Layang-Layang


Orangan sawah meliuk-liuk tertiup angin sore. Bergerak, bergoyang mengikuti irama hembusan angin. Begitu juga rumpunan padi. Orangan sawah, rumpunan padi dan angin seperti bersahabat karib. Dekat, menyatu, dan bersinergi dalam irama kicauan burung yang pulang.

Tapi persahabatan itu tidak terlihat pada sebuah layang-layang putih. Berbentuk hampir persegi empat. Tanpa ekor dengan kedua tali terikat di bagian kepala dan ekornya.

Sejak tadi siang, mungkin ketika matahari masih terik, di sebuah tempat di muka bumi ini, seorang anak kecil berbadan tambun berusaha menerbangkan layangannya sendirian. Tak kunjung berhasil. Layangannya tak bergeming. Tak mau bersinergi dengan angin. Tak mau terbang ke angkasa.

Anak kecil itu terus berusaha. Hembusan angin sore kian kencang. Layangannya tetap tak mau terbang. Terangkat sebentar, meliuk tak karuan dan kembali ke tanah. Jatuh.

Anak kecil itu tak mau putus asa. Kembali ia ambil layangannya. Tali benang kembali ia gulung. Diam sesaat, menunggu angin kembali berhembus. Selanjutnya ia pun mengulurkan lagi layangannya. Tetap. Layangannya jatuh, seperti tak sudi meninggalkan daratan.

Entah apa yang salah dengan layangannya. Entah layangannya terlalu ringan. Atau layangannya tak seimbang. Atau memang tiupan angin yang terlalu kencang.

Kesabaran selalu ada batasnya. Begitu pun dengan kesabaran anak itu menerima kegagalan. Ia berfikir. Duduk tercenung. Meraih bekal makanan yang ia bawa. Mengunyah sedikit demi sedikit. Makanannya pun habis.

Anak itu meraih kembali layangannya. Tali benang ia gulung. Kali ini tidak untuk diterbangkan. Ia mengamati seksama layangannya. Di beberapa sisi terlihat robekan-robekan kecil.

"Ini tak masalah," ia berujar dalam hati.

Ia pun berdiri. Ia mengangkat layangannya. Menjatuhkannya dengan terlentang. Tak sampai di tanah, layangannya tergantung. Kali ini berat di sisi sebelah kiri. Tak seimbang.

Angin kembali berhembus kencang.Dengan sigap ia raih layangannya. Ia dekap dengan sempurna. Mencoba untuk menyelamatkan layangannya dari hembusan angin.

Ia pun berkemas. Memasang sendal yang semenjak tadi dilepas. Meraih setangkai permen yang tersisa disaku celananya.Ia pun mengangkat kaki. Pergi meninggalkan tempatnya bermain di pematang sawah tadi.

Ia tak putus asa. Ia tak marah, tapi tersenyum manis, semanis permen tangkai yang terus mencair.

"Layanganku harus seimbang. Biar bisa mengangkasa," gumamnya bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar