disebutkan itu benar adanya. Banyak kita ketahui bahwa sebagaian besar wartawan telah memberikan perpanjangan tangan bagi warga yang lemah dan tidak memiliki akses suara ke penguasa. Tidak hanya itu, wartawan seperti super hero yang memiliki kemampuan mengungkap tabir kebenaran dan secara tidak langsung menghukum pelaku kejahatan.

Sebagian masyarakat mungkin tidak mengetahui bahwa wartawan atau jurnalis yang selama ini dianggap sebagai pahlawan adalah sosok yang sepertinya bebas dan memliki kekuatan. Namun, sebenarnya itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan jati diri. Saya sendiri pun tidak membantah bahwa jika ada orang yang menyebut wartawan adalah buruh. Itu benar adanya.

Kita tahu bahwa wartawan atau jurnalis merupakan orang penggerak dari sebuah media. Ia dibayar dengan berita yang dihasilkan. Berita yang jurnalis dapatkan, itulah "suapan" nasi untuk hari itu bagi mereka. Jika tak dapat berita, mungkin tidak ada upah. Begitulah mungkin ujaran kasarnya.

Buruh atau kuli pastilah ia akan bekerja berdasarkan apa yang diperintahkan oleh majikannya. Jika majikan meminta A, tentulah A itu yang dipenuhi. Jika tidak, pastilah marah besar akan diterima oleh buruh tersebut. Lebih buruknya, berujung pada pemecatan. Hal inilah yang terjadi pada banyak jurnalis di Indonesia.Banyak wartawan yang tidak berani berhadapan dengan pemilik modal. Tidak ada kritikan pada pemilik modal, seola-olah upah yang diterima wartawan sudah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Padahal itu belum, sehingga timbul wartawan yang mengandalkan jalannya hidup pada amplop yang diberikan narasumber. Tidak hanya itu, upah yang diberikan oleh pemilik modal pun terkadang harus ditentukan oleh mereka. Hal inilah yang saya sebut sebagai Kutu Kebebesan Pers.

Kutu kebebasan pers, merupakan kata yang saya ciptakan sendiri. Kutu merupakan makhluk yang selalu menggrogoti mangsanya. Pemilik modal di tulisan ini saya samakan dengan kutu. Pemilik modal ini berwenang besar menentukan apa yang akan dipublish di medianya. Berita pun harus melalui screening atau saringan. Jika lolos barulah bisa ditampilkan di khalayak.

Kita ketahui bahwa jurnalis dan pers itu bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pemilik modal, seperti yang dikemukakan Bill Kovach dalam 9 elem jurnalisme : “Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara”. Namun, apa daya ketika pemilik modal yang memberikan upah berkata lain. Terpaksa mengikuti apa kehendak pemilik modal.Jika tidak,bersiaplah pemutusan hubungan keja akan diberlakukan. Hal inilah yang akan berpengaruh pada kebebasan pers. Apalagi sistem pers secara keseluruhan.

Perlu Perjuangan Untuk Mengubah Sistem

Pada tulisan di atas terlihat bahwa jurnalis atau pers tidak memiliki kemampuan tawar terhadap pemilik media. Padahal, peluang untuk bargaining position itu bisa dilakukan melalui institusi serikat pekerja dan sudah ada dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 dan UU Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja yang menciptakan posisi sejajar antara buruh dan pemilik modal.

Hal inilah yang harus diperjuang oleh insan pers. Kebebasan pers tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun. Jika itu diperjuangkan, sistem pers dengan kebebasan pers untuk kepentingan publik akan bisa diwujudkan. Jika tidak, julukan wartawan adalah buruh akan terus melekat dan dominasi pemilik modal adalah penyebab utama bagaimana bentukan sebuah sistem pers yang jauh dari kebebesan selama ini diagung-agungkan.

Dalam sebuah situs www.jidizone.co.nr disebutkan “Dalam konsepsi Marx, ketertindasan yang dialami oleh kaum proletar (buruh) yang dilakukan oleh kaum borjuis (pemilik modal) akan melahirkan perjuangan revolusioner, yang berujung pada kemenangan buruh dan kehancuran pemilik modal (Johnson, 1986). Dalam konteks persoalan yang sedang dihadapi jurnalis saat ini, bila kita mengambil referensi Marx, maka penindasan yang dilakukan pemilik media dengan tidak memberi upah yang layak, akan disikapi dengan perlawanan yang gigih, sebagaimana aksi-aksi perlawanan kelompok buruh di sektor lainnya.”