Dia tercenung
sejenak. Memeriksa suara teriakan yang sayup-sayup terdengar. Tangannya ia
katupkan di telinga. Berharap suara itu datang lebih jelas. Suara sayup itu pun
tak kunjung jelas.
“Pilihlah kami. Pilih no 3. Kami pasangan....... berbakti
untuk kepentingan mahasiswa,” suara sesekali lantang. Sesekali hilang ditiup
hembusan angin sore.
Dia pun mengabaikan suara itu. Ah, biarlah. Paling suara
mereka-mereka yang haus akan kekuasaan kampus. Mereka yang haus untuk menduduki
kursi panas. Dekat dengan rektor, mengumbar janji pro mahasiswa. Pandai
bermanis mulut berkata telah berbuat banyak untuk kepentingan rakyat mahasiswa.
Mereka seperti pahlawan, datang untuk
berjuang demi kepentingan bersama. Memang terlihat, tapi sayangnya ada
kepentingan golongan yang setiap tahun mereka pertahankan.
Dia sudah malang melintang di dunia kehidupan kampus. Perkenalkan,
namanya dia. Semester tiga belas. Tinggal satu semester lagi nasibnya akan
ditentukan. Tamat sebagai sarjana atau pecundang malang yang katanya hidup
berkalang kepedulian.
Setiap tahun, dia mendapatkan selebaran kertas kecil. Kadang
berwarna merah, biru, hijau atau putih. Ada dua foto mahasiswa berjas rapi,
kadang berdasi. Berdiri tegap atau duduk dengan mata awas, gagah. Dua mahasiswa
itu katanya pahlawan pembawa kemenangan. Semoga begitu. Mereka politisi kampus,
pemain utama di sebuah kampus di negeri yang sedang belajar demokrasi. Selebaran
itu pun memiliki angka. 1,2 dan 3. Jarang sekali 4 dan 5.
Tahun-tahun awal menjadi mahasiswa, dia bengong, tak
mengerti politik kampus. Tahun berikutnya, ia mulai mengerti politik, walaupun
sebatas definisi. Dari pengetahuan yang ia dapatkan, politik itu adalah
kegiatan atau aktivitas yang memberikan dampak kebaikan bagi semua elemen
masyarakat. Dia lupa siapa tokoh yang berbicara demikian. Tahun berikutnya, ia
mulai paham bahwa politik kampus itu penuh kepalsuan. Kata-kata manis, diiringi
teriakan kesatuan membuatnya paham bahwa politik kampus hanyalah alat
aktualisasi diri bagi mereka yang oportunis.
Menjelang angka tujuh tahun dia berstatus mahasiswa, banyak pengalaman
yang ia rasakan. Tapi pengalaman akan politik kampus tak pernah terselesaikan. Dulu
ketika masih berstatus siswa, dia memuji tindakan mahasiswa yang bentrok dengan
aparat pemerintah. Membela rakyat jika sembako naik, mendemo pemerintah jika
subsidi bbm dikurangi. Sekarang pujiannya akan status mahasiswa semakin
memudar. Pudar dan tak berwarna lagi.
Dunia kampus memang penuh kenangan. Dia mengakui hal itu. Tapi
ada kenangan yang tak pernah ia lupakan. Kenangan akan politik kampus yang
benar-benar menghantuinya. Selalu terngiang dan tak pernah mendapat jawaban
yang pas. Beberapa kenalannya dari mahasiswa sekarang sibuk bekerja di
perusahaan, jadi karyawan. Dulu kenalannya ini berada di barisan depan setiap
unjuk rasa. Berani pasang badan, dengan ikatan kain di kepala.
Hmm. Politisi kampus hanyalah sebutan keren bagi para
mahasiswa pembela kebenaran dan keadilan. Dia mencoba menyimpulkan walaupun tak
semua itu mungkin benar.
Suara sayup-sayup teriakan kampanye kampus masih terdengar. Huh,
politik kampus adalah politik menyelamatkan diri sendiri setelah menanggalkan
status mahasiswa. Itu politik individualistis demi terciptnya kehidupan pribadi
yang realistis. Tak ada yang salah memang. Karena setiap mahasiswa hal pertama
ia harus bertanggung jawab pada dirinya sendiri, lalu keluarga, terakhir baru
bangsa dan negara. Dia hanya sesalkan, masih ada (banyak) politisi kampus yang
berlindung dari jubah kemunafikan. Jubah di mana mereka merasa adalah para
pemenang. Selainnya pecundang. Sayangnya bukan.
Hah. Semoga ini asumsi dan prasangka negatif dia saja.