Dedikasi Penuh Bukti

Artikel Mengenang Wafatnya Tokoh Pers Asal Sumatera Barat, Rosihan Anwar

“Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia. Biar orang bilang apa saja, biar, biar. Indonesia negara paling korup di dunia. Indonesia negara gagal. Indonesia negara lemah. Indonesia melanggar HAM,” itulah bagian puisi Rosihan Anwar ketika ia melawan korupsi.

Sekarang, masyarakat Indonesia tidak akan bisa lagi melihat keberadaan Rosihan Anwar. Namun, semua itu mungkin akan bisa diobati dengan membaca dan menikmati karya-karyanya. Pria kelahiran tanah Minang, Kubang Nan Duo, Solok, Sumatera Barat telah meninggalkan dunia fana ini. Pada 10 Mei 1922 ia dilahirkan. Namun, sang Maha Kuasa berkehendak untuk memanggil hambanya yang penuh dedikasi bagi bangsa dan negaranya pada Kamis, 14 April 2011.

Masyarakat Indonesia berduka sembari mengingat betapa besarnya jasa dan karya yang telah beliau ukir dalam sejarah panjang bangsa ini. Khususnya masyarakat di ranah Minang, sangatlah berduka kehilangan tokoh dan panutan yang selama ini mengharumkan nama Minangkabau dan Sumatera Barat di kancah nasional bahkan internasional.

Rosihan Anwar merupakan sosok dijuluki "A Footnote of History". Julukan itu diberikan karena begitu besarnya cinta yang ia berikan pada dunia jurnalistik. Di samping itu, beliau juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan. Kurang lebih 20 judul buku dan ratusan artikel buah pemikirannya telah dinikmati oleh pembaca media massa di dalam dan luar negeri.

Pada dunia Pers, Pak Ros, sapaan akrab Rosihan Anwar telah mendedikasikan hampir tiga perempat hidupnya. Berumur 20 tahun, beliau sudah memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter harian Asia Raya di masa pendudukan Jepang (1943). Ia pun terus menunjukkan dedikasinya dengan mendirikan koran bertajuk "Pedoman", walaupun ini akhirnya dibredel oleh rezim Orde Baru (1974).

Saat kecil, anak keempat dari sepuluh bersaudara ini telah menunjukkan gemar menulisnya. Sungguh nyata sekali ketika selama ini, suami dari almarhumah Siti Zuraida menunjukkan dedikasinya dalam dunia tulis-menulis. Tidak hanyak itu, putra dari Anwar Maharaja Sutan ini pernah mengatakan dalam wawancaranya dengan harian The Jakarta Post bahwa ia akan terus menulis dan akan berhenti saat mati.

Luar biasa sungguh, tokoh minang yang memberikan dedikasi penuh bagi bangsa dan negaranya telah melewati kehidupan 'multi-zaman'. Kerasnya penjajahan Belanda telah ia rasakan di saat ia disekap di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta). Koran pribadi pun dibredel sama pemerintah Indonesia. Namun, itu semua tidak menyurutkan semangatnya untuk terus berdedikasi dan berkarya. Peluh perjuangannya itu pun tak hilang begitu saja. Berbagai penghargaan ia terima, seperti Bintang Mahaputra III dan Life Time Achivement di tahun 1946.

Semua karya dan dedikasi Pak Ros menjadi kenangan terindah yang ia tinggalkan untuk generasi selanjutnya. Kenangan terindah itu pun telah menunjukkan bukti kuat bahwa apa yang ia katakan dalam puisinya, "Aku Tidak Malu Jadi Orang Indonesia" adalah benar adanya. Ia tidak hanya berkata-kata, tetapi semuanya ia buktikan dengan semangat juang tinggi. Tentunya ia pun telah berharap dan mungkin akan menyaksikan dari alam barunya bahwa generasi-generasi penerusnya membuat karya-karya yang lebih baik dari apa yang telah ia lakukan.

Suatu teladan yang sangat memberikan pelajaran besar bagi generasi muda Indonesia. Betapa tidak, di umur 20 tahun, Pak Ros telah menunjukkan bahwa generasi muda adalah generasi yang kuat, kreatif dan produktif. Kerasnya zaman dan tekanan penjajahan tidak melumpuhkan semangat juangnya untuk terus berkarya. Penangkapan, pembredelan koran miliknya pun tak menyurutkan semangatnya untuk terus menuangkan ide kreatifnya.

Kini, Pak Ros secara tidak langsung telah memberikan jiwa semangat juangnya bagi generasi muda. Karya-karya yang ia tinggalkan telah banyak dibaca dan menjadi bahan rujukan. Namun, hal terpenting adalah bagaimana generasi yang ia tinggalkan sadar dan mau berusaha dengan semangat juang seperti Pak Ros miliki, mungkin bisa melebihi.

Mulit zaman yang telah dilalui Pak Ros, jauh berbeda dengan apa yang kita rasakan saat ini. Perkembangan teknologi dan komukasi informasi tentulah hal yang sangat memberikan banyak kemudahan untuk berkarya. Di samping itu, iklim negara demokrasi telah memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi generasi muda untuk mengekpresikan semua ide yang dimiliki. Tidak ada lagi tekanan, penangkapan dan pembredelan. Hanya saja tantangan terbesar yang harus dilalui ada pada diri sendiri.

Karya besar dan dedikasi penuh bukti yang diperlihatkan Pak Ros bukanlah suatu hal yang mudah dan tidak pula dalam jangka waktu pendek. Sepanjang 89 tahun, Pak Ros terus mengukir karya, belajar dan berjuang. Namun, hal itu dimulai dari langkah kecil dan disertai komitmen yang tinggi.

Untuk generasi muda, sekarang saatnya untuk menghasilkan karya kreatif, seperti apa yang telah dilakukan oleh almarhum Pak Ros. Salam dan doa sepatutnyalah kita sampaikan, semoga beliau damai dan bisa tersenyum bangga.

Loh, Negara Kelautan Kok Impor Ikan ?

Ke mana ikan-ikan di perairan Indonesia ? atau tidak ada lagi nelayan yang mau melaut ? Sungguh aneh, negara kelautan kok "berani-berani" impor ikan.

Indonesia telah memperlihatkan ketidakmampuannya untuk memanfaatkan kekayaan laut. Hampir 2/3 dari wilayah Indonesia berupa perairan laut atau memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km. Secara global, Indonesia memiliki 14% garis pantai seluruh dunia, tetapi masih saja Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhamad mengatakan arus impor masih berlangsung untuk perikanan beku dan pengolahan (Lihat situs Kompas.com, Tidak Serius Hadapi ACFTA,11/4).

Pada tahun 2009, Indonesia mengimpor produk perikanan beku dan olahan senilai 236,18 juta dollar AS. Ketidakmampuan Indonesia mengolah kekayaan alam ini diperlihatkan lagi pada tahun 2010, dengan adanya peningkatan nilai impor sebesar 33,57 persen dari impor tahun 2009. Secara total mengimpor produk perikanan sebesar 327.723 ton ikan. Sebagian besar ikan yang di impor berasal dari negara Cina.

Timbul pertanyaan, mengapa bisa terjadi peningkatan impor produk perikanan di Indonesia. Alangkah tidak masuk akalnya, Indonesia yang dahulunya memiliki jargon "Nenek moyangku seorang pelaut", sekarang generasi penerusnya malahan mengimpor ikan.

Tidak bisa dipungkiri sepanjang 2009-2010 perubahan cuaca yang ekstrim terus melanda Indonesia. Apakah hal ini yang menyebabkan tidak bisanya nelayan Indonesia pergi melaut ? Atau jangan-jangan pemerintah tidak memiliki perhatian yang serius untuk meningkatkan jumlah produk ikan dalam negeri.

Bercermin dari negara Cina, sejak ditandatanganinya Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) satu tahun lalu, produk Cina semakin laku keras di pasar Indonesia. Pada data dan pantauan media massa Kompas menghasilkan neraca perdagangan Indonesia-China mengalamai defisit di pihak Indonesia. Salah satu penyumbang defisitnya neraca perdagangan tersebut tentulah impor produk perikanan.

Pemerintah mengklaim bawa mereka telah mengendalikan impor produk ikan yang semakin marak. Untuk melindungi diri, pemerintah seperti menyalahkan semakin luasnya perdagangan bebas.

Pemerintah tidak bisa menyalahkan siapa pun akan musibah impor ikan ini. Pemerintah sebenarnya sejak sembilan tahun lalu sudah mengetahui bahwa perdagangan bebas ASEAN-Cina akan disepakati pada Januari 2010. Pastilah pemerintah sudah memiliki ancang-ancang, hal apa yang harus dilakukan. Keputusan strategis dan teknis seperti apa, hendaknya sudah matang dan siap untuk dijalankan.

Untuk tahun 2011 ini, pemerintah tidak bisa lagi terus-terusan mencari alasan akan kenaikan impor produk ikan ini. Khususnya, Departemen Kelautan dan Perikanan, segera mungkin mencari akar masalah mengapa impor bisa terjadi. Jika itu masalah perubahan iklim, mengapa Cina bisa memproduksi ikan lalu mengekspor. Tidak masuk akal pula jika pemerintah mengatakan bahwa ikan di perairan Indonesia sudah habis.

Menurut hemat saya, pemerintah hendaknya memberikan perhatian khusus bagi semua nelayan Indonesia. Dengan memberikan pinjaman modal dan pengetahuan teknis penangkapan ikan yang baik, hal itu bisa meningkatkan produktivitas hasil tangkapan. Karena selama ini terlihat bahwa nelayan hanya memiliki perahu untuk kapasitas danau yang berair tenang. Di samping itu pun, perahu juga seperti mau tutup usia. Wajar saja jika ketakutan nelayan untuk melaut membesar.

Di samping bantuan langsung pada nelayan, pemerintah haruslah mengontrol harga pasar. Harga ikan impor yang murah tentu akan membuat konsumen Indonesia tidak memilih ikan lokal. Di sinilah peran besar pemerintah untuk memberikan harga yang bersaing dengan harga ikan impor. Kebijakan harga pasar yang menguntungkan nelayan Indonesia pada akhirnya akan meningkatkan kesahjateraan. Pada akhirnya, kesejahteraan itulah yang akan meningkatkan kembali produktivitas hasil tangkapan atau produk perikanan.