Pendidikan Kejar Tayang

Dunia pendidikan saat ini tak ubah seperti sebuah sinetron di layar kaca yang sedang kejar tayang. Sinetron yang sedang kejar tayang tentunya hampir tidak memedulikan kualitas pesan dan estetika film, yang penting bisa tayang walaupun dengan proses tergesa-gesa. Begitulah dunia pendidikan saat ini, yang mana lebih berorientasi hasil dan seringkali tergesa-gesa.

Tidak bisa dipungkiri, sejak masyarakat diperkenalkan dan bergabung dengan jenjang pendidikan formal, TK-SD-SMP-SMA- Perguruan Tinggi. Pola pikir masyarakat telah terbentuk bahwa itulah yang dinamakan proses pendidikan. Dan semua jenjang harus dilewati satu per satu dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan.

Dengan adanya pola pikir yang menganggap pendidikan adalah sebuah jenjang-jenjang pendidikan, berlombalah orang tua untuk memasukkan anaknya pada sekolah negeri yang berkualitas baik, jika bisa anaknya dipaksakan masuk pada Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Tak lain dan tak bukan agar anaknya menjadi insan mandiri dan memiliki kedewasaan dalam berfikir.

Tidak Seperti yang Diharapkan


Perjuangan orang tua agar anaknya bisa menjadi insan mandiri dan memiliki kedewasaan pemikiran, sepertinya belum bisa tercapai. Betapa tidak, ketika anak menjadi siswa di sebuah instansi pendidikan, ia “dipaksa” untuk mengikuti aturan main yang telah disiapkan. Baik aturan mengenai kedisiplinan di sekolah, maupun aturan dalam kurikulum pembelajaran.

Dalam kurikulum pembelajaran, siswa diberikan standar tertentu yang mau tak mau harus ia lewati jika ingin melanjutkan ke jenjang berikutnya. Hal ini membentuk pola pikir peserta didik bahwa ia akan disebut sukses jika telah melewati standar atau batasan yang telah ditetapkan. Timbul kesan bahwa segala cara boleh dipergunakan asalkan standar tadi bisa tercapai bahkan terlewati.

Standar tersebut, secara tidak langsung membuat peserta didik tidak paham dengan apa yang mereka pelajari. Peserta didik hanya mengerjakan apa yang diperintahkan oleh guru,tidak tahu apa tujuan akhir dari hal yang mereka kerjakan dan pelajari. Timbul ketakutan jika tidak mampu melewati standar yang ditetapkan. Pada akhirnya, upaya-upaya curang pun dipergunakan. Contoh kecilnya, sebuah penelitian kecil di sebuah universitas di negeri ini menyebutkan 1 dari 10 orang mahasiswa pernah mencontek saat ujian.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi semakin mendukung upaya-upaya curang mengejar standar pendidikan. Dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru atau dosen misalnya, budaya copas (copy-paste) tidaklah hal yang memalukan untuk dibicarakan lagi. Wajar saja kiranya plagiarisme sudah hal lumrah dalam dunia pendidikan negeri ini. Tidak hanya siswa, guru atau dosen pun sudah terlebih dahulu melakukannya.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Selama ini, proses pendidikan tidak lagi seperti apa yang diharapkan oleh undang-undang tersebut. Ruangan kelas seperti “neraka”, yang membuat peserta didiknya ketika masuk kelas selalu dihantui kecemasan. Suasana kelas yang pasif, guru atau dosen seperti manusia super. Para pendidik tersebut siap “melahap” kekurangan-kekurangan peserta didik yang tidak mencapai standar yang telah ditetapkan. Sayang sekali bukan ? Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat mengembangkan potensi diri dan mendewasakan peserta didik, menjadi panggung yang menakutkan dan lambat laun menghilangkan kepercayaan diri peserta didik.

Jika hal ini dibiarkan oleh pemerintah, bersiaplah generasi penerus bangsa nantinya hanyalah kumpulan orang-orang yang mudah diperbodoh dan tidak memiliki kepercayaan diri serta tidak memiliki kedewasaan dalam berfikir.

Perbaiki Sistem

Sudah kita ketahui, mungkin juga sudah dirasakan beberapa perubahan sistem pendidikan kurikulum. Kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan Kurikulum Terpadu Sistem Pendidikan (KTSP).
Beberapa perubahan kurikulum tersebut sepertinya tidak ada yang efektif. Betapa tidak, kurikulum tersebut hanyalah singgah sebentar di sekolah, lalu pergi dan diganti dengan kurikulum berikutnya.

Kurikulum yang pernah dicobakan tersebut hanyalah trial and error. Tidak ada upaya serius dari pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan Nasional untuk membuat sebuah sistem yang benar-benar mencerminkan arti pendidikan.

Tidak ada kata terlambat untuk mulai lagi membenahi sistem pendidikan negeri ini. Tentunya sistem pendidikan yang berorientasi proses, mengedepankan kreativitas peserta didik dan menjunjung nilai-nilai moral serta mengandallkan kepercayaan diri. Jika sistem pendidikan seperti ini bisa dilaksanakan, sudah sepantasnya kita yakin bahwa nantinya akan lahir generasi-generasi muda cemerlang harapan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar