Penertiban PKL Yang Tak Kunjung Usai

“Hei, kau berjualan di sini ?” ujar salah satu oknum ketertiban umum.

“Eh, iya Pak,” ujar seorang pedagang kaki lima (PKL) di sebuah tempat keramaian di Kota Bandung. Sambil menjawab pertanyaan oknum tersebut, ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. Oknum tersebut pun pergi mencari PKL di tempat yang tidak jauh dari sana.Mencari tambahan rokok atau pun uang.

Cerita singkat di atas adalah satu diantara banyak cerita yang dikemukakan oleh Heri (bukan nama sebenarnya) tentang permasalahan rumit dan peliknya penertiban pedagang kaki lima yang berjualan di tratoar Kota Bandung.

Heri adalah pedagang kaki lima yang memarkirkan gerobaknya di kawasan Jl. Ahmad Yani Kota Bandung untuk berjualan empek-empek. Ia telah lama berjualan sebagai pedagang kaki lima. Ia pun sering berpindah-pindah tempat di beberapa kawasan di Bandung untuk berjualan menghidupi keluarganya.

Kota Bandung merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Dengan berbagai macam daya tariknya, baik di bidang pariwisata, kuliner dan pusat perbelanjaan membuat Bandung menjadi tempat yang mendapat banyak kunjungan. Pengunjung tidak hanya berasal dari daerah sekitar, seperti Jakarta. Akan tetapi, pengunjung juga banyak berasal dari luar negeri. Daya tarik Bandung tersebut juga memberikan dampak negative bagi ketertiban dan keindahan kota. Keindahan Kota Bandung mulai terusik ketika semakin menjamurnya jumlah PKL yang memadati tratoar, bahu jalan, taman-taman hijau dan ruang terbuka.

Ada beberapa daerah yang menjadi pusat keramaian dan banyak pedagang kaki lima. Kawasan ini dikenal dengan kawasan tujuh titik dan harusnya bebas PKL. Yaitu : Kawasan Pasar Baru, Jl Dalem Kaum, Jl Kepatihan, Jl Asia Afrika, Jl Otto Iskandardinata, Jl Dewi Sartika serta di kawasan Alun-alun Kota Bandung.

Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan Peraturan Daerah mengenai K3. Peraturan tersebut tercantum pada pasal 49 ayat (1) Perda nomor 11 tahun 2005 yang berbunyi: “Bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa : “berusaha atau berdagang di tratoar; badan jalan/jalan; taman;jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa izin dari waliKota dikenakan biaya paksa penegakan hokum sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan/atau sanksi administrative berupa penahan untuk sementara waktu KTP atau kartu identitas penduduk lainnya.”

Sejak 2005, Perda tersebut belum memberikan dampak bagus pada ketertiban umum akan keberadaan PKL di tratoar. Hal itu terbukti hingga sekarang ada kurang lebih 40.000 jumlah PKL di Kota Bandung. Tratoar merupakan tempat pejalan kaki dan hak publik untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, ketika PKL mulai menjamur, hak publik tidak lagi didapatkan. Hak publik yang menggunakan tratoar diambil oleh pedagang kaki lima.
Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) merupakan badan ketertiban umum yang ditunjukkan oleh pemerintah kota untuk menegakkan produk undang-undang daerah. Tentu dalam kasus bertambahnya PKL ini, Satpol PP merupakan pihak yang berwenang besar untuk menanggapi mengapa jumlah PKL bisa bertambah.

Andriani, Pelaksana Bagian Penyidik Satpol PP Kota Bandung mengungkapkan bahwa penertiban PKL merupakan permasalahan yang kompleks dan rumit. Di dalam penegakkannya, pihak Satpol PP tentunya menggunakan prosedur-prosedur yang tidak merugikan pihak-pihak lain.

“Di dalam operasional, kami lebih banyak menggunakan cara persuasif. Untuk daerah tujuh titik memang tidak memakai peringatan. Jika ada, langsung diambil dagangannya dan diserahan ke penyidik untuk di sidang. Di luar wilayah tujuh titik, kita pakai prosedur peringatan. Jika tidak bisa baru ditindak,”ujarnya.

Di dalam penertiban PKL ini, terdapat istilah mati satu tumbuh seribu. Satu PKL yang ditertibkan, timbul lagi jumlah PKL yang lebih banyak. Pada awalnya cara pengambilan gerobak dengan paksa oleh Satpol PP bertujuan sebagai shock terapi bagi PKL. Namun itu tidak berjalan efektif.

“Memang kurang efektif, tetapi jika kami lakukan dengan kekuatan penuh juga tidak efektif. Akan ada perlawanan dari PKL,” ujar Andriani.

Berdasarkan data tersebut, pada tahun 2010, Satpol PP berhasil menertibkan 322 PKL di kawasan tujuh titik.Jumlah di tahun 2010 menurun dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 520 PKL.Untuk bisa menertibkan PKL tersebut, banyak sekali tantangan yang harus dihadapai oleh pihak Satpol PP. Mulai dari penentangan dari PKL hingga pernyataan sinis.

“Sampai Jumat mah, maling aja.Kita mengerjakan pekerjaan halal malah ditertibkan,” ujar Andriani menirukan ucapan pedagang yang mengambil berkas untuk pemeriksaan.

 Pernyataan tersebut di terimanya dengan muka pedagang yang sinis. Memang sidang untuk penertiban PKL selalu dilakukan di hari Jumat di Pengadilan Negeri Bandung.

Publik yang Dilema

Tratoar merupakan tempat bagi pejalan kaki. Tratoar di buat agar pejalan kaki bisa berjalan dengan tenang dan selamat hingga tujuan. Namun, apa jadinya jika tratoar merupakan hak publik diambil oleh pedagang kaki lima untuk berjualan. Apakah ini merupakan perampasan hak publik? Akan tetapi, ada juga publik yang merasa diuntungkan dengan keberadaan PKL. Hal ini menjadi sebuah dilema.

“Tratoar dibuat kan untuk menjaga keselamatan pejalan kaki. Akan tetapi, karena tratoar digunakan oleh pedagang, saya sering berjalan kaki di jalanan. Itu membahayakan diri saya. Seharusnya, pedagang tersebut jangan dibiarkan berjualan di sana. Pemerintah kota harus menyediakan tempat bagi mereka” ujar Lani, masyarakat Kota Bandung menanggapi penyalahgunaan tratoar oleh PKL.

Ahli Pemerintahan, Ahmad Fauzan mengatakan bahwa penegakan Perda yang berkaitan dengan ketertiban umum sudah ada di tangan Satpol PP.

“Jika PKL bandel, ketertiban umum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, di dalam kinerja Satpol PP apakah betul sesuai dengan peraturan perundangan atau menindak langsung atau banyak toleransi. Sehingga akhirnya Perda ini tidak terlaksana dengan baik,” ujar Ahmad yang juga dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad.

Akan tetapi, masih ada juga publik yang setuju dengan keberadaan pedagang kaki lima. Alasannya adalah memudahkan pembeli untuk berbelanja. Pada saat ulang tahun ke 200 Kota Bandung, media massa Pikiran Rakyat mengadakan survei terhadap sekitar 1500 pembacanya akan persentase prioritas penanganan masalah Kota Bandung. Ternyata hanya 6 % dari responden yang menginginkan penertiban tratoar. 

“Dalam survei orang akan berfikir untung dan rugi.Dari segi konsumen mereka pasti mendukung. Kaki lima seperti apa, saya kira kaki lima yang tidak permanen. Saya tidak melihat signifikansi apakah ini menguntungkan dari segi konsumen atau tidak,” ujar Ahmad ketika menanggapi survei tersebut.

Usir PKL, APBD Bandung Pun Melayang

Suatu keberhasilan yang besar bisa dilihat oleh masyarakat Bandung. Itu terlihat ketika pada 6 Desember 2010, Wali Kota Bandung Dada Rosada melepas sekitar 159 pedagang dengan 304 gerobak dagangan Pedagang Kaki Lima yang biasa berjualan di seputaran Alun-Alun Kota Bandung mulai dipulangkan ke kampung halamannya. Mereka yang selama 7 tahun berjualan di tempat itu diminta untuk tak lagi berjualan dengan kompensasi pembelian gerobak dan pemberian uang hingga Rp 2 juta per orang.(tempointeraktif.com, Senin, 6 Des 2010)

Pemerintah kota merogoh kocek anggaran APBD daerah Bandung sebesar Rp 2,25 miliar untuk penertiban dan kompensasi para ratusan PKL di kawasan tujuh titik bebas PKL. Setiap PKL diberikan dana hibah sebesar 1,5 -2 juta rupiah per gerobak. Di samping itu, mereka juga diminta untuk berjanji tidak akan kembali ke Alun-Alun untuk berjualan. Proses pemulangan khusus wilayah Auln-Alun ini menghabiskan dana sebesar 500 juta rupiah.
Andriani, pelaksana bagian penyidik Satpol PP mengakui bahwa pemberian dana hibah itu benar. Dan pemberian itu diberikan langsung oleh Pemkot ke perwakilan PKL di daerah Alun-Alun.

“Dana hibah diberikan langsung pada perwakilan PKL itu sendiri. Satpol PP tidak pegang uang itu.Yang membagikannya juga dari perwakilan mereka,” ujarnya.

Jumlah pedagang kaki lima yang dipulangkan semuanya berasal dari luar Kota Bandung. Sebanyak 90% berasal dari Garut dan 10 % berasal dari daerah sekitar Bandung, seperti Ciparay, Soreang ,dan Majalaya.

“Harusnya pemerintah kita secara komprehensif harus mengkaji, bukan hanya mengganti dan mengusir,” ungkap Ahli Pemerintahan Unpad, Ahmad.

Ahmad mengatakan hal utama yang dilihat adalah ada apa dengan push factor (faktor pendorong), sehingga banyak PKL. Apalagi Kota Bandung dikelilingi oleh Kota-Kota satelit. Alasan klasikal, mereka (PKL) kekurangan uang di daerah asal. Melihat di Kota, betapa mudahnya mencari uang, sehingga mereka mudah tergiur

“Ada apa permasalahan di wilayah mereka masing- masing dan mereka dengan mudah masuk Kota.Padahal itu tidak boleh.PKL, pengemis, topeng monyet itu bukan orang Bandung. Ini yang harus diatasi bersama-sama. Jika diganti, mereka akan tetap berkutat di Kota Bandung,”ujarnya.

Butuh Keseriusan Menghadapi Masalah PKL

Penggantian gerobak atau dana hibah yang diberikan oleh Pemkot bukanlah langkah tepat untuk mengurangi jumlah PKL di Kota Bandung. APBD merupakan uang masyarakat Kota Bandung, dan diberikan pada PKL yang sebagian besar bukan orang Bandung.

Salah seorang pedagang kaki lima pun mengakui bahwa apa yang mereka lakukan (red:berjualan di tratoar) adalah salah. Namun, mereka harus berusaha mencari sesuap nasi yang halal untuk menyambung hidup diri sendiri dan keluarga.

“Butuh keseriusan untuk membahas masalah PKL ini. Kita harus melihat dari dua sisi. Masyarakat ingin jalan bisa rapi, pedagang untuk hidup dan pemerintah ingin kota bisa bersih,” ujar seorang pedagang yang tidak mau disebut namanya.

Ahli pemerintahan Unpad, Ahmad juga mengatakan bahwa melihat permasalahan kaki lima ini terkait dengan urban. Adanya teori push anda full factor. Artinya adanya masalah di daerah asal PKL dan daya tarik kota.

“Bikin kota menjadi tidak menarik. Karena menarik itulah yang membuat kaum urban banyak masuk ke kota. Selain itu, Satpol PP juga harus rajin merazia dan mengawasi. Jika sering dibersihkan, maka orang akan berfikir masuk ke Kota Bandung. Jika masih ada toleransi, ya hasilnya akan tetap seperti sekarang juga,” ujar Ahmad.

jika PKL bisa ditertibkan, tratoar akan bersih dan hak publik untuk menggunakan tratoar pun kembali. Dampak positif pun akan timbul, diantaranya kemacetan yang membuat rugi akan bisa teratasi. Kota akan menjadi lebih indah sehingga mengundang banyak pengunjung, akhirnya akan menambah pendapatan daerah Kota Bandung. Semoga harapan ini bisa terwujud.M. Diaz Bonny S

APBN Masih Dianggap Dokumen Rahasia

Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, memandang bahwa APBN masih dianggap sebagai suatu dokumen yang rahasia.

Menurut dia, masyarakat hanya bisa mengakses APBN ketika produk anggaran tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR RI.

"Tentang keterbukaan informasi kalau kita kaitkan dengan RAPBN atau APBN memang terjadi pendangkalan, pengaburan keterbukaan informasi," sebut Arif, dalam konferensi pers terkait Open Government Partnership, di Jakarta, Minggu (15/4/2012).

Ia menyebutkan, selama ini dokumen APBN dipandang sebagai hal yang rahasia ketika masih dibahas oleh pemerintah dan DPR. Baru setelah produk anggaran tersebut ditetapkan masyarakat bisa mengaksesnya.
Hal ini lantas bertentangan dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.
"Dalam UU Nomor 17 tahun 2003 bahwa anggaran negara harus dikelola secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," tambah Arif.

Berdasarkan sejumlah produk hukum tersebut, keterbukaan informasi terkait APBN itu seharusnya dimulai dari proses pembahasan hingga pada produk APBN itu ditetapkan.

Maksudnya, produk APBN bisa diakses untuk mendorong partisipasi publik dalam proses pembahasan.
"Tapi faktanya RAPBN yang dibahas oleh pemerintah dan DPR itu masih dianggap sebagai dokumen rahasia. Ada pengaburan tentang makna semata informasi itu hanya ketika produk ditetapkan," tegas dia.

"Jadi saya kira sebenarnya ada pendangkalan pemaknaan tentang substansi keterbukaan informasi. Itu mengalami pengaburan," pungkas Arif.

Bank Mandiri, Solusi Kehidupan Mandiri Anda

Semakin tingginya permintaan layanan keuangan dari masyarakat Indonesia, mengharuskan dunia perbankan kompetitif dalam memberikan keunggulan dalam pelayanan. Data Bank Dunia menunjukkan 56,5 persen dari 237 juta penduduk Indonesia adalah kelas menengah. Semakin tumbuhnya kelas menengah, tentunya memberikan peluang besar bagi produk perbankan.

Sebagai salah satu bank ternama dan terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, Bank Mandiri telah memberikan layanan  terdepan, terpercaya bagi konsumennya. Tentunya dengah harapan Bank Mandiri dapat tumbuh dan mewujudkan masa depan bersama Anda.

Demi memberikan pelayanan maksimal, Bank Mandiri dalam layanan distrubusinya telah dilengkapi jaringan Electronic Data Capture, Electronic Channels yang meliputi Mandiri Mobile, Internet Banking, SMS Banking dan Call Center 14000. Dengan pelayanan tersebut, pengguna Bank Mandiri telah memeroleh banyak kemudahan dalam setiap kebutuhan dalam hidup. Bagi Anda yang masih bingung memilih layanan perbankan, segera putuskan bahwa Bank Mandiri-lah yang selama ini Anda dambakan.

Dengan kehidupan mandiri Anda, Bank Mandiri memberikan kemudahan bagi Anda dengan mandiri tabungan. Hanya dengan setoran awal sebesar Rp 500.000,- Anda akan memiliki rekening tabungan diseratai Kartu Mandiri Debit yang bisa digunakan untuk berbelanja di merchant-merchant tertentu. Fasilitas ATM Mandiri, SMS banking, Internet banking dan Mandiri Call 14000 akan senantiasa memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi transaksi keuangan Anda.

Tak puas dengan mandiri tabungan, Anda pun bisa membuat mandiri kartu kredit. Dengan layanan ini, aktivitas belanja Anda tidak akan terkendala lagi permasalahan keuangan. Anda akan menikmati transaksi pembelanjaan atau penarikan tunai di seluru merchant berlogo Visa atau ATM berlogo Plus dan Mastercard.

Bank Mandiri pun juga semakin memberikan kemudahan dalam pelayanannya terkait kebutuhan uang secara cepat dan dalam jumlah besar. Diantaranya, mandiri kredit tanpa agunan (KTA) ini merupakan kartu kredit perorangan tanpa agunan dari Bank Mandiri untuk berbagai keperluan. Mandiri KTA ini  diberikan kepada calon debitur yang memenuhi persyaratan, diantarnya calon dibetur harus sudah bekerja dan memiliki penghasilan. Mandiri KTA ini tentunya memberikan keuntungan besar bagi penggunanya, yaitu cicilan ringan, tanpa agunan, dan limit kredit hingga Rp 200 juta. Pastinya layanan ini akan memudahkan keuangan mandiri anda. Terlebih mandiri kta ini memberikan perlindungan asuransi jiwa bagi penggunanya

Selanjutnya, tentunya Anda tak ingin bukan mimpi Anda gagal terwujud di masa depan karena terbentur masalah keuangan? Mandiri Tabungan Rencana solusinya. Anda bisa menggunakan mandiri tabungan rencana ini jika ingin mewujudkan mimpi Anda di masa mendatang. Mandiri tabungan rencana ini dalam valuta rupiah dan US Dollar. Anda bisa mengatur jangka waktu dan mendapat perlindungan asuransi gratis plus bunga relatif tinggi dari layanan ini.

Terakhir ini adalah sebuah layanan dari bank mandiri yang sesuai untuk Anda yang ingin memiliki rumah tapi terbentur masalah keuangan. Ya, Mandiri KPR. Layanan ini adalah kredit pemilikan rumah dari bank mandiri yang diberikan pada perorangan dengan proses cepat, mudah dan suku bunga kompetitif. Bagi Anda yang membutuhkan rumah tinggal/apartemen/ruko/rukan yang dijual melalui developer atau non depelover, Mandiri KPR lah solusinya. Dengan uang muka ringan dan jangka waktu fleksibel hingga 15 tahun, mimpi Anda untuk memiliki rumah akan segera terwujud.

Nah tunggu apalagi, pastinya Anda sudah memahami beberapa keunggulan dari Bank Mandiri. Segera wujudkan mimpi Anda dengan Bank Mandiri. Kehidupan mandiri Anda akan  menjadi kenyataan. Selamat bergabung dengan Bank Mandiri.


*tulisan ini diikutsertakan dalam lomba #blogbankmandiri

 



Pentingkah Sinergitas Jurnalis dan Masyarakat?

Baru-baru ini, Rabu 6/2, Manajer Program Media dan Informasi Yayasan TIFA, R.Kristiawan melontarkan pernyataan bawah saat ini banyak media di Indonesia yang tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas demokrasi. "Mirisnya, malahan media itu mengancam demokrasi itu sendiri," ujarnya pada diskusi publik "Tirani Media Menghadapi Pemilu 2014" seperti yang diberitakan Gatra.com 

Lebih lanjut, Kris berpendapat adanya kesalahpahaman dalam mengartikan reformasi kemerdekaan media sejak 1994. Menurutnya, reformasi itu hanya dipahami pada dimensi liberalisasi politik. Seharusnya dimensi liberalisasi ekonomi juga harus dipikirkan mengingat adanya koridor profit. Terlebih saat ini para pemilik media lebih mengutamakan ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Kita bersama mahfum, pemilu 2014 semakin dekat. Aksi gerak cepat partai politik memikat perhatian publik semakin terlihat, terlebih di media massa. Negeri ini sempat dihebohkan dengan bergabungnya Hary Tanoesudibyo (pengusaha media MNC Group) ke Partai Nasdem besutan Surya Paloh (pemilik Media Group dan sekarang Ketua Umum Partai Nasdem).

 Masyarakat Indonesia lega, ketika ada perpecahan visi antara Hary Tanoe dan Surya Paloh yang berujung pada keluarnya bos MNC Group dari Partai Nasdem. Selain isu panas MNC Group dan Media group tadi, permasalahan di dunia media massa semakin terus terjadi. Lihat kasus Luviana, jurnalis televisi berita di negeri ini yang menjadi korban pemilik media. Selain itu, framing berita dan konstruksi realitas yang tidak seimbang kerap terjadi di media massa demi saling sindir dan menjatuhkan kelompok lain.

Saya sepakat dengan pernyataan Kris yang mengungkapkan bahwa para jurnalis yang memprakarsai proses demokratisasi akhirnya menjadi korban liberalisasi ekonomi. Terlebih dengan posisi jurnalis yang masih lemah, sehingga mereka harus siap menghadapi tekanan dan pengaruh dari pemilik media yang bertendensi politik dalam melaksanakan fungsinya.

Jurnalis sejatinya sama dengan pekerjaan yang lain. Namun, profesi jurnalis yang terhimpun dalam konstruksi PERS memiliki kesempatan (katanya) sebagai kontrol sosial. Pers dikenal sebagai pilar keempat demokrasi dan memiliki fungsi sebagai watchdog bagi  kekuasaan.Dalam menjalankan fungsinya, jurnalis sama saja dengan buruh di perusahaan lain yang harus tunduk pada pemilik modal/pengusaha. 

Seberapa hebatnya jurnalis dan memiliki idealisme tinggi untuk kepentingan publik, ia tetaplah buruh yang memiliki 'hutang' pekerjaan bagi pemiliki modal.Lihat saja, permasalahan kesejahteraan di beberapa media di negeri ini masih menjadi sorotan utama beberapa organisasi jurnalis. Rendahnya apresiasi pemilik media, persaingan media nan kompetitif, dan tidak kompaknya jurnalis dalam membela haknya membuat pekerjaan jurnalis masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Secara tidak langsung, setiap pribadi jurnalis mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengontrol proses demokrasi di negeri ini. Tapi apa daya,  tingginya posisi tawar pemilik media yang ikut berpolitik membuat pribadi jurnalis sesekali (sering) melepaskan baju idealisme.

"Bohong, jika ada jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik." Ungkapan itu bisa saja muncul karena media saat ini bekerja untuk memperoleh banyak iklan dan tentunya bermuara pada terkumpulnya modal yang besar. Saya pikir, itulah apa yang disebut Kris tadi ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Jurnalis Butuh Masyarakat

Jurnalis sejatinya warga sipil yang tidak memiliki kewenangan besar dalam mengontrol warga lain. Tidak seperti pemerintah yang bertindak sebagai penguasa dan berkuasa. Sejatinya jurnalis tak ada bedanya dengan masyarakat yang selama ini menjadi sumber-sumber informasi.

Dengan tidak adanya perbedaan antara jurnalis dan masyarakat, sudah sepatutnyalah jurnalis dan masyarakat bahu membahu saling membantu dalam mengawal perjalanan demokrasi di negeri ini. Semakin tingginya kekuasaan pemilik media atas jurnalis, masyarakat sebagai pihak yang dipentingkan oleh jurnalis harus ikut berperan aktif dalam menghadapi kekuasaan pemilik media.

Saya ingin mencontohkan, beberapa kasus kekerasan dan pembunuhan atas jurnalis hingga saat ini belum dituntaskan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Intimidasi yang dialami beberapa jurnalis kerap terjadi ketika jurnalis membeberkan fakta-fakta penguasa korup. Ya, hal ini bisa dikatakan sebagai usaha bagi kepentingan masyarakat. Sayangnya, ketika jurnalis dalam masalah, masyarakat seolah-olah tidak peduli nasib malang yang menimpa pelayan informasinya.

Rendahnya hubungan antara jurnalis dan masyarakat luas, menyebabkan penguasa dan pengusaha semena-mena memanfaatkan sumber daya di negeri ini. Kapitalisasi terus berkembang di atas ideologi oportunis yang katanya sering disusupi pihak asing. Jika ini dibiarkan, ya dampaknya akan seperti saat ini. Media massa akan terus berkembang ke arah ideologi profit, jurnalis menjadi alat palsu keberpihakan terhadap publik.

Untuk itu, di tengah uforia demokrasi, saya menilai pentingnya sinergitas masyarakat dan jurnalis dalam menghadapi kapitalisasi pemilik media (pengusaha) dan penguasa (pemerintah). Persatuan keduanya akan menguatkan posisi rakyat di mata penguasa, dan posisi insan media/jurnalis sebagai pelayan informasi bagi masyarakat luas dan pengawas demokrasi. Tentunya dibutuhkan niat baik dari setiap pihak demi tercapainya tujuan bangsa negara ini, yakni kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur.

Cinta Keluarga ala Presiden SBY








Dibalik hingar bingar dunia perpolitikan Indonesia, ternyata sebuah pelajaran penting bisa kita petik dari presiden kita, SBY. Di tengah kesibukannya mengurusi negeri yang sedang berpesta demokrasi ini, SBY secara implisit mengajarkan pada rakyatnya akan pentingnya mencintai keluarga.

sumber ilustrasi
Siapa yang menyangkal bahwasannya keluarga adalah surga kecil anugerah Tuhan Kuasa di dunia ini. Di dalam keluarga setiap pribadi hebat mulai dibentuk, dibesarkan, dirawat dan dijaga. Di dalam keluarga, setiap cinta dan kasih sayang mulai diperkenalkan dan meresap dalam setiap sanubari anak manusia.

Belakangan ini, ditengah hebohnya kasus korupsi yang melanda politisi dan partai politik, isu kejanggalan surat pemberitahuan pajak (SPT) SBY dan keluarganya bocor ke publik. Melalui sebuah koran Indonesia berbahasa Inggris, dipaparkan bahwa tagihan pajak SBY dan keluarganya tidak masuk akal bila dibandingkan dengan gajinya.