Penertiban PKL Yang Tak Kunjung Usai

“Hei, kau berjualan di sini ?” ujar salah satu oknum ketertiban umum.

“Eh, iya Pak,” ujar seorang pedagang kaki lima (PKL) di sebuah tempat keramaian di Kota Bandung. Sambil menjawab pertanyaan oknum tersebut, ia pun mengeluarkan sebungkus rokok. Oknum tersebut pun pergi mencari PKL di tempat yang tidak jauh dari sana.Mencari tambahan rokok atau pun uang.

Cerita singkat di atas adalah satu diantara banyak cerita yang dikemukakan oleh Heri (bukan nama sebenarnya) tentang permasalahan rumit dan peliknya penertiban pedagang kaki lima yang berjualan di tratoar Kota Bandung.

Heri adalah pedagang kaki lima yang memarkirkan gerobaknya di kawasan Jl. Ahmad Yani Kota Bandung untuk berjualan empek-empek. Ia telah lama berjualan sebagai pedagang kaki lima. Ia pun sering berpindah-pindah tempat di beberapa kawasan di Bandung untuk berjualan menghidupi keluarganya.

Kota Bandung merupakan salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Dengan berbagai macam daya tariknya, baik di bidang pariwisata, kuliner dan pusat perbelanjaan membuat Bandung menjadi tempat yang mendapat banyak kunjungan. Pengunjung tidak hanya berasal dari daerah sekitar, seperti Jakarta. Akan tetapi, pengunjung juga banyak berasal dari luar negeri. Daya tarik Bandung tersebut juga memberikan dampak negative bagi ketertiban dan keindahan kota. Keindahan Kota Bandung mulai terusik ketika semakin menjamurnya jumlah PKL yang memadati tratoar, bahu jalan, taman-taman hijau dan ruang terbuka.

Ada beberapa daerah yang menjadi pusat keramaian dan banyak pedagang kaki lima. Kawasan ini dikenal dengan kawasan tujuh titik dan harusnya bebas PKL. Yaitu : Kawasan Pasar Baru, Jl Dalem Kaum, Jl Kepatihan, Jl Asia Afrika, Jl Otto Iskandardinata, Jl Dewi Sartika serta di kawasan Alun-alun Kota Bandung.

Pada tahun 2005, Pemerintah Kota Bandung mengeluarkan Peraturan Daerah mengenai K3. Peraturan tersebut tercantum pada pasal 49 ayat (1) Perda nomor 11 tahun 2005 yang berbunyi: “Bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa : “berusaha atau berdagang di tratoar; badan jalan/jalan; taman;jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa izin dari waliKota dikenakan biaya paksa penegakan hokum sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dan/atau sanksi administrative berupa penahan untuk sementara waktu KTP atau kartu identitas penduduk lainnya.”

Sejak 2005, Perda tersebut belum memberikan dampak bagus pada ketertiban umum akan keberadaan PKL di tratoar. Hal itu terbukti hingga sekarang ada kurang lebih 40.000 jumlah PKL di Kota Bandung. Tratoar merupakan tempat pejalan kaki dan hak publik untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, ketika PKL mulai menjamur, hak publik tidak lagi didapatkan. Hak publik yang menggunakan tratoar diambil oleh pedagang kaki lima.
Satuan Kepolisian Pamong Praja (Satpol PP) merupakan badan ketertiban umum yang ditunjukkan oleh pemerintah kota untuk menegakkan produk undang-undang daerah. Tentu dalam kasus bertambahnya PKL ini, Satpol PP merupakan pihak yang berwenang besar untuk menanggapi mengapa jumlah PKL bisa bertambah.

Andriani, Pelaksana Bagian Penyidik Satpol PP Kota Bandung mengungkapkan bahwa penertiban PKL merupakan permasalahan yang kompleks dan rumit. Di dalam penegakkannya, pihak Satpol PP tentunya menggunakan prosedur-prosedur yang tidak merugikan pihak-pihak lain.

“Di dalam operasional, kami lebih banyak menggunakan cara persuasif. Untuk daerah tujuh titik memang tidak memakai peringatan. Jika ada, langsung diambil dagangannya dan diserahan ke penyidik untuk di sidang. Di luar wilayah tujuh titik, kita pakai prosedur peringatan. Jika tidak bisa baru ditindak,”ujarnya.

Di dalam penertiban PKL ini, terdapat istilah mati satu tumbuh seribu. Satu PKL yang ditertibkan, timbul lagi jumlah PKL yang lebih banyak. Pada awalnya cara pengambilan gerobak dengan paksa oleh Satpol PP bertujuan sebagai shock terapi bagi PKL. Namun itu tidak berjalan efektif.

“Memang kurang efektif, tetapi jika kami lakukan dengan kekuatan penuh juga tidak efektif. Akan ada perlawanan dari PKL,” ujar Andriani.

Berdasarkan data tersebut, pada tahun 2010, Satpol PP berhasil menertibkan 322 PKL di kawasan tujuh titik.Jumlah di tahun 2010 menurun dibandingkan tahun 2009 yang berjumlah 520 PKL.Untuk bisa menertibkan PKL tersebut, banyak sekali tantangan yang harus dihadapai oleh pihak Satpol PP. Mulai dari penentangan dari PKL hingga pernyataan sinis.

“Sampai Jumat mah, maling aja.Kita mengerjakan pekerjaan halal malah ditertibkan,” ujar Andriani menirukan ucapan pedagang yang mengambil berkas untuk pemeriksaan.

 Pernyataan tersebut di terimanya dengan muka pedagang yang sinis. Memang sidang untuk penertiban PKL selalu dilakukan di hari Jumat di Pengadilan Negeri Bandung.

Publik yang Dilema

Tratoar merupakan tempat bagi pejalan kaki. Tratoar di buat agar pejalan kaki bisa berjalan dengan tenang dan selamat hingga tujuan. Namun, apa jadinya jika tratoar merupakan hak publik diambil oleh pedagang kaki lima untuk berjualan. Apakah ini merupakan perampasan hak publik? Akan tetapi, ada juga publik yang merasa diuntungkan dengan keberadaan PKL. Hal ini menjadi sebuah dilema.

“Tratoar dibuat kan untuk menjaga keselamatan pejalan kaki. Akan tetapi, karena tratoar digunakan oleh pedagang, saya sering berjalan kaki di jalanan. Itu membahayakan diri saya. Seharusnya, pedagang tersebut jangan dibiarkan berjualan di sana. Pemerintah kota harus menyediakan tempat bagi mereka” ujar Lani, masyarakat Kota Bandung menanggapi penyalahgunaan tratoar oleh PKL.

Ahli Pemerintahan, Ahmad Fauzan mengatakan bahwa penegakan Perda yang berkaitan dengan ketertiban umum sudah ada di tangan Satpol PP.

“Jika PKL bandel, ketertiban umum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, di dalam kinerja Satpol PP apakah betul sesuai dengan peraturan perundangan atau menindak langsung atau banyak toleransi. Sehingga akhirnya Perda ini tidak terlaksana dengan baik,” ujar Ahmad yang juga dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad.

Akan tetapi, masih ada juga publik yang setuju dengan keberadaan pedagang kaki lima. Alasannya adalah memudahkan pembeli untuk berbelanja. Pada saat ulang tahun ke 200 Kota Bandung, media massa Pikiran Rakyat mengadakan survei terhadap sekitar 1500 pembacanya akan persentase prioritas penanganan masalah Kota Bandung. Ternyata hanya 6 % dari responden yang menginginkan penertiban tratoar. 

“Dalam survei orang akan berfikir untung dan rugi.Dari segi konsumen mereka pasti mendukung. Kaki lima seperti apa, saya kira kaki lima yang tidak permanen. Saya tidak melihat signifikansi apakah ini menguntungkan dari segi konsumen atau tidak,” ujar Ahmad ketika menanggapi survei tersebut.

Usir PKL, APBD Bandung Pun Melayang

Suatu keberhasilan yang besar bisa dilihat oleh masyarakat Bandung. Itu terlihat ketika pada 6 Desember 2010, Wali Kota Bandung Dada Rosada melepas sekitar 159 pedagang dengan 304 gerobak dagangan Pedagang Kaki Lima yang biasa berjualan di seputaran Alun-Alun Kota Bandung mulai dipulangkan ke kampung halamannya. Mereka yang selama 7 tahun berjualan di tempat itu diminta untuk tak lagi berjualan dengan kompensasi pembelian gerobak dan pemberian uang hingga Rp 2 juta per orang.(tempointeraktif.com, Senin, 6 Des 2010)

Pemerintah kota merogoh kocek anggaran APBD daerah Bandung sebesar Rp 2,25 miliar untuk penertiban dan kompensasi para ratusan PKL di kawasan tujuh titik bebas PKL. Setiap PKL diberikan dana hibah sebesar 1,5 -2 juta rupiah per gerobak. Di samping itu, mereka juga diminta untuk berjanji tidak akan kembali ke Alun-Alun untuk berjualan. Proses pemulangan khusus wilayah Auln-Alun ini menghabiskan dana sebesar 500 juta rupiah.
Andriani, pelaksana bagian penyidik Satpol PP mengakui bahwa pemberian dana hibah itu benar. Dan pemberian itu diberikan langsung oleh Pemkot ke perwakilan PKL di daerah Alun-Alun.

“Dana hibah diberikan langsung pada perwakilan PKL itu sendiri. Satpol PP tidak pegang uang itu.Yang membagikannya juga dari perwakilan mereka,” ujarnya.

Jumlah pedagang kaki lima yang dipulangkan semuanya berasal dari luar Kota Bandung. Sebanyak 90% berasal dari Garut dan 10 % berasal dari daerah sekitar Bandung, seperti Ciparay, Soreang ,dan Majalaya.

“Harusnya pemerintah kita secara komprehensif harus mengkaji, bukan hanya mengganti dan mengusir,” ungkap Ahli Pemerintahan Unpad, Ahmad.

Ahmad mengatakan hal utama yang dilihat adalah ada apa dengan push factor (faktor pendorong), sehingga banyak PKL. Apalagi Kota Bandung dikelilingi oleh Kota-Kota satelit. Alasan klasikal, mereka (PKL) kekurangan uang di daerah asal. Melihat di Kota, betapa mudahnya mencari uang, sehingga mereka mudah tergiur

“Ada apa permasalahan di wilayah mereka masing- masing dan mereka dengan mudah masuk Kota.Padahal itu tidak boleh.PKL, pengemis, topeng monyet itu bukan orang Bandung. Ini yang harus diatasi bersama-sama. Jika diganti, mereka akan tetap berkutat di Kota Bandung,”ujarnya.

Butuh Keseriusan Menghadapi Masalah PKL

Penggantian gerobak atau dana hibah yang diberikan oleh Pemkot bukanlah langkah tepat untuk mengurangi jumlah PKL di Kota Bandung. APBD merupakan uang masyarakat Kota Bandung, dan diberikan pada PKL yang sebagian besar bukan orang Bandung.

Salah seorang pedagang kaki lima pun mengakui bahwa apa yang mereka lakukan (red:berjualan di tratoar) adalah salah. Namun, mereka harus berusaha mencari sesuap nasi yang halal untuk menyambung hidup diri sendiri dan keluarga.

“Butuh keseriusan untuk membahas masalah PKL ini. Kita harus melihat dari dua sisi. Masyarakat ingin jalan bisa rapi, pedagang untuk hidup dan pemerintah ingin kota bisa bersih,” ujar seorang pedagang yang tidak mau disebut namanya.

Ahli pemerintahan Unpad, Ahmad juga mengatakan bahwa melihat permasalahan kaki lima ini terkait dengan urban. Adanya teori push anda full factor. Artinya adanya masalah di daerah asal PKL dan daya tarik kota.

“Bikin kota menjadi tidak menarik. Karena menarik itulah yang membuat kaum urban banyak masuk ke kota. Selain itu, Satpol PP juga harus rajin merazia dan mengawasi. Jika sering dibersihkan, maka orang akan berfikir masuk ke Kota Bandung. Jika masih ada toleransi, ya hasilnya akan tetap seperti sekarang juga,” ujar Ahmad.

jika PKL bisa ditertibkan, tratoar akan bersih dan hak publik untuk menggunakan tratoar pun kembali. Dampak positif pun akan timbul, diantaranya kemacetan yang membuat rugi akan bisa teratasi. Kota akan menjadi lebih indah sehingga mengundang banyak pengunjung, akhirnya akan menambah pendapatan daerah Kota Bandung. Semoga harapan ini bisa terwujud.M. Diaz Bonny S

1 komentar:

  1. Awalnya aku hanya mencoba2 bertogel akibat adanya hutang yang sangat banyak dan akhirnya aku mencari jalan pintas meskipun itu dilarang agama ,apa boleh buat nasi sudah jadi bubur,dan akhirnya aku menemukan seorang dukun.yang ternyata alhamdulillah dengan seisin gusti Allah dengan lantaran OM AGUS aku dapat mengubah hidup yang jauh lebih baik berkat bantuan OM AGUS dgn waktu yang singkat aku sudah membuktikan namanya keajaiban satu hari bisa merubah hidup ,sawdara bisa membuktikan sendiri silahkan hubungi OM AGUS di no (085-397-766-615) yg penting anda yakin dan percaya dan jgn samakan dgn peramal yg lainnya seperti ki ronggeng,mba sugem ki nugroho mba jombrang dll.saya sdh berkali2 menghubungi peramal yg lainnya seperti aki2 dan mba2.tapi cuma mengecewakan saya dan menipu saya.tapi kali ini saya sudah betul2 percaya bahwa peramal asli itu memang betul memang ada yaitu OM AGUS.insya allah OM AGUS tdk mengecewakan anda.terima kasih yg punya ROOM

    BalasHapus