Diplomasi Ala Negeri Penakut

Indonesia kembali mencatat rekor ‘memuaskan’. Rekor dimana pemimpin negerinya lunak pada pengedar  narkoba internasional. Rekor ‘memuaskan’ itu berawal ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi  (pengurangan hukuman) pada terpidana kasus narkoba kelahiran Brisbane Australia, Schapelle Leigh Corby, 34 tahun. Terpidana Corby tertangkap membawa 4,2 kilogram mariyuana ke Bali sekitar tujuh tahun silam.

Melalui Keputusan Presiden (Kepres) No 22/y/2012, tanggal 15 Mei 2012, Si Ratu Mariyuana akan menghirup udara bebas setelah melewati sisa masa hukumannya, delapan tahun lagi. Lima tahun merupakan angka fantastis yang diberikan oleh presiden pada pelaku narkoba. Tak pernah ada sebelumnya, sekalipun untuk warga Indonesia. Terlebih remisi diperketat pada permasalahan strategis seperti korupsi, pencucian uang, dan penjualan narkotika antar negara.

Presiden SBY boleh berkilah bahwa ini merupakan hak prerogatifnya sebagai kepala negara. Memang ini tak bisa dipermasalahkan pula secara hukum atau politik. Tapi publik negeri ini curiga, kenapa sang presiden memberikan grasi itu? Seperti ada ketidakterbukaan.

Dengan adanya grasi pada pelaku narkotika, Indonesia secara langsung telah terlihat lemah di mata internasional. Terlebih permasalahan warga negara di luar negeri sering tak menjadi prioritas. Apakah ada negosiasi dan hubungan mutualisme antara Indonesia dan Australia? Entahlah. 

Secara citra, mungkin Indonesia dielu-elukan sebagai negara demokratis dan menjunjung tinggi hukum dan perdamaian. Mungkin itu sebatas citra, tidak seperti tindak perilaku negara lain di sekitar negeri ini. Tak jauh-jauh, baru-baru ini Amerika Serikat melalui Menteri Pertahanan AS Leon Panetta menyatakan akan menambah kekuatan militer perang di kawasan Asia Pasifik. Menjelang 2020, Amerika akan menyelesaikan misi strategis keamanannya di kawasan ini dengan menempatkan 60 persen kekuatan perangnya. 

Belakangan ini juga, telah kita ketahui Amerika telah membangun pangkalan militer di Australia. AS telah mempertimbangkan menggunakan kepulauan Cocos atau di Samudera Indonesia yang terletak di lepas pantai Australia Barat Laut untuk meluncurkan pesawat pengintai tak berawak. Selain itu, AS menempatkan kapal induk dan kapal selam tempur bertenaga nuklir di Perth. Itu semua katanya dilakukan untuk menghadapi sangketa Laut Cina Selatan serta menjamin keamanan kawasan Asia Pasifik.

Kita boleh saja curiga bahwa grasi ratu mariyuana merupakan langkah awal Indonesia mendekati barat. Terlebih negeri ini tak memiliki sistem angkatan perang mutakhir. Kapal-kapal banyak yang usang, alutsista banyak ketinggalan zaman. Entah apa yang bisa dikedepankan jika suatu saat Asia Pasifik termasuk Laut Cina Selatan menjadi lahan bertempur AS versus Cina dan kroninya.

Negeri ini sudah sering menempuh jalur diplomasi. Sangketa perbatasan dengan Malaysia berlarut-larut diselesaikan dengan diplomasi. Negeri ini juga tak memiliki posisi tawar strategis jika berhadapan negara-negara adidaya. Mungkin negeri ini sudah disebut negeri penakut. 

Entah berapa ratu mariyuana lagi yang nanti bisa dijadikan materi berdiplomasi. Atau ratu-ratu lain yang bisa dipertukarkan demi keamanan dan perdamaian bangsa dan negara ini. Seperti kata pepatah “Jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang” dan kita harus tahu bahwa itu sudah dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Semoga Indonesia mampu untuk menghadapi itu semua.

sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar