Mencari Agama dalam Waisak


http://kvltmagz.com/wp-content/uploads/2012/01/Lampion-Terbang-perayaan-Waisak.jpg
Pelepasan lampion. sumber: ini


Perayaan Hari Besar Tri Suci Waisak 2557 BE/2013 di Indonesia telah berlalu. Namun, perayaan hari suci itu di berbagai perbincangan masyarakat Indonesia meninggalkan cerita kelam. Di lini masa media sosial, forum komunitas di internet, pemberitaan media massa hingga warung kopi, masyarakat beradu argumen mengenai cerita waisak tahun ini.

Cerita itu bermula ketika terjadinya ketidaktertiban pengunjung untuk memasuki kawasan Candi Borobudur. Cerita itu memuncak ketika pelepasan seribu lampion gagal dilaksanakan karena terganggung guyuran hujan. Cerita lain yang juga kembali dikisahkan adalah mengenai etika pengunjung yang tidak beradab. Misalkan cara berpakaian pengunjung dan etika memotret.

Di sini saya tidak ingin memperdebatkan pro kontra gagalnya perayaan lampion atau etika pengunjung yang tidak beradab. Toh seribuan lampion telah diterbangkan sehari sesudahnya, dan tentunya tidak banyak masyarakat yang mengetahui perayaan itu. Ada esensi yang menurut saya cukup penting diketengahkan dalam memperbincangkan toleransi antar umat beragama. Dalam hal ini kata kuncinya adalah AGAMA.

Masih teringat jelas pelajaran guru agama saya di sekolah menengah atas. Guru saya menjelaskan bahwa kata ‘AGAMA’ berasal dari bahasa Sansakerta yaitu A=tidak dan GAMA=kacau. Ketika digabungkan kata AGAMA memiliki arti tidak kacau. Saya mencoba merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia. Di sana agama memiliki arti lain yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Dari penjelasan di atas, saya coba simpulkan ada tiga poin penting yaitu tidak kacau, tata keimanan pada Tuhan dan tata pergaulan antar manusia serta lingkungannya. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya coba mencari agama dalam perayaan waisak tahun 2013 ini.


Mengejar Perayaan Seribu Lampion di Candi Borobudur

Setiap tahun di saat puncak perayaan Trisuci Waisak di Candi Borobudur selalu menjadi magnet kuat bagi masyarakat Indonesia dan manca negara untuk dikunjungi. Perayaan pelepasan seribu lampion menjadi alasan utama bagi wisatawan. Begitu saya, perayaan lampion menjadi titik tolak untuk ikut serta dalam perayaan Trisuci Waisak 2557 BE/2013, di Magelang, Jawa Tengah.

Langit Yogyakarta, Sabtu 25/5, terlihat mendung berawan. Sesekali rintik hujan telah menetesi pelan  bumi Yogyakarta. Melihat ke arah utara, Magelang,  langit putih terang terlihat. Ada perasaan optimis bahwa cuaca akan cerah. Tentunya dengan harapan perayaan seribu lampion akan berlangsung semarak di bawah sinar bulan purnama.

Bersama rombongan, saya pun menyusuri padatnya jalur  lalu lintas Yogyakarta menuju Candi Borobudur. Sepanjang 42 km perjalanan menuju Borobudur berbagai kendaraan berpacu mengejar waktu untuk perayaan lampion. Mobil berplat daerah luar Yogyakarta dan Jawa Tengah harus antri di beberapa titik kemacetan. Lain dengan kendaraan motor yang terus menyusuri celah kosong jalan.

Di tengah perjalanan, hujan pun mengguyur. Tapi tim dan saya tetap melanjutkan perjalanan walau didera hujan. Kesalahan utamanya, tidak membaca jas hujan. Demi langit terang, cuaca cerah di langit Magelang, terbisat asa bahwa cuaca pasti cerah. Motor pun terus dipacu melewati lalu lintas yang semakin padat di sore hari.

Melewati pertigaan ke arah Candi Borobudur, cuaca pun cerah. Langit putih, matahari sore mengintip di balik barat awan sore hari. Perjalanan pun terus dilanjutkan, menjelang Candi Mendut mulai terlihat tumpukan wisatawan domestik dan internasional di pinggir jalan. Ada yang menggunakan sepeda motor, mobil, mini bus dan bus besar. Di wajah mereka terlihat suasana hati nan bahagia karena mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan pelepasan seribu lampion nanti malam.

Suasana Candi Mendut usai salah satu prosesi upacara waisak

 Beberapa prosesi terlewati
 
Saya tidak sempat untuk melihat beberapa prosesi upacara waisak karena semua acara sudah dipusatkan di Candi Borobudur sore itu. Saya tak bisa menyaksikan upacara  prosesi kirab air suci dan api abadi dari Candi Mendut ke Borobudur. Prosesi upacara itu berlangsung pada pukul 14.00 WIB. Pada prosesi itu, tidak kurang dari 100 Bhiksu dan Bhiksuni Sangha Theravada dan Mahayana akan berjalan melewati 3,7 km jarak tempuh Candi Mendut ke Candi Borobudur.

Sebelum upacara kirab air suci dan api abadi, pada pagi harinya sekitar pukul 07.30 WIB  digelar tradisi Pindapatta. Biasanya pada prosesi ini para wisatawan dan fotografer akan terus mengikuti jalannya prosesi. Pindapatta itu sendiri berasal dari Bahasa Pali yang artinya menerima persembahan makanan. Namun dalam perkembangannya persembahan berupa uang pun dilakukan oleh para umat Buddha.

Proses Pindapatta ini dimulai dengan doa bersama di tempat ibadah Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio di alun alun Kota Magelang, dengan terlebih dahulu mengadakan doa yang dipimpin Ketua Dewan Sangha Perwakilan Buddha Indonesia (Walubi), Bhiksu Tadisa Paramita Mahasta Vira. Pada waisak 2557 BE/2013 ini, berdasarkan informasi dari Kompas.com, diikuti oleh Bhiksu dari mancanegara Australia, China, Singapura dan Thailand. Melalui tradisi ini, umat Buddha ingin menciptakan jodoh baik dan juga memberikan kesempatan untuk turun membantu lingkungan setempat agar mempunyai rezeki dan terhindar dari malapetaka. Bagi Anda yang ingin melihat langsung prosesi ini dan prosesi lainnya, datanglah sedari pagi.