Langit Yogyakarta,
Sabtu 25/5, terlihat mendung berawan. Sesekali rintik hujan telah menetesi
pelan bumi Yogyakarta. Melihat ke arah
utara, Magelang, langit putih terang
terlihat. Ada perasaan optimis bahwa cuaca akan cerah. Tentunya dengan harapan
perayaan seribu lampion akan berlangsung semarak di bawah sinar bulan purnama.
Bersama rombongan,
saya pun menyusuri padatnya jalur lalu
lintas Yogyakarta menuju Candi Borobudur. Sepanjang 42 km perjalanan menuju
Borobudur berbagai kendaraan berpacu mengejar waktu untuk perayaan lampion.
Mobil berplat daerah luar Yogyakarta dan Jawa Tengah harus antri di beberapa
titik kemacetan. Lain dengan kendaraan motor yang terus menyusuri celah kosong
jalan.
Di tengah
perjalanan, hujan pun mengguyur. Tapi tim dan saya tetap melanjutkan perjalanan
walau didera hujan. Kesalahan utamanya, tidak membaca jas hujan. Demi langit
terang, cuaca cerah di langit Magelang, terbisat asa bahwa cuaca pasti cerah.
Motor pun terus dipacu melewati lalu lintas yang semakin padat di sore hari.
Melewati pertigaan
ke arah Candi Borobudur, cuaca pun cerah. Langit putih, matahari sore mengintip
di balik barat awan sore hari. Perjalanan pun terus dilanjutkan, menjelang
Candi Mendut mulai terlihat tumpukan wisatawan domestik dan internasional di
pinggir jalan. Ada yang menggunakan sepeda motor, mobil, mini bus dan bus
besar. Di wajah mereka terlihat suasana hati nan bahagia karena mendapatkan
kesempatan untuk menyaksikan pelepasan seribu lampion nanti malam.
Suasana Candi Mendut usai salah satu prosesi upacara waisak |
Beberapa prosesi terlewati
Saya tidak sempat
untuk melihat beberapa prosesi upacara waisak karena semua acara sudah
dipusatkan di Candi Borobudur sore itu. Saya tak bisa menyaksikan upacara prosesi kirab air suci dan api abadi dari
Candi Mendut ke Borobudur. Prosesi upacara itu berlangsung pada pukul 14.00
WIB. Pada prosesi itu, tidak kurang dari 100 Bhiksu dan Bhiksuni Sangha
Theravada dan Mahayana akan berjalan melewati 3,7 km jarak tempuh Candi Mendut
ke Candi Borobudur.
Sebelum upacara
kirab air suci dan api abadi, pada pagi harinya sekitar pukul 07.30 WIB digelar tradisi Pindapatta. Biasanya pada
prosesi ini para wisatawan dan fotografer akan terus mengikuti jalannya
prosesi. Pindapatta itu sendiri berasal dari Bahasa Pali yang artinya menerima
persembahan makanan. Namun dalam perkembangannya persembahan berupa uang pun
dilakukan oleh para umat Buddha.
Proses Pindapatta ini
dimulai dengan doa bersama di tempat ibadah Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio di
alun alun Kota Magelang, dengan terlebih dahulu mengadakan doa yang dipimpin
Ketua Dewan Sangha Perwakilan Buddha Indonesia (Walubi), Bhiksu Tadisa Paramita
Mahasta Vira. Pada waisak 2557 BE/2013 ini, berdasarkan informasi dari Kompas.com,
diikuti oleh Bhiksu dari mancanegara Australia, China, Singapura dan Thailand.
Melalui tradisi ini, umat Buddha ingin menciptakan jodoh baik dan juga
memberikan kesempatan untuk turun membantu lingkungan setempat agar mempunyai
rezeki dan terhindar dari malapetaka. Bagi Anda yang ingin melihat langsung
prosesi ini dan prosesi lainnya, datanglah sedari pagi.
Wisatawan tak ubah peserta pembagian
sembako
Menjelang Magrib,
jumlah wisatawan membludak. Saya sempat terpisah dengan rombongan. Ada yang
bisa masuk, ada yang harus menunggu hingga pukul 19.00 WIB baru bisa masuk.
“Buka gerbangnya,” sesekali teriakan para pengunjung kesal. “Woii, jangan
dorong,” saut pengunjung lain yang berada di depan gerbang tujuh, Manohara.
Saya sempat
bingung beberapa saat, mencoba mencari celah untuk bisa segera masuk. Situasi
lalu lintas di gerbang utama Candi Borobudur terlihat padat. Lalu lintas macet,
para pejalan kaki berdesakan. Bagi Anda yang ingin melihat perayaan waisak ini,
persiapakan fisik secara baik, tentunya jangan sampai kelaparan. Betapa tidak wisatawan tak ubahnya seperti penerima sembako
yang berdesak desakan. Bayangkan, mungkin ada sekitar puluhan ribu pengunjung, baik
umat Buddha atau pengunjung biasa.
Menjelang magrib,
pintu gerbang pun belum dibuka. Saya pun menyempatkan diri mencari celah masuk
melalui gerbang utama, tapi gagal. Ternyata semua kekacauan itu terjadi karena
tidak adanya kejelasan informasi yang diterima oleh pengunjung. Saya sempat
berfikir, “Ini ibadah umat Buddha loh. Kok bisa bisanya kerusuhan pengunjung
bisa terjadi.”
Suasana di gerbang Manohara. Sempat terjadi kericuhan di saat petugas tidak memperbolehkan pengunjung masuk.
Kerusuhan ini pun didukung dengan tidak rapihnya persiapan panitia untuk menyambut jumlah pengunjung. Bayangkan ribuan pengunjung harus melewati satu gerbang utama Manohara, dan semuanya harus melewati satu metal detector. Para pengunnjung yang tidak paham informasi pasti tidak sabaran, takut prosesi pelepasan seribu lampion akan terlewati. Ada yang mengeluh dan tetap bertahan, ada yang angkat bendera putih, menyerah, dan putar badan kembali pulang.
Rintik hujan
semakin deras. Cahaya kilat sambung menyambung di langit. Purnama bulan yang
diharapkan tak kunjung datang. Ada rasa was was upacara pelepasan lampion
dibatalkan. Namun, apa pun yang terjadi nanti, bagi saya dan tim harus bisa
mencapai puncak, mengambil spot terbaik untuk menyaksikan lampion berterbangan
di udara.
“Permisi permisi,”
ujar beberapa orang berbaju putih. Ada satu orang botak. “Maaf Bhiksu mau
lewat,” ujarnya. Saya pun memberikan jalan. “Hah, Bhiksu harus lewat para di gerbang
yang sama dengan “penerima sembako?”, maksudnya pengunjung upacara pelepasan
lampion?” pikir saya sambil menggelengkan kepala. Perayaan Waisak adalah hari
besar umat Buddha, tapi kenapa bisa jalur masuk umat Buddha disamakan dengan
pengunjung. Entahlah, mungkin ini hukuman bagi umat Buddha yang terlambat
datang. Ini asumsi saya loh, terlebih dengan keterbatasan informasi.
Setelah bertahan
hampir setengah jam, akhirnya saya pun berhasil masuk. “Hore horee teriak para
pengunjung, akhirnya bisa masuk,” teriak mereka kegirangan. Tapi tunggu dulu,
masih ada dua antrian metal detector yang harus dilewati. “Oh my God,” ini sungguh melelahkan ujarku.
Tapi demi lampion saya harus sanggup melewatinya.
Dari informasi
yang didapat media massa, sebanyak 1316 personil polisi yang mengamankan
prosesi Tri Suci Waisak tahun ini. Seluruh personil itu terdiri dari Kesatuan
Pengendalian Massa, Polres Kabupaten Magelang dan Magelang Kota, TNI, Polri,
Brimob Jawa Tengah dan DIY, Polisi Pamong Paraja, Dinas Perhubungan dan instansi
lainnya. Seperti diinformasikan oleh Kompas.com,
pengamanan lebih diperketat menyusul banyaknya penggrebekan teroris di beberapa
wilayah beberapa waktu lalu.
Di tengah gelapnya
malam, semua mata tertuju ke cahaya di puncak Candi Borobudur. Setelah berjalan
beberapa saat dan melewati setiap pos pemeriksaan saya pun akhirnya sampai di
pelataran utama Candi Borobudur. Suasana sungguh hikmat, tak seheboh di gerbang
masuk. Para umat Buddha duduk
mengeliling panggung upacara utama di depan Candi Borobudur. Para
fotografer amatir dan profesional sudah mendirikan tripod kamera mengarah ke
Candi Borobudur.
Di bawah guyuran hujan umat Buddha duduk rapi penuh hikmat, bersiap mengikuti pembukaan acara puncak waisak.
Selang beberapa saat, sekitar pukul setengah delapan upacara puncak waisak pun di mulai. Langit pun semakin berkecamuk dengan kilatannya. Rintik hujan pun semakin deras. Para panitia pun sempat ragu untuk menyalakan lilin dupa. “Ini dinyalakan ya?, ini sudah mau hujan. Kalau terkena air, lilinnya tak mau menyala,” ujar seorang umat buddha. Akhirnya disepakati, lilin pun dinyalakan. Hujan pun semakin deras mengguyur. “Ini dupanya, yang mau bantu silahkan,” ujar umat Buddha yang lain. Saya pun ikut serta menyalakannya. Entah apa filosofinya, jelas saya tak paham. Saya hanya ingin membantu agar lilinnya cepat menyala.
Menyalakan lilin dupa
Hujan terus turun dengan lebatnya. Pakaian baju kaos dan jaket sudah basah kuyup, tentunya tanpa payung dan jas hujan. Ada pengunjung yang mengeluh, ada yang terdiam tak tahu berbuat apa, ada yang kembali membungkus kamera, ada yang terus menghisap rokoknya demi mencari kehangatan, dan yang kasihan ada yang sakit hampir pingsan. Kekuatan fisik memang harus diperhatikan bagi Anda yang ingin melihat lampion. Perjuangannya sungguh full.
Di tengah guyuran
hujan, upacara pembukaan di panggung utama terus berlangsung. Ada sambutan dari
Menteri Agama, Gubernur Jawa Tengah, dan para pemangku kepentingan di umat
Buddha. Saya tak tahu lagi harus berbuat apa. Tubuh basah sambil terus berdiri.
Sesekali terdengar ucapan dari para pemberi sambutan bahwa umat Buddha
berterima kasih pada Presiden RI karena telah menciptakan toleransi kehidupan
beragama di Indonesia.
Setelah upacara
kata sambutan selesai. Maka bacaan doa pun mulai terdengar. Suasana penuh
hikmat bagi umat Buddha. “Sebentar lagi hujan berhenti, dan bulan purnama kan
terlihat. Ini persis seperti tahun lalu,” ujar seorang pengunjung berspekulasi.
Ia menganggap doa doa para umat Buddha akan memindahkan awan menjauhi langit
Borobudur. Bau dupa semakin keras, asap pembakaran dupa beterbangan di angkasa.
Satu jam, dua jam, hujan pun tak kunjung reda.
Menjelang pukul
22.00 WIB, hujan tak kunjung reda. Prosesi Pradaksina atau mengelilingi candi
sebanyak tiga kali pun telah berlangsung. Biasanya pelepasan seribu lampion
akan dilakukan setelah prosesi Pradaksina ini selesai. “Saya sudah hopeless,” ujar seorang pengunjung lalu
melipat tripod kamera yang sejak tadi ditegakkan.
Terkadang apa yang
diharapkan tak selalu bisa didapatkan. Kerasnya perjuangan tak selalu
memberikan harapan seperti di awal. Tapi proses perjuangan itu yang layak untuk
diperhatikan. Di sana akan ada secercah pelajaran dan kenangan yang bisa
diperoleh untuk waktu mendatang. Situasi inilah yang saya harus hadapi. “Mohon
maaf pada semua pengunjung, pelepasan lampion dengan berat hati batal
dilaksanakan dikarenakan kondisi hujan yang lebat,” ujar seseorang di speaker
pengeras suara.
Suara helaan
nafas, suara keluh kesah, sorak sorai terlihat jelas di muka para pengunjung.
Sesungguhnya pembatalan lampion bukanlah sesuatu yang harus dikecewakan oleh
para pengunjung. Waisak adalah upacara hari besar umat Buddha, sedangkan kita
umat lain yang menjadi pengunjung hanyalah untuk hura hura untuk menikmati
indahnya lampion. Hanya itu. Lampion bukanlah segalanya, tapi penghargaan pada
prosesi ibadah saudara kita umat Buddha itu lebih penting.
Upacara pelepasan lampion. Tahun ini ditiadakan karena hujan tak kunjung reda. Sumber foto: ini
Para pungunjung pun pulang dengan guyuran hujan yang tak henti. Guyuran hujan mungkin saja menjadi penyejuk hati bagi jiwa egois yang mementingkan diri sendiri. Tidak hanya mereka, saya juga termasuk dalam pengunjung itu. Tapi semuanya menjadi perjalanan penuh kenangan berburu indah lampion. Saya kapok, tentu tidak. Bahagia tentunya, banyak pelajaran dan renungan yang bisa diperoleh.
Untuk mereka umat Buddha selamat berbahagia dengan hari besarnya. Semoga dengan tema waisak ini “Dengan semangat waisak kita tingkatkan kesadaran untuk terus berbuat kebajikan” dan sub tema “Sucikan pikiran, tingkatkan kebajikan, kehidupan jadi harmonis” kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia menjadi lebih baik lagi. Semoga semakin indah seperti indahnya bayangan saya akan lampion yang beterbangan di angkasa langit Candi Borobudur.
sayangnya tahun ini sepertinya kurang sakral buat umat Budha yang mau berdoa... terlalu banyak pengunjung, dan tidak ada tempat tersendiri bagi umat budha untuk bisa khusuk berdoa, mereka harus masuk dan berdesak2an dengan orang umum yang notabene hanya pengen sekedar "NONTON", harusnya ini menjadi fokus dari para panitia, kalau bisa untuk tahun selanjutnya umat budha punya jalur tersendiri untuk bisa masuk dan tempat sembahyang sendiri...
BalasHapus