Lasmi Pamuntjak telah sukses menyihir pembaca dengan novel
terbarunya: AMBA. Bahasa Lasmi yang lugas dengan deskripisi detail dan mengikat,
mampu membawa pembaca ke suasana penuh kecaman di bilangan tahun 1965, di
tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Yogya dan
Kediri.
Amba, sosok tokoh utama. Perempuan desa, pemalu di awal dan
berfikiran kritis. Anak seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah ini menyambung
pendidikannya di Fakultas Sastra UGM, Yogya. Sejak ia menginjak dewasa, ibunya
hanya ingin Amba segera menikah. Mengikuti tradisi perempuan kampung yang cepat
menika. Dengan pola fikir feminis, Amba menolak. Memilih hidup jauh dari
keluarga, menimba ilmu dan menerjang tantangan kehidupan.
Ada Salwa Munir. Sosok pemuda santun, seorang instruktur
dosen di universitas yang sama dengan Amba. Jatuh cinta pada Amba pada
pandangan pertama. Cintanya sempat berbalas, sempat bertunangan, namun kalah
dengan praktik cinta dalam kehidupan. Sosok Bhisma Rashad, dokter muda lulusan
Universitas Leipzig lebih mampu menunjukkan arti cinta sesungguhnya. Tidak
hanya kata romantis, surat, janji masa depan, tapi ia berikan sentuhan cinta
pada tubuh Amba yang bergetar dan pasrah ketika mereka bersama.
Surat. Hanya itu media untuk berkomunikasi jarak jauh di
zaman itu. Saling berbalas, walaupun harus menunggu lama. Seminggu, sebulan
atau tak berbalas. Singkat cerita Amba harus menyambung hidup menjadi penerjemah
dokter muda, Bhisma, di rumah sakit, di Kediri.
Saban minggu, surat Salwa datang silih berganti. Untaian kata
romantis, penuh bumbu cerita kehidupan yang tak menguap seperti omongan. Semuanya
melekat erat di kertas kosong, hingga warna tintanya pudar, atau sobek.
Di akhir cerita, Amba tak bersama Salwa. Bhisma, hanya
sempat menanam benih di kandungan Amba, sebelum ia ditangkap dan diasingkan ke
Salemba dan Pulau Buru sebagai tahanan politik. Ia (diduga) terlibat barisan
kiri: komunis. Amba menikah dengan pria kelahiran negeri Paman Sam, berkenalan
dengan niat awal meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris.
Surat-surat itu, surat balasan Amba dan Salwa. Surat Amba pada
orang tuanya. Serta surat Bhisma pada Amba yang tak pernah sampai alamat.
Namun, surat-surat itu menjadi dokumen kehidupan yang mampu menyatukan hati,
perasaan dalam kehidupan.
Tidak ada yang menganggap sepele surat. Terlebih surat dari
kekasih hati. Di simpan, sesekali di baca sambil tersenyum. Hati seperti
bergolak, bergairah, dan menumbuhkan benih-benih perasaan yang lambat laun akan
padam dan menyusut. Dalam cerita itu, Amba tentulah puas, sangat puas
berinteraksi dengan surat.
Selang beberapa tahun, benih Bhisma di perut Amba telah
menjadi sosok perempuan muda. Persis seperti Amba, walaupun ia tak tahu atau
tak pernah tahu ayahnya sesungguhnya. Suatu waktu, ada surat datang. Tapi,
surat elektronik (email). Isinya: “Bhisma telah mati di Pulau Buru.” Hanya itu.
Pengirimnya tak jelas. Amab bingung, bertanya-tanya, dan akhirnya berlayar
dengan kapal Pelni, ke Pulau Buru.
Sekali lagi surat memberikan nyawa pada manusia. Zaman silih
berganti. Kondisi politik telah berubah, tapi surat dengan teknologi baru masih
tetap mampu menggerakkan manusia secara pribadi. Surat masih memiliki roh
intimasinya. Surat masih mampu menggerakkan orang-orang. Tetap, surat tak
menguap seperti omongan. Surat mampu bertahan dalam setiap kondisi,
menyesuaikan kemajuan peradaban. Ya, surat seperti surat dari dan oleh: Amba,
Salwa,Bhisma dan tokoh lainnya dalam cerita Laksmi.
Jatinangor, Kamis 4/11/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar