Pelepasan lampion. sumber: ini |
Perayaan Hari Besar Tri Suci Waisak
2557 BE/2013 di Indonesia telah berlalu. Namun, perayaan hari suci itu di
berbagai perbincangan masyarakat Indonesia meninggalkan cerita kelam. Di lini
masa media sosial, forum komunitas di internet, pemberitaan media massa hingga
warung kopi, masyarakat beradu argumen mengenai cerita waisak tahun ini.
Cerita itu bermula ketika
terjadinya ketidaktertiban pengunjung untuk memasuki kawasan Candi Borobudur. Cerita
itu memuncak ketika pelepasan seribu lampion gagal dilaksanakan karena
terganggung guyuran hujan. Cerita lain yang juga kembali dikisahkan adalah
mengenai etika pengunjung yang tidak beradab. Misalkan cara berpakaian
pengunjung dan etika memotret.
Di sini saya tidak ingin
memperdebatkan pro kontra gagalnya perayaan lampion atau etika pengunjung yang
tidak beradab. Toh seribuan lampion telah diterbangkan sehari sesudahnya, dan
tentunya tidak banyak masyarakat yang mengetahui perayaan itu. Ada esensi yang
menurut saya cukup penting diketengahkan dalam memperbincangkan toleransi antar
umat beragama. Dalam hal ini kata kuncinya adalah AGAMA.
Masih teringat jelas pelajaran guru
agama saya di sekolah menengah atas. Guru saya menjelaskan bahwa kata ‘AGAMA’
berasal dari bahasa Sansakerta yaitu A=tidak dan GAMA=kacau. Ketika digabungkan
kata AGAMA memiliki arti tidak kacau. Saya mencoba merujuk pada kamus besar
bahasa Indonesia. Di sana agama memiliki arti lain yaitu sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya.
Dari penjelasan di atas, saya coba
simpulkan ada tiga poin penting yaitu tidak
kacau, tata keimanan pada Tuhan dan tata
pergaulan antar manusia serta lingkungannya. Sesuai dengan judul tulisan
ini, saya coba mencari agama dalam perayaan waisak tahun 2013 ini.