Menentang Formal, Berikan Solusi

Berawal dari ketidaksukaan pada pendidikan formal, Rahmad Jabaril (43) dan Ika (41) istrinya serta dibantu oleh seorang Antropolog Jerman, Artadina Mular mendirikan komunitas Taboo, di Jalan Dago Pojok, Bandung. Sejak 2004 komunitas ini berdiri, ia bersama rekan-rekannya dari ITB terus fokus mengajak siswa-siswa SD hingga SMA untuk belajar bersama. Karena ia meyakini bahwa pendidikan hakikatnya adalah belajar bersama dengan tidak adanya paksaan.

Rahmad menilai pendidikan formal selama ini menganut sistem birokratisme, vandalisme, dan pragmatisme.

“Karena tiga masalah pendidikan itu membuat manusia mengkorupkan dirinya. Seharusnya pendidkan itu membuat manusia menemukan jati dirinya,”ujarnya.

Sebuah proses pendidikan bermula dari pendidikan keluarga. Berbagai macam ilmu disampaikan oleh orang tua melalui kegiatan sehari-hari. Sopan santun dan tingkah laku yang baik juga diajarkan. Namun, keluarga tidak bisa terus-terusan untuk mengakomodasi kebutuhan anak akan pendidikan, sehingga diberikanlah pendidikan anak kepada pendidikan luar sekolah (PLS). Selanjutnya, PLS inilah yang kemudian diformalkan, seperti jenjang pendidikan SD,SMP,SMA dan Perguruan Tinggi.

Saat ini, pendidikan luar sekolah (PLS) memiliki arti tersendiri bagi masyarakat. Pendidikan luar sekolah sendiri bisa menjadi pendidikan penambah, pelengkap dan subsitusi dari pendidikan sekolah. Misalkan, lembaga les merupakan salah satu bentuk pendidikan luar sekolah yang berfungsi sebagai penambah pendidikan sekolah akan mata pelajaran.

Dengan semangat untuk mengubah paradigma masyarakat akan pendidikan luar sekolah, Rahmad dan istrinya terus berjuang. Berjuang dengan memberikan pencerahan bahwa pendidikan itu penting dan itu bisa dilakukan melalui pendidikan luar sekolah. Tidak hanya itu, Rahmad pun terang-terangan menyatakan pendidikan sekolah di Indonesia telah gagal.

“Karena pendidikannya yang tidak benar itu yang membuat kami protes pada negara. Itu yang mendorong kami membuat pendidikan komunitas,” ujarnya sambil tersenyum opitimis akan pemikirannya.

Dr. Ayi Olim, di dalam situs pribadinya www.ayiolim.wordpress.com menjelaskan bahwa pendidikan selama ini hanya bersifat kejutan, yang secara ekstrim digambarkan Botkin (1979). Pendidikan saat ini selalu dimulai dengan senyuman dan diakhiri dengan tangisan.

Padahal akar pendidikan adalah love atau kecintaan. “Kecintaan pada generasi. Oleh karenanya, setiap keluarga merindukan generasi yang lebih mumpuni dari orang tuanya.”

Dalam sistem pendidikan sekolah saat ini, setiap orang tergopoh-gopoh memasuki dunia pendidikan dengan sejuta harapan. Namun sangat disayangkan kurangnya keterlibatan emosional dalam menapaki proses pendidikan membuat orang lebih memilih jalan pintas yang berujung pada ketidakjelasan atau tangisan.
Pada dasarnya pendidikan luar sekolah memiliki tiga hal, yaitu belajar berbudaya, belajar untuk menjadi atau tidak menjadi, dan memiliki kemampuan merubah lingkungan.

“Dulu seseorang ngamen, sekarang menjadi pemain band berkelas. Itu baru bisa digolongkan pada pendidikan luar sekolah,” ujar Ayi menceritakan bagaimana contoh hasil dari pendidikan luar sekolah.

Pendidikan luar sekolah akan lebih baik di masa depan jika memberikan keterampilan yang lebih bagi peserta didik dan tidak menanamkan mental seperti buruh atau pekerja. Hal terpenting lagi adalah peserta didik bisa menjadi diri sendiri.

Untuk merealisasikan pemikiran Rahmad, berbasiskan komunitas Taboo ia pun bercita-cita akan menjadikan kampung Dago Pojok sebagai kampung wisata pendidikan dan seni.

“Tempat belajar bersama akan diperluas. Dinding dan pagar semua rumah akan dilukis oleh teman-teman seni rupa ITB. Nantinya, kampung ini akan menjadi tempat wisata seni,” ujar  pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD), Institut Teknologi Bandung. “Konsepnya sudah dibuat dan sudah ngobrol dengan RT, RW, Lurah dan wakil walikota. Dan mereka menyetujui program ini. Mudah-mudahan tidak lama lagi,” tambahnya.

Tidak hanya itu, kampung Dago Pojok ini juga akan dikembangkan sebagai desa yang memiliki berbagai tempat pendidikan dan bisa menghasilkan industri kreatif. Pada nantinya, desa Dago Pojok ini bisa menjadi tempat pendidikan luar sekolah yang menghasilkan masyarakat berkreatifitas tinggi dan berkecukupan dalam finansial.

Ayi Olim, ahli  yang sering memberikan seminar tentang PLS menjelaskan bahwa selama ini pendidikan luar sekolah tidak jelas. Itu dikarenakan, selama ini PLS hanya dilihat sebagai komplemen, suplemen dan substitusi. Pada kesepakatan pendidikan yang dideklarasikan di Dakar tahun 2000 terdapat hal yang menyatakan bahwa pendidikan harus memenuhi kebermutuan, dapat diukur dan memiliki life skills.

“Pendidikan yang benar adalah bagaimana bisa menciptakan sesuatu. Jangan hanya menyalahkan, tetapi ada penggalian potensi diri,” ungkap Ayi.

Lebih jauh lagi, ia menjelaskan melalui pendapat Goads (1984), pendidik Perancis, keterukuran pendidikan luar sekolah dilihat bila seorang lulusan dinyatakan telah memiliki kompetensi yang sudah ditetapkan pada jenjang tertentu

Tidak hanya itu, tuntutan lebih jauh terletak pada tujuan pembangunan milenium atau millenium development goes (MDGs) yang menuntut  peran lebih nyata dari pendidikan untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan berat.

Beberapa negara maju seperti halnya Cina telah mencanangkan perubahan yang sangat mendasar. misalnya dari segi metode pembelajaran yang semula lebih banyak menekankan pada peluncuran dan bersifat tabularasa menjadi kemampuan untuk mengatasi masalah secara langsung.

Diakhir penjelasaannya, Ayi mengatakan bahwa mulai saat ini pendidikan harus kembali pada jati dirinya sebagai sebuah proses untuk menjadi lebih baik.  “Sistem pendidikan sekarang harus kembali ke kittah atau jati diri. Karena pendidikan adalah untuk menjadi diri sendiri dan memberikan kebermanfaatan bagi orang lain” simpulnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar