Lebih lanjut, Kris berpendapat
adanya kesalahpahaman dalam mengartikan reformasi kemerdekaan media sejak 1994.
Menurutnya, reformasi itu hanya dipahami pada dimensi liberalisasi politik.
Seharusnya dimensi liberalisasi ekonomi juga harus dipikirkan mengingat adanya
koridor profit. Terlebih saat ini para pemilik media lebih mengutamakan
ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.
Kita bersama mahfum, pemilu 2014
semakin dekat. Aksi gerak cepat partai politik memikat perhatian publik semakin
terlihat, terlebih di media massa. Negeri ini sempat dihebohkan dengan
bergabungnya Hary Tanoesudibyo (pengusaha media MNC Group) ke Partai Nasdem
besutan Surya Paloh (pemilik Media Group dan sekarang Ketua Umum Partai
Nasdem).
Masyarakat Indonesia lega,
ketika ada perpecahan visi antara Hary Tanoe dan Surya Paloh yang berujung pada
keluarnya bos MNC Group dari Partai Nasdem. Selain isu panas MNC Group dan
Media group tadi, permasalahan di dunia media massa semakin terus terjadi.
Lihat kasus Luviana, jurnalis televisi berita di negeri ini yang menjadi korban
pemilik media. Selain itu, framing berita dan konstruksi realitas yang tidak
seimbang kerap terjadi di media massa demi saling sindir dan menjatuhkan
kelompok lain.
Saya sepakat dengan pernyataan Kris
yang mengungkapkan bahwa para jurnalis yang memprakarsai proses demokratisasi
akhirnya menjadi korban liberalisasi ekonomi. Terlebih dengan posisi jurnalis
yang masih lemah, sehingga mereka harus siap menghadapi tekanan dan pengaruh
dari pemilik media yang bertendensi politik dalam melaksanakan fungsinya.
Jurnalis sejatinya sama dengan
pekerjaan yang lain. Namun, profesi jurnalis yang terhimpun dalam konstruksi
PERS memiliki kesempatan (katanya) sebagai kontrol sosial. Pers dikenal sebagai
pilar keempat demokrasi dan memiliki fungsi sebagai watchdog bagi kekuasaan.Dalam menjalankan fungsinya, jurnalis
sama saja dengan buruh di perusahaan lain yang harus tunduk pada pemilik
modal/pengusaha.
Seberapa hebatnya jurnalis dan
memiliki idealisme tinggi untuk kepentingan publik, ia tetaplah buruh yang
memiliki 'hutang' pekerjaan bagi pemiliki modal.Lihat saja, permasalahan
kesejahteraan di beberapa media di negeri ini masih menjadi sorotan utama
beberapa organisasi jurnalis. Rendahnya apresiasi pemilik media, persaingan
media nan kompetitif, dan tidak kompaknya jurnalis dalam membela haknya membuat
pekerjaan jurnalis masih menjadi topik hangat untuk diperbincangkan.
Secara tidak langsung, setiap
pribadi jurnalis mengemban misi mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengontrol
proses demokrasi di negeri ini. Tapi apa daya,
tingginya posisi tawar pemilik media yang ikut berpolitik membuat
pribadi jurnalis sesekali (sering) melepaskan baju idealisme.
"Bohong, jika ada jurnalis
yang bekerja untuk kepentingan publik." Ungkapan itu bisa saja muncul karena
media saat ini bekerja untuk memperoleh banyak iklan dan tentunya bermuara pada
terkumpulnya modal yang besar. Saya pikir, itulah apa yang disebut Kris tadi
ideologi rating, kontrol iklan, dan komodifikasi politik.
Jurnalis Butuh Masyarakat
Jurnalis sejatinya warga sipil yang
tidak memiliki kewenangan besar dalam mengontrol warga lain. Tidak seperti
pemerintah yang bertindak sebagai penguasa dan berkuasa. Sejatinya jurnalis tak
ada bedanya dengan masyarakat yang selama ini menjadi sumber-sumber informasi.
Dengan tidak adanya perbedaan
antara jurnalis dan masyarakat, sudah sepatutnyalah jurnalis dan masyarakat
bahu membahu saling membantu dalam mengawal perjalanan demokrasi di negeri ini.
Semakin tingginya kekuasaan pemilik media atas jurnalis, masyarakat sebagai
pihak yang dipentingkan oleh jurnalis harus ikut berperan aktif dalam
menghadapi kekuasaan pemilik media.
Saya ingin mencontohkan, beberapa
kasus kekerasan dan pembunuhan atas jurnalis hingga saat ini belum dituntaskan
oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Intimidasi yang dialami beberapa jurnalis
kerap terjadi ketika jurnalis membeberkan fakta-fakta penguasa korup. Ya, hal
ini bisa dikatakan sebagai usaha bagi kepentingan masyarakat. Sayangnya, ketika
jurnalis dalam masalah, masyarakat seolah-olah tidak peduli nasib malang yang
menimpa pelayan informasinya.
Rendahnya hubungan antara jurnalis
dan masyarakat luas, menyebabkan penguasa dan pengusaha semena-mena
memanfaatkan sumber daya di negeri ini. Kapitalisasi terus berkembang di atas
ideologi oportunis yang katanya sering disusupi pihak asing. Jika ini
dibiarkan, ya dampaknya akan seperti saat ini. Media massa akan terus
berkembang ke arah ideologi profit, jurnalis menjadi alat palsu keberpihakan
terhadap publik.
Untuk itu, di tengah uforia
demokrasi, saya menilai pentingnya sinergitas masyarakat dan jurnalis dalam
menghadapi kapitalisasi pemilik media (pengusaha) dan penguasa (pemerintah).
Persatuan keduanya akan menguatkan posisi rakyat di mata penguasa, dan posisi
insan media/jurnalis sebagai pelayan informasi bagi masyarakat luas dan
pengawas demokrasi. Tentunya dibutuhkan niat baik dari setiap pihak demi
tercapainya tujuan bangsa negara ini, yakni kehidupan yang sejahtera, adil dan
makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar