Lika-liku Gender di Parlemen


Bicara wacana kesetaraan gender tak ada habisnya. Terlepas itu wacana teologis atau pun antropologis. Wacana ini pun semakin hangat diperbincangkan di Indonesia: perwakilan 30% perempuan di parlemen republik ini.

Di tengah hiruk pikuk dunia perpolitikan di Indonesia, isu keterwakilan perempuan di parlemen tetap tenang. Terlebih anggota parlemen yang notabennya anggota partai politik sibuk mengurusi masalah-masalah mengenai ambang batas (parliamentary threshold), sistem pemilu yang terbuka atau tertutup, atau soal lainnya berkaitan jumlah kursi dalam setiap daerah pemilihan.

Dari perjalanan panjang republik ini, patut diakui keterwakilan perempuan di parlemen mengalami peningkatan. Walaupun belum pernah menyentuh angka 30%. Untuk periode awal, (1950-1955) DPR Sementara, tercatat 3,8% perwakilan perempuan. Data terakhir, untuk periode (2009-2014), keterwakilan perempuan menyentuh angka 18% atau 101 perempuan dan 459 laki-laki.

Rendahnya tingkat keterwakilan perempuan di parlemen tidak hanya terjadi di Indonesia. Secara global, tingkat keterwakilan perempuan belum pernah mencapai lebih dari 50%. Menurut data Women National Parliements 2007, Swedia, negara di seberang laut Baltik ini telah mengirimkan perempuan ke parlemen hingga 47,3%. Tak jauh berbeda dengan negara sebelah utaranya, Finlandia sebesar 42%.

Urgensi Perempuan di Parlemen

Sebagai negara berkembang di berbagai lini kehidupan, peran serta perempuan di parlemen Indonesia sangatlah penting. Keterwakilan itu tidak hanya berbicara mengenai kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Tidak juga terhenti pada persepi para feminis yang menganggap ketimpangan itu semata-mata sebagai konstruksi masyarakat (social construction). Atau pandangan teologis yang melihat ketimpangan gender sebagai divine creation, segalanya bersumber dari Tuhan.Tapi ada hal yang lebih urgent, yaitu kesinambungan hidup bangsa dan negara ini.

Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh didikan orang tua, terlebih oleh ibu. Apa jadinya, jika perempuan pendidikan generasi muda negeri ini masih berada dalam posisi minoritas di parlemen. Siapa yang akan mengajukan legislasi-legislasi yang berpihak pada perempuan. Seperti yang kita ketahui pula, hampir 90% tenaga kerja Indonesia di luar negeri adalah perempuan. Jika tidak ada keseriusan dari perwakilan perempuan di parlemen, tentunya masalah-masalah terhadap TKW akan terus berlanjut. Dan masih banyak permasalahan perempuan: human trafficking, KDRT, dan sebagainya/

Di samping itu, Rabu 1 Feburari 2012, telah diumumkan Pemenang Indonesia Millenium Development Goals (MDGs) Awards. Namun, ada catatan beberapa program yang belum tercapai, yaitu Sanitasi, Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), dan Penyakit Menular HIV-AIDS. Hal yang sangat memberikan dampak besar adalah permasalahan Kesehatan Ibu dan Anak. Betapa tidak, dengan luasnya negeri ini dan begitu banyak daerah-daerah tertinggal membuat program ini sulit terlaksana. Perempuan di daerah pelosok misalkan lebih produktif dalam menambah generasi. Mengingat juga hiburan di sana kurang. Terlebih pengetahuan kaum pria sebatas penggunaan otot.

Melihat urgenitas itulah keterwakilan perempuan perlu diperjuangkan di parlemen. Tentunya bukan tugas kaum perempuan semata, kaum pria pun harus berjuang untuk itu. Preseden buruk akan beberapa perempuan koruptor di parlemen janganlah menyurutkan cita-cita 30% keterwakilan perempuan. Sikap anggota perempuan parlemen yang cenderung diam hendaklah menjadi evaluasi. Jika tidak,mengutip ungkapan anggota DPR RI, “Lebih baik memiliki hanya satu perempuan dalam satu komisi asal setiap laki-laki memperjuangkan kepentingan perempuan, ketimbang banyak perempuan namun hanya diam dan tidak pernah mengemukakan pendapatnya.”

Oleh karenanya, mari kita saksikan persiapan kaum perempuan menuju parlemen 2014. Apakah ada usaha revolusioner, atau suara perempuan tak terafirmasi terbenam suara kepentingan partai politik. Tunggu saja!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar