Ketersedian Air: Dulu, Kini dan Masa Depan

Mungkin tidak banyak orang yang menyadari bahwa Selasa, 22 Maret 2011 merupakan hari Air Sedunia (World of Water). Peringatan hari Air Sedunia ini bermula dari inisiatif Sidang Umum PBB ke 47 pada 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Tujuan utamanya, yaitu menyadarkan manusia akan pentingnya air bersih dan hemat dalam pengelolaan air yang berkelanjutan.



Tahun 2011 ini, perayaan Hari Air Sedunia mengusung tema Water for Cities, Responding to The Urban Challenge ( Air Perkotaan dan Tantangannya). Tema ini diangkat karena melihat permasalahan air di daerah perkotaan terutama terkait urbanisasi. Laju urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat meningkatkan kebutuhan air di daerah perkotaan. Sehingga air di daerah perkotaan sudah biasa merupakan komoditi yang “langka” dan mahal.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan perlu kuantitas yang memadai, di samping itu pun kualitas tidak diabaikan agar tetap menjamin kesehatan masyarakat pemakai.

Pada zaman dahulu, ketika bumi masih hijau, manusia belum sebanyak sekarang, dan perkembangan indusutri yang tidak pesat membuat persedian air melimpah. Air untuk kebutuhan sehari-hari pun mudah didapatkan.

Memang saat ini di beberapa tempat di bumi ini masih bisa mendapatkan air dengan mudah. Namun, sedikit demi sedikit ketersedian air mulai berkurang. Banyak orang yang mengatakan bahwa jumlah air relatif sama sejak awal bumi ini ada, hingga sekarang. Walaupun jumlahnya tetap sama, tetapi perlu diingat bahwa air berubah bentuk.

Lebih kurang 70% permukaan bumi ini adalah air. Apakah ini menandakan bahwa air yang memenuhi kebutuhan kita berlimpah ? Belum tentu. Sekitar 97% air di bumi adalah air asin, baru sisanya 3% adalah air tawar. Nah, selanjutnya air tawar yang berjumlah 3% tadi pun di bagi lagi menjadi es, air tanah, air permukaan, dan uap air. Tidak luput juga air yang tercemar oleh manusia. Dari sana, bisa kita bayangkan berapa persedian air yang masih bisa kita konsumsi.

Ancaman Krisis Air
Air berfungsi besar untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan minum, masak, mencuci, bercocok tanam, hingga pemenuhan kebutuhan pabrik-pabrik. Pada tahun 1930, bumi sudah ditempati sekitar 2 miliar orang. Angka 2 miliar pun semakin tahun semakin besar. Sehingga pada 2016 diperkirakan jumlah penduduk bumi sebanyak 8 miliar orang. Bisa dilihat, jumlah air di bumi relatif sama. Namun, jumlah orang yang membutuhkan air semakin lama semakin meningkat drastis.

Khususnya negara Indonesia, dalam acara Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000, disebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air. (http://www.geotek.lipi.go.id)

Tidak bisa dipungkiri bahwa ancaman krisis air bisa terjadi di Indonesia. Bisa dilihat bagaimana tingginya tingkat penggundulan hutan, siklus musim yang tidak teratur lagi, dan ada beberapa di daerah timur Indonesia yang mengalami kekeringan di musim kemarau.

Kualitas dan kuantitas air sangat dipengaruhi oleh kelesatarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah Hutan. Hutan tak kalah penting dalam memberikan ketersedian air. Ironisnya hutan yang selama ini menjadi sumber cadangan air semakin lama, semakin gundul. Pada kurang lebih 10.000 tahun lalu, muka bumi diliputi oleh hutan dan rimba seluas 6,2 miliyar hektare. Jumlah itu semakin menurun menjadi 4,1 milyar hektar pada 1989. Bisa dibayangkan betapa besarnya tempat cadangan air yang sudah punah.

Pada peringatan Hari Air Sedunia ini, (22 Maret 2011) banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghindari krisis air. Penghematan penggunaan air merupakan langkah tepat untuk menjaga ketersedian air. Untuk rencana jangka panjangnya, perlu bagi manusia di bumi ini memperhatikan lingkungan agar tetap hijau dan menjaga cadangan air. Jika langkah kecil itu bisa lakukan, maka krisis air yang sudah mengancam di mata manusia, bisa lambat laun diperlambat laju pertumbuhan krisisnya. Walaupun memang jumlah penduduk muka bumi ini semakin hari semakin bertambah. Hal terpenting adalah manusia harus tetap optimis dan tetap berkarya (kemajuan teknologi) untuk menjawab tantangan krisis air.

Berawal dari Iqra

 
 Di saat awal kenabiannya, Nabi Muhammad SAW pergi menyendiri ke Gua Hira. Ketika pulang ke rumah Khadijah untuk mengambil makanan ia pun didatangi oleh Malaikat Jibril. Jibril membawa pesan Tuhan untuk memerintahkan Rasullullah untuk membaca. Akan tetapi, beliau mengungkapkan bahwa ia tidak bisa membaca. 
Jibril pun memeluknya dan nabi pun sesak. Pada perintah ketiga, barulah Jibril mengungkapkan ayat suci Allah SWT, yaitu :
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari (sesuatu) yang melekat. Bacalah!. dan Tuhanmu Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(Al Alaq 1-5)

Sejak saat itulah, Rasulullah SAW mendapatkan pelajaran dari Allah yang berisikan firman-firman Allah melalui Jibril. Berbagai media pesan digunakan. Selain penyampaian langsung, juga melalui mimpi, dan suara.
Dari pelajaran tersebut, bisa dilihat hal pertama yang diperintahkan  pada Rasulullah adalah iqra atau membaca. Ini menandakan betapa pentingnya membaca.

Nabi Muhammad SAW membaca dengan mendapatkan langsung bimbingan Jibril. Berbeda dengan manusia lainnya yang tidak mendapat mukjizat seperti itu. Hal yang kita perlu ambil hikmahnya adalah bagaimana suatu kegiatan bernama membaca menjadi hal utama, apalagi jika dikaitkan dengan dunia tulis-menulis yang akan dibahasa pada part 2 nantinya.


Tanpa Kerangka

Sepakat kita untuk mulai berkarya. Berkarya dalam arti menghasilkan tulisan ini maksudnya, jangan kau pikirkan yang lain sayang. Tapi aku bingung untuk memulai dari mana. Tambah bingung lagi aku ketika kau sebut-sebut soal kerangka berpikir. Lalu aku putuskan saja untuk mulai dengan kerangka yang kau sebut-sebut itu.

Kerangka. Kita manusia punya kerangka buat apa? Tentu untuk menopang daging kita, bukan? Tanpa itu kita hanyalah seonggok daging yang tak berbentuk. Untuk kita bergerak juga, bukan? Tanpa itu kita hanya seonggok daging yang diam ditempat tak bergerak sampai akhirnya busuk. Juga untuk menyimpan otak kita, bukan? Tanpa itu, kita hanya seonggok daging tak berbentuk, tak bergerak, bahkan tak mampu berpikir.

Oh…

Jadi itulah gunanya sayang. Kerangka berpikir yang kau sebut-sebut tadi. Tulisanku tanpa kerangka, tetap bisa jadi tulisan, namun teronggok tak berbentuk. Jadi tulisan, namun tanpa kerangka. Diam di tempat, tak tahu kemana harus berkembang. Namun, tetap disebut tulisan. Walaupun memang maknanya tak tersampaikan.

Tulisanku ini aku tulis tanpa kerangka, bisa kau lihat? Tak berbentuk dan tak tahu mau dibawa kemana.

Felani Hayati