Pentingkah Sinergitas Jurnalis dan Masyarakat?

Baru-baru ini, Rabu 6/2, Manajer Program Media dan Informasi Yayasan TIFA, R.Kristiawan melontarkan pernyataan bawah saat ini banyak media di Indonesia yang tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas demokrasi. "Mirisnya, malahan media itu mengancam demokrasi itu sendiri," ujarnya pada diskusi publik "Tirani Media Menghadapi Pemilu 2014" seperti yang diberitakan Gatra.com 

Lebih lanjut, Kris berpendapat adanya kesalahpahaman dalam mengartikan reformasi kemerdekaan media sejak 1994. Menurutnya, reformasi itu hanya dipahami pada dimensi liberalisasi politik. Seharusnya dimensi liberalisasi ekonomi juga harus dipikirkan mengingat adanya koridor profit. Terlebih saat ini para pemilik media lebih mengutamakan ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Kita bersama mahfum, pemilu 2014 semakin dekat. Aksi gerak cepat partai politik memikat perhatian publik semakin terlihat, terlebih di media massa. Negeri ini sempat dihebohkan dengan bergabungnya Hary Tanoesudibyo (pengusaha media MNC Group) ke Partai Nasdem besutan Surya Paloh (pemilik Media Group dan sekarang Ketua Umum Partai Nasdem).

 Masyarakat Indonesia lega, ketika ada perpecahan visi antara Hary Tanoe dan Surya Paloh yang berujung pada keluarnya bos MNC Group dari Partai Nasdem. Selain isu panas MNC Group dan Media group tadi, permasalahan di dunia media massa semakin terus terjadi. Lihat kasus Luviana, jurnalis televisi berita di negeri ini yang menjadi korban pemilik media. Selain itu, framing berita dan konstruksi realitas yang tidak seimbang kerap terjadi di media massa demi saling sindir dan menjatuhkan kelompok lain.

Saya sepakat dengan pernyataan Kris yang mengungkapkan bahwa para jurnalis yang memprakarsai proses demokratisasi akhirnya menjadi korban liberalisasi ekonomi. Terlebih dengan posisi jurnalis yang masih lemah, sehingga mereka harus siap menghadapi tekanan dan pengaruh dari pemilik media yang bertendensi politik dalam melaksanakan fungsinya.

Jurnalis sejatinya sama dengan pekerjaan yang lain. Namun, profesi jurnalis yang terhimpun dalam konstruksi PERS memiliki kesempatan (katanya) sebagai kontrol sosial. Pers dikenal sebagai pilar keempat demokrasi dan memiliki fungsi sebagai watchdog bagi  kekuasaan.Dalam menjalankan fungsinya, jurnalis sama saja dengan buruh di perusahaan lain yang harus tunduk pada pemilik modal/pengusaha. 

Seberapa hebatnya jurnalis dan memiliki idealisme tinggi untuk kepentingan publik, ia tetaplah buruh yang memiliki 'hutang' pekerjaan bagi pemiliki modal.Lihat saja, permasalahan kesejahteraan di beberapa media di negeri ini masih menjadi sorotan utama beberapa organisasi jurnalis. Rendahnya apresiasi pemilik media, persaingan media nan kompetitif, dan tidak kompaknya jurnalis dalam membela haknya membuat pekerjaan jurnalis masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.

Secara tidak langsung, setiap pribadi jurnalis mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengontrol proses demokrasi di negeri ini. Tapi apa daya,  tingginya posisi tawar pemilik media yang ikut berpolitik membuat pribadi jurnalis sesekali (sering) melepaskan baju idealisme.

"Bohong, jika ada jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik." Ungkapan itu bisa saja muncul karena media saat ini bekerja untuk memperoleh banyak iklan dan tentunya bermuara pada terkumpulnya modal yang besar. Saya pikir, itulah apa yang disebut Kris tadi ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.

Jurnalis Butuh Masyarakat

Jurnalis sejatinya warga sipil yang tidak memiliki kewenangan besar dalam mengontrol warga lain. Tidak seperti pemerintah yang bertindak sebagai penguasa dan berkuasa. Sejatinya jurnalis tak ada bedanya dengan masyarakat yang selama ini menjadi sumber-sumber informasi.

Dengan tidak adanya perbedaan antara jurnalis dan masyarakat, sudah sepatutnyalah jurnalis dan masyarakat bahu membahu saling membantu dalam mengawal perjalanan demokrasi di negeri ini. Semakin tingginya kekuasaan pemilik media atas jurnalis, masyarakat sebagai pihak yang dipentingkan oleh jurnalis harus ikut berperan aktif dalam menghadapi kekuasaan pemilik media.

Saya ingin mencontohkan, beberapa kasus kekerasan dan pembunuhan atas jurnalis hingga saat ini belum dituntaskan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Intimidasi yang dialami beberapa jurnalis kerap terjadi ketika jurnalis membeberkan fakta-fakta penguasa korup. Ya, hal ini bisa dikatakan sebagai usaha bagi kepentingan masyarakat. Sayangnya, ketika jurnalis dalam masalah, masyarakat seolah-olah tidak peduli nasib malang yang menimpa pelayan informasinya.

Rendahnya hubungan antara jurnalis dan masyarakat luas, menyebabkan penguasa dan pengusaha semena-mena memanfaatkan sumber daya di negeri ini. Kapitalisasi terus berkembang di atas ideologi oportunis yang katanya sering disusupi pihak asing. Jika ini dibiarkan, ya dampaknya akan seperti saat ini. Media massa akan terus berkembang ke arah ideologi profit, jurnalis menjadi alat palsu keberpihakan terhadap publik.

Untuk itu, di tengah uforia demokrasi, saya menilai pentingnya sinergitas masyarakat dan jurnalis dalam menghadapi kapitalisasi pemilik media (pengusaha) dan penguasa (pemerintah). Persatuan keduanya akan menguatkan posisi rakyat di mata penguasa, dan posisi insan media/jurnalis sebagai pelayan informasi bagi masyarakat luas dan pengawas demokrasi. Tentunya dibutuhkan niat baik dari setiap pihak demi tercapainya tujuan bangsa negara ini, yakni kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar