Pemerintah Belajar Bakar BBM

Awal tahun 2012 memang kontraproduktif. Di awal tahun Naga Air ini, pemerintah justru bermain api. Kali ini, pemerintah bermain api yang sudah lama dipendam. Alasannya sederhana, bermain api untuk menyelamatkan diri.

Cerita permainan api ini di mulai ketika pemerintah kewalahan dengan jebolnya Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk mensubsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Selang dua tahun, sejak 2010 dan 2011, anggaran untuk BBM subsidi meningkat sempurna, 100 persen. Di tahun 2010, pemerintah membelanjakan sekitar Rp 82,3 triliun. Untuk 2011 belanja BBM subsidi mencapai angka Rp 165,2 triliun rupiah. Tapi, tahun ini pemerintah mau belajar untuk membakar subsidi BBM tersebut. Agar tidak semakin membakar diri tentunya.

Di tahun 2012 ini, pemerintah mengeluarkan kembali kebijakan kontroversial nan kontraproduktif. Kebijakan tersebut berisikan bahwa mulai 1 April mendatang, BBM bersubsidi akan dibatasi dan atau akan dinaikkan harganya. Kebijakan pemerintah ini tentunya sangat mengejutkan berbagai pihak. Mulai dari masyarakat, pelaku penyaluran BBM, hingga importir kaget. Betapa tidak, kebijakan pemerintah ini tidak diikuti oleh kesiapan dalam hal infrastruktur dan ekonomi masyarakat.

Berkaitan dengan kebijakan subsidi BBM selama ini, perlu dipertanyakan masyarakat mana yang menikmati subsidi tersebut? Apakah masyarakat kelas menengah ke atas atau masyarakat menengah ke bawah. Untuk masyarakat menengah ke atas sudah bisa dipastikan mereka bisa menikmati BBM Subsidi tersebut mengingat mereka memiliki kemampuan untuk membeli kendaraan bermotor. Lalu bagaimana dengan masyarakat menengah ke bawah? Jangankan untuk menikmati BBM dan membeli kendaraan, kebutuhan pokok sehari-hari pun sulit untuk dipenuhi.

Di setiap SPBU-Pertamina seringkali kita melihat ada banner panjang bertuliskan “Premium adalah BBM Bersubsidi Hanya Untuk Golongan Tidak Mampu. Terima Kasih telah menggunakan BBM Non Subsidi”. Kalimat tersebut seperti tidak bervisi dan tidak berwibawa. Hal itu disebabkan adanya kalimat “Golongan Tidak Mampu”. Apakah iya selama ini BBM Subsidi untuk mereka?

Saya ingin mengajak pembaca semua untuk melihat bagaimana BBM Subsidi itu menyentuh golongan tidak mampu. Di Sumatera, khususnya di kawasan perbatasan Sumatera Barat-Jambi, terdapat banyak desa-desa. Jangankan berbicara tentang BBM Subsidi, untuk mendapatkannya masyarakat di sana sangat sulit. Sangat jauh berbeda dengan daerah-daerah kota yang menjual BBM melalui SPBU. Tapi tidak dengan mereka di sana. Untuk mendapatkan BBM Premium saja, mereka harus membeli ke toko-toko eceran. Tentunya, harga sudah dinaikkan oleh penjual. Di pusat mungkin pemerintah menganggap harga premiun Rp 4.500 sudah sangat murah. Tapi lihat di daerah-daerah tadi, harga premium/ bensin bisa menyentuh Rp 8.000/liter. Jika pasokan terlambat, harga bisa tembus ke angka Rp 10.000/liter. Perlu diingat, sebagian besar masyarakat di sana adalah masyarakat kelompok menengah ke bawah. Atau bahasa Pemerintah, “Golongan Tidak Mampu”.


Dengan kebijakan pemerintah per 1 April mendatang, berapa harga premium yang harus ditanggung oleh masyarakat di daerah-daerah. Itu baru satu contoh. Saya tidak bisa membayangkan berapa harga premium di pedalaman Kalimantan dan Papua. Mungkin Anda bisa menginformasikannya.

Melihat kebijakan pemerintah tersebut, perlulah rasanya pemerintah untuk belajar bagaimana mengelola BBM Bersubsidi. Jangan hanya membicarakan kepentingan APBN saja. Tapi, sesuaikan dong dengan fakta-fakta di lapangan. Perlu dilihat lagi tingkat ketepatsasaran dari BBM Bersubsidi tersebut. Jangan hanya mengeluarkan kebijakan untuk menyelamatkan diri sendiri.

Kebijakan Baru

Terlepas apakah BBM Bersubsidi itu tepat sasaran atau tidak, kita juga perlu membicarakan bahwa pemerintah harus kreatif dan inovatif. Kenaikan  harga BBM memang sangat dipengaruhi oleh situasi politik ekonomi internasional. Mengingat negeri kita adalah negeri kaya, apakah tidak ada cara lain untuk mengatasi keterbatasan energi?

Mari kita lihat energi matahari dan energi gas alam. Apakah kedua energi tersebut belum bisa dimanfaatkan? Saya mengakui bahwa kedua bentuk energi tersebut sudah ada dimanfaatkan di Indonesia. Mirisnya, pemerintah belum kreatif untuk menjadikan kedua bentuk energi tersebut menjadi energi nasional. Pemerintah selalu terpaku pada energi minyak yang kian menipis.

Selain mencari alternatif energi baru, perlu rasanya pemerintah untuk merevisi kembali industrialisasi kendaraan bermotor di negeri ini. Betapa tidak, pemerintah seperti tidak mengontrol masuknya kendaraan bermotor, sepeda motor dan mobil ke negeri ini. Dengan pajak dan bea masuk kendaraan yang rendah membuat masyarakat berlomba-lomba untuk membeli kendaraan baru.

Oleh karenanya, di tahun Naga Air ini penting bagi pemerintah untuk mempelajari kembali apa sebenarnya permasalahan BBM Subsidi. Jika BBM Subsidi tidak memungkinkan lagi, saya pikir sudahi saja. Tapi, tentunya diberikan bantuan-bantuan bagi golongan tidak mampu tadi. Dari pada membiarkan APBN  terus defisit untuk membiayai  BBM Subsidi yang sia-sia itu. Semoga pemerintah mau belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar