Capri 2: Ketika Keyakinan Dipasung


Keyakinan beragama adalah hak setiap warga negara. Setiap warga negara bebas untuk menentukan mana yang harus diikuti dan mana yang harus ditinggalkan. Kebebasan berkeyakinan pun bisa dijadikan tolak ukur suatu bangsa dan negara bisa dikatakan beradab. Keyakinan pun bisa dikatakan seperti api dalam sekam. Tak terlihat, tenang, tapi menyimpan potensi api yang cukup besar dan siap membara.




Api dalam sekam. Itulah kalimat yang mungkin tepat untuk menggambarkan kondisi pemasungan keyakinan beragama di negeri ini. Baru-baru ini, di berbagai media massa disajikan peristiwa penyerangan kelompok Sunni terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura. Berbagai pendapat pun bermunculan untuk memaknai konflik ini. Ada yang berpendapat konflik ini murni berkaitan dengan agama. Ada juga yang menyebutnya sebagai konflik politis. Terlepas dari pendapat tersebut, hal terpenting adalah konflik ini telah terjadi.

Mungkin masih ingat dipikiran kita akan Ahmadiyah. Telah terjadi di tahun lalu penyiksaan, pengusiran, dan pembunuhan terhadap anggota kelompok Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang Banten.Mereka korban amukan massa kesetanan. Lagi-lagi ini masalah perbedaan keyakinan.

Berdasarkan putusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmadiyah telah menyimpang dari akidah dan menimbulkan keresahan, perpecahan, dan berbahaya bagi ketertiban dan keamanan negara. Menurut MUI, Ahmadiyah menganut paham bahwa Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir dan menganggap Ghulam Mirza Ahmad sebagai nabi.

Berbeda lagi -jika tragedi Sampang dan Ahmadiyah berada dalam satu keyakinan: Islam- dengan kasus GKI Taman Yasmin. Sejak tahun lalu, hingga Minggu (8/1/2012), kekerasan masih terjadi di kawasan GKI Taman Yasmin, Bogor, Jawa Barat. Ratusan massa dari Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) berusaha membubarkan jemaat GKI Yasmin yang menggelar ibadah. Mirisnya lagi, mereka pun tidak diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah Natal, 25 Desember 2011.

Saya pun sejenak termenung, mengapa keyakinan beragama selalu dijadikan alasan atau sumber untuk melakukan kekerasan dan penindasan? Islam khususnya merupakan agama yang rahmatanlilalamin. Agama yang diturunkan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam. Akan tetapi, kejadian-kejadian yang kita lihat bukanlah lagi suatu rahmat. Malahan itu merupakan suatu bencana atau murka Tuhan.

Tulisan ini tidak berbicara tentang pluralisme yang diusung kelompok barat. Dan saya pun bukan orang yang mendukung pluralisme. Namun, saya hanya mengajak kita semua, baik berkeyakinan sama atau tidak untuk melihat permasalahan perbedaan keyakinan dengan pikiran jernih. Betapa tidak, rasa kemanusiaan dan rasa persaudaraan kita sebagai manusia telah terkoyak dan tercabikkan. Nyawa manusia seperti tak ada artinya. Kepentingan kelompok dominan selalu dimenangkan. Kelompok minoritas pun tersiksa, terusir dan terbunuh.

Keyakinan adalah hak hakiki setiap manusia. Keyakinan juga menjadi landasan utama manusia untuk bergaul dan berbuat dalam kehidupan sosial. Keyakinan seperti alat kelamin yang tidak bisa dipaksakan. Dan pemilihan itu harus bersumber dari pikiran jernih dalam kebebasan memilih. Lalu bagaimana jika keyakinan dipasung dan dipaksakan?

Selanjutnya, apakah kita setuju dengan keyakinan berbeda dihasilkan korban-korban kekerasan dan pembunuhan? Agama mana yang memperbolehkan untuk melakukan hal seperti itu? Saya pikir dan setahu saya tidak ada agama yang mengizinkan untuk itu. Lalu mengapa hal itu masih saja terjadi hingga saat ini di negeri Indonesia.
Indonesia sedang menginjak reformasi. Rakyat sedang mengalami euforia demokrasi. Berbagai kegiatan dilandasi dengan semangat demokrasi. Tapi, sayang demokrasi bangsa belum mampu diimbangi oleh kewibawaan dan kebijaksanaan negara.

Negara notabennya hanyalah konvensi bangsa untuk terikat dalam satu kawasan tertentu dan membuat bersatu. Negara juga menjadi alat untuk mengatur bangsa agar bisa mencapai visi masa depan yang sama. Tapi, dengan melihat pergesekan keyakinan belakangan ini kita sebagai bangsa patut mempertanyakan akan eksistensi negara.

Di negara Indonesia, telah diatur dengan jelas dalam konstitusi mengenai keyakinan. Pada pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan akan kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinan masing-masing. Bukan keyakinan liberal tentunya. Keyakinan yang berlandaskan pada semangat Pancasila dan UUD.

Namun, negara yang sebenarnya merupakan alat pengatur belum mampu berbuat banyak. Pergesekan keyakinan yang menyebabkan konflik berkepanjangan tak kunjung terselesaikan. Negara yang sebenarnya banyak memiliki lembaga teknis pun sepertinya bingung menghadapi konflik. Kepolisian, kejaksaan dan Kementerian Agama belum juga mampu menyatukan visi menghentikan pergesekan antar keyakinan.

Lalu, jika negara tidak/belum mampu menyelesaikan pergesekan antar keyakinan, apa yang seharusnya kita lakukan? Saya membaca MBM Tempo (15/1) dan mengutip Undang-Undang Nomor 39/1999 yang berbicara Hak Asasi Manusia. Pada undang-undang tersebut dijelaskan bahwa hak untuk hidup dan tidak disiksa serta kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun.

Dari UU 39/1999 sangat jelas diatur apa yang harus kita lakukan. Setiap orang tidak berhak untuk mengurangi dan dikurangi kebebasan pribadinya. Begitu juga dengan keyakinan. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk meyakini atau tidak meyakini sesuatu hal. Namun, jika egoisme individu dan golongan yang dikedepankan, hal yang wajar jika pemasungan keyakinan menjadi rutinitas semata. Konflik selama ini akan terus berlanjut. Tapi, tentunya kita semua tidak berharap hal tersebut akan terulang kembali. Semoga kita bisa mengambil pelajaran !


Capri 1: Wakil Bersidang, Rakyat Berkemah



Senin (9/1), saya sempat panik. Janji dengan Ruhut Sitompul pukul 11.00 WIB. Jam di dinding ruang redaksi Gatra sudah menunjukkan pukul sembilan. Ruangan yang sejuk dan sepi membuat saya semakin tegang. Tentunya, mengingat hari ini adalah deadline liputan para reporter. Sedangkan saya, belum satu pun mewawancarai narasumber.

Berdasarkan jadwal yang sudah disusun semenjak hari Minggu, saya akan mewawancarai tiga orang narasumber. Ketiganya adalah anggota DPR RI, yaitu, Ruhut Poltak Sitompul dari Partai Demokrat, Nurul Arifin dari Partai Golkar dan Sadarestuwati dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ruhut dan Nurul akan dimintai komentar terkait putusan MK yang mengabulkan judicial riview terkait pelarangan anggota parpol masuk Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sedangkan Saradestuwati akan berbicara mengenai UU no 1 tahun 2011 terkait Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Selang beberapa saat, saya pun bersyukur sekretariat redaksi, namanya Mas Sapto datang. Ia pun memberikan solusi dengan memberikan surat jalan. Secara kartu pers/pengenal media belum dibuatkan. Terlebih ketika masuk gedung DPR harus diperiksa identitas media asal.

Setelah urusan selesai, saya pun pesan taksi. Secara saya belum mengerti banyak soal Jakarta,jadi k untungnya ditemani Mbak Puput. Taksi pun datang dan saya pun meluncur menuju Jakarta Pusat, dimana para rakyat berkemah, loh. Macet jalanan pun sudah biasa bagi saya. Tapi yang gak biasa, harga taksinya itu. Mahalnya oke bangat. Sekitar 20 menit dalam perjalanan, saya pun sampai di depan gedung DPR.

Untuk masuk gedung DPR, saya terpaksa harus memutar dan lewat pintu belakang. Karena di gerbang depan masih terlihat kemahan terpal para rakyat. Berdasarkan informasi di media online Kompas.com, Tenda itu sudah dibangun sejak pertengahan Desember 2011. Saat itu, ratusan warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Riau, menduduki depan Gedung DPR untuk meminta pemerintah segera mencabut SK izin pengelolan lahan oleh PT Riau Andalan Pullp and Paper (RAPP) di Pulau Padang.

Mirisnya, sebagian dari mereka melakukan aksi jahit mulut.Melihat kondisi tersebut, saya pribadi pun merasa prihatin. Terlebih mengingat musim hujan dan angin kencang kerap melanda Jakarta di awal tahun Naga Air ini.
***
Akhirnya, sekitar pukul 10.30, di pagi menjelang siang yang panas itu saya pun menginjakkan kaki pertama kali di gedung wakil saya, secara saya rakyat dan mereka wakil rakyat. Kawasan gedung Senayan terlihat rapi dan mentereng. Kesibukan terjadi di setiap sisi gedung tersebut. Terlebih dengan kesibukan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik yang mau meliput Sidang Paripurna Pembukaan awal tahun 2012.

Suara pidato Marzuki Ali terdengar jelas. Di beberapa sisi terlihat TV Parlemen menyiarkan langsung sidang paripurna. Di pintu masuk terlihat sebuah cafe. Namanya Bengawan Solo.“Oh itu ternyata Bengawan Solo,” pikirku mengingat kemarin Ruhut meminta saya untuk mewawancarainya di Bengawan Solo.

Karena masih memiliki waktu, saya pun langsung masuk ke gedung Nusantara II untuk melihat langsung sidang paripurna. Setelah di periksa dua tahap, saya pun sampai di lantai dua. Lobi khusus wartawan untuk meliput langsung sidang paripurna. Dari lantai dua ini, terlihat jelas bangku-bangku kosong para anggota DPR yang tidak hadir. Terlihat jelas juga dari atas apa saja yang mereka kerjakan. Ada yang memainkan handphone, mengetik di laptop dan membaca majalah. Tapi, saya tidak melihat anggota dewan yang memainkan Ipad. Jadi teringat kasus anggota dewan yang membuka gambar/video porno di tengah sidang berlangsung. “Mungkin mereka kapok dengan musibah temannya dari Partai Berjenggot,” pikir saya.

Ruangan di sidang paripurna cukup besar. Kursi anggota dewan terkelompokkan berdasarkan fraksi atau partai. Diantaranya, ada fraksi Partai Demokrat, PDIP, PKS, PKB, Golkar dan lainnya. Di bagian depan terlihat pimpinan DPR beserta wakilnya. Dari enam kursi tersebut, terlihat di tengah ada Marzuki Ali yang serius membacakan pidato awal tahunnya. Lucunya, ketika pidato hampir di tutup barulah para anggota DPR berinterupsi. Mereka berebutan untuk berbicara. Berebutan untuk di sorot kamera wartawan. Walaupun memang mereka mengajukan pendapat yang aktual akan kondisi bangsa saat ini. Mulai dari kasus pembantai Mesuji, kasus Syiah Sunni di Sampang, dan kasus GKI Taman Yasmin. Masih banyak lagi, mengingat setiap fraksi mendapatkan jatah berbicara satu orang.

Salah seorang wartawan di belakang saya berceletuk, “Tumben pak ketua sekarang bijak.”

Di tengah usulan untuk berbicara, saya mendengar interupsi seorang anggota dewan yang menyoroti permasalahan “Bumi Perkemahan Senayan” dan “cipratan air” renovasi toilet gedung DPR senilai 2 miliar rupiah. Interupsi kali ini mendapat sambutan tepuk tangan para anggota dewan. Saya pribadi bingung, mengapa mereka bertepuk tangan? Mungkin interupsinya berbobot.

Setelah interupsi selesai, giliran pimpinan Marzuki yang menanggapi. Untuk Bumi Perkemahan Senayan, ia meminta pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk segera menyelesaikannya. Sedangkan untuk renovasi toilet, Marzuki pun menjelaskan bahwa renovasi ini berangkat dari keluhan anggota dewan sendiri. Tapi sekarang kok dipertanyakan. “Ini kan kerjaan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR yang berdasarkan keluhan para anggota,” ujarnya menjawab.

Setelah saya lihat sendiri, toilet di gedung DPR masih sangat layak pakai. Masih rapi dan kinclong. Terlebih petugas kebersihan selalu siap mengepel dan membersihkan toilet. Lalu toilet mana yang harus direnovasi? “Mungkin toilet rakyat di “Bumi Perkemahan Senayan” di depan gedung DPR,” ujar saya dalam hati.

Tapi, ada hal yang bisa saya ambil pelajaran. Pertama, para anggota dewan sangat pintar dan sistematis dalam menyampaikan pendapat dalam sidang. Dan kedua, mereka sangat pandai bermain kata dan berargumen. Menurut saya, kedua hal tersebutlah yang harus dimiliki oleh rakyat agar tidak diperbodoh wakilnya di Senayan. Jika tidak, rakyat akan selalu menjadi korban kesadaran-kesadaran palsu omongan wakilnya.

Sekitar pukul 12.00 WIB, ketokan tiga kali palu pimpinan DPR menutup sidang paripurna. Saya pun turun dan menuju lobi, tempat di mana para wartawan mewawancarai anggota DPR terkait berbagai macam isu permasalahan bangsa. Saya hanya mengamati. Selang beberapa menit, saya pun turun menuju gedung Nusantara I untuk bertemu Nurul Arifin di lantai 12. Setelah itu, saya mewawancarai Ruhut Sitompul di Bengawan Solo. 

Catatan Pribadi
Ditulis di Kantor Majalah Gatra, (Selasa (10/1/2011)) sembari menikmati deadline mingguan job training.