Korban Senjata

Ia tak tahu mau berbuat apalagi. Semua perintah dari atasan telah ia selesaikan dengan baik. Semua penyergapan tindak pidana kriminalitas telah ia selesaikan pula. Tapi semua itu seolah tak berarti jika ia berhadapan dengan komandannya. Ia merasa ada yang tidak beres.

“Fret, sini kau,” ujar seorang pria di dalam ruangan.

“Siap Pak,” ujar Fret sembari bangkit dari perenungan panjang di kursi yang sejak dua jam lalu ia duduki. Hati Fret berharap tak ada kesalahan yang ia perbuat di mata komandannya.

Fret masih mengingat jelas, dua tahun lalu ketika ia masih latihan di lapangan hijau di sebuah markas kepolisian di sebuah negara yang mengaku demokrasi. Dengan semangat tinggi, Fret memulai aktivitas pertamanya sebagai polisi di sebuah kantor kepolisian, tepat waktu itu Jumat pagi, 5 Mei 2010. Berbaris rapi, bernyanyi, hormat dan mendengar perintah komandan.

Sekarang, tepat dua tahun ia berkarir di dunia aparat penegak hukum. Pangkatnya mulai menanjak naik. Ia diperintahkan memimpin satu tim kecil kepolisian. Tak banyak. Enam orang. Bertujuh jika ditambah Fret. Bersama tim kecilnya itu Fret berhasil membekuk jaringan narkoba di Jakarta. Ketangkasan individu serta kekompakan tim membuat Fret semakin dikenal dikalangan kepolisian.

“Kenapa kau tangkap aparat keamanan dari intansi lain,” ujar komandanya keras.

“Mereka bersalah,” ujar Fret singkat.

“Saya tahu. Tak semua orang bersalah kau tangkap. Lihat dulu siapa yang kan kau tangkap. Jika masyarakat sipil boleh-boleh saja kau tangkap. Tapii.....,” jelas komandannya panjang.

“Ini instansi tentara Fret. Bisa berbahaya jika mereka balas dendam,” tambah komandannya.

“Saya tak mengerti,” Fret pun berujar singkat. Di dalam hatinya bertanya-tanya, mengapa harus membedakan sipil dan aparat? Huh. Jika mereka bersalah, tak pandang bulu harus ditangkap berontak hati nuraninya.

“Kau harus lepaskan mereka,” tegas komandannya.

“Apa? Lepaskan? Tidak,” bantah Fret.

Masih teringat jelas dibenak Fret akan kejadian dua hari lalu. Selama 2 minggu, Fret bersama timnya mengintai sebuah rumah mungil dibantaran sungai Ciliwung Jakarta. Dilihat selintas tak ada yang istimewa dengan rumah itu. Tapi setiap hari para aparat berpakaian hijau hilir mudik keluar masuk rumah mungil itu. Mobil-mobil mewah terparkir, tetap ramai 24 jam.

Berdasarkan informasi warga, rumah mungil itu adalah tempat transaksi narkoba. “Pemainnya aparat keamanaan,” ujar seorang warga tanpa menjelaskan spesifik aparat yang mana. Informasi warga itu pun diperkuat dengan pengamaan tim Fret selama 2 minggu. Hasilnya: positif tempat transaksi narkoba.

Tanpa babibu, Fret dan tim menggrebek rumah mungil tanpa dosa itu Senin malam. Penggrebekan itu berhasil menangkap 3 orang aparat berpakaian hijau loreng. Ketiga tersangka ini pun dikurung beserta alat bukti 5 kg ganja kering dan 15 butir pil ekstasi.

“Fret,” gertak komandannya sekali lagi.

“Siap komandan.”

“Lepaskan mereka yang kau tangkap. Ini perintah atasanmu Fret.”

“Siap tidak, sekalipun nyawa saya sebagai taruhan.”

“Sekali lagi Fret. Lepaskan mereka! Jika tidak instansi mereka akan menyerang kita.”

“Siap tidak komandan.”

Fret tetap bergeming dengan pendiriannya.

“Door..”

Selonsong peluru kecil mendarat di kening Fret. Senyum puas merebak di wajah komandannya. Terlihat asap mengepul di moncong senjata apa ditangannya.

“Brukk.” Fret pun ambruk. Darah mengucur di keningnya. Setelah terjatuh ia kejang sesaat. Selanjutnya diam tak bergerak. Fret bergeming. Tewas. Bergeming bersama keyakinannya memihak pada kebenaran. Walaupun harus meregang nyawa, Fret dengan tegas menolak perintah atasannya bermental pengecut. Pengecut. Pecundang cecungut yang takut mempertahankan kebenaran.

Fret telah pergi meninggalkan kehidupan penuh sandiwara ini. Buat apa hidup di tengah ketidakadilan. Semua orang pencinta kebenaran dan keadilan pastilah merindukan Fret. Begitu juga tim kecilnya yang akan senantiasa mengingat Fret ketika mereka bersama di saat senang dan sedih. Fret telah damai termakan seloncong peluru atasannya. Sekarang giliran atasannya berhadapan dengan ketidakpastian hukum demi menebus kesalahan. Belum lagi permasalahan dari instansi lain yang tiga orang anggotanya dilepaskan oleh atasan Fret. Mereka mau balas dendam.

“Perang baru dimulai komandan” lirih pasukan kecil Fret dihati mereka masing-masing.

Sebuah cerpen: Bandung, Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar