Romantisme Negara Islam


 Bagi sebagian pihak umat Islam, masih teringat jelas bagaimana alotnya perdebatan tentang dasar negara pada sidang BPUPKI tahun 1945 yang pada mulanya melahirkan Piagam Jakarta. Kononnya hal itu merupakan “kemenangan” kalangan Islam “konservatif”. Naasnya, rumusan piagam tersebut berubah sehari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Perubahan itu terlihat dari hilangnya tujuh kata terkenal, yaitu ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Penghapusan itu menjadi isu yang terus menerus diwariskan dari zaman ke zaman dalam dunia perpolitikan di Indonesia melalui keluarga, sistem sosial dan gerakan sosial, serta pendidikan.

Akhir-akhir ini, sejak Maret 2011, media massa dan masyarakat dihebohkan dengan sepak terjang sekelompok orang yang diduga berasal dari kelompok konservatif. Kelompok ini sering dikenal sebagai NII (Negara Islam Indonesia). Jika ditilik ke masa lalu, NII di proklamasikan pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya, Jawa Barat, oleh Kartosoewirjo. Banyak anggapan NII dideklarasikan sebagai bentuk kekecewaan kelompok konservatif dalam Piagam Jakarta. Terlebih ketika Orde Baru menetapkan kebijakan politik mengenai keharusan organisasi politik dan sosial untuk menjadikan Pancasila  sebagai asasnya yang dikenal dengan Kebijakan Asas Tunggal.

Pada 1998, Orde Baru harus meletakkan kuatnya kekuasaan yang sudah dibangun. Dengan runtuhnya Orde Baru dan diiringi masa reformasi, semua golongan masyarakat bebas  mengemukakan aspirasinya dan membentuk kelompok dan partai. Isu Piagam Jakarta dan NII pun mulai berhembus kembali. Kembalinya kelompok konservatif yang dulunya sempat kecewa bisa dilihat dari fenomena pemanfaatan demokrasi bagi tujuan-tujuannya.

Dilema Politik Islam

Pemikiran dari dua orang penulis, Abdul Munir Mulkhan dan Prof. Dr. Bilver Singh, akan dilema politik Islam dalam dunia global patut untuk disimak secara seksama. Pemikiran yang dihimpun dalam buku Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11 ini bisa digunakan untuk menganalisis situasi dan kondisi Islam dalam dunia perpolitikan. Selain itu, penelusuran sejarah akan timbulnya NII sudah disajikan secara baik oleh kedua penulis. Hanya saja, kedua penulis dalam bukunya belum memasukkan isi-isu terbarukan. Seperti, sepak terjang kelompok NII KW IX dalam perekrutan anggota dengan modus pencucian otak. Selain itu, perlu perbandingan yang jelas untuk membedakan apakah gerakan Islam sekarang sama dengan gerakan Islam dahulu di zaman Kartosuwirjo. Terlebih sebagaian masyarakat telah menganggap NII telah berakhir pada 1962 seiring dengan dihukum mati imam NII, Kartosuwirjo.

Perpaduan pemikiran kedua penulis ini secara gamblang telah menjelaskan seperti apa syariat Islam mendominasi demokrasi di suatu negara, dengan terlebih dahulu menjelaskan sistem kepercayaan atas Tuhan atau tauhid yang menjadi akar doktrin syariat. Selain itu, perbedaan interpretasi antar golongan akan Al Quran dan sunah telah menimbulkan gesekan sesama umat Islam sendiri, tentunya secara langsung merugikan umat.
Kerugian yang ditimbulkan dari gesekan antar umat Islam terlihat dari penurunan perolehan suara partai-partai Islam dalam beberapa pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia. Mengapa partai Islam selalu gagal meraih suara paralel dengan jumlah pemeluknya?

Pertanyaan di atas, dijawab dengan lantang oleh buku ini, yaitu : “Aktivis partai Islam seringkali menjawab penurunan suara pemilu disebabkan adanya akibat konspirasi kekuatan anti Islam dalam dan luar negeri. Tidak pernah disadari penurunan dukungan politik partai-partai Islam tersebut adalah akibat kegagalan komunikasi dengan pemilih muslim sendiri apalagi pemilih yang non muslim. Pendekatan kita, yang normatif harfiah hitam-putih, surga-neraka, halal-haram, lebih diutamakan daripada pendekatan sosio-budaya, yang merentang tanpa batas di antara dua ekstrem.”

Penurunan peminat partai Islam juga ditunjukkan dengan adanya keraguan aktivis gerakan Islam akan penempatan Islam dalam peradaban global yang terbuka. Berkaitan dengan itu, ada dua golongan Islam, yaitu : Kaum moderat dan liberal meletakkan masa depan terbuka, dan sejarah sebagai proses dinamika, kaum konservatif memandang sejarah harus mengikuti pola yang telah ditetapkan oleh syariat.

Masyarakat berargumen bahwa pandangan kaum liberal dan pluralis telah keluar dari syariat, sehingga harus dihindari karena pandangan tersebut mengembangkan  paham liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.
Berbeda dengan kelompok liberal, kelompok konservatif bisa saja menerima dan bersedia hidup bersama kelompok lain yang berbeda. Mereka bisa dan bersedia mengakui pemerintahan negara sekuler atau negara yang tidak didasari Islam, dengan satu alasan yaitu menunggu situasi atau momentum dan saat yang tepat untuk menempatkan Islam sebagai dasar negara atau membentuk negara Islam. Di sini sistem demokrasi atau Pancasila dengan UUD 1945 bisa ditempatkan sebagai proses dan tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan yang lebih besar dari tahap akhir nanti yaitu tegaknya ajaran Islam yang terangkum dalam syariat dalam sebuah sistem khilafah atau dalam satu bentuk negara Islam.

Jika boleh menebak, dimungkinkan timbulnya bom bunuh diri dalam beberapa waktu lalu merupakan manifestasi masa penungguan panjang kaum konservatif untuk mulai mendirikan atau membentuk negara Islam.

Untuk menghindari gesekan tersebut, buku Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11 ini telah diramu dengan baik oleh kedua penulis dengan menyarankan perlu adanya penafsiran ulang sumber ajaran Islam, Al Quran dan sunah yang selama ini diklaim menjadi referensi ajaran Islam, generasi Muslim akan terus menghadapi dilema antara memenuhi ajaran Islam atau kodrat manusia modern. Dari sini sering muncul pilihan sikap yang sering diberi label radikal atau fundamentalis. Perlu adanya deradikalisasi yang diikuti atau disertai gerakan penafsiran ulang (reinterpretasi) ajaran Islam dari sumber utamanya (al Quran dan sunah).


Data Buku
Judul Buku:        Demokrasi di Bawah Bayangan Mimpi N-11
                          (Dilema Politik  Islam Dalam   Peradaban Modern)
Pengarang:       Abdul Munir Mulkhan dan Bilveer Singh
Cetakan    :       I, April 2011
Penerbit   :       PT. Kompas Media Nusantara
Tebal          :        xii + 380 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar