Hal yang ironis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini. Di tengah praktik hedonisme para pemegang amanah negeri ini, rakyat harus berhemat untuk melanjutkan kehidupan. Baru-baru ini, telah tersiar kabar bahwa gaji karyawan Bank Indonesia (BI) naik sebesar 3%. Alasan kenaikannya: kinerja karyawan BI yang berhasil menaikkan perekonomian Indonesia. Apakah mereka mau gaji mereka turun jika perekonomian negeri ini anjlok? Entahlah.
Sepertinya, wacana negeri autopilot yang sempat heboh tak berlaku serius. Buktinya ada yang memajukan perekonomian negeri ini. Ya, karyawan Bank Indonesia. Sebagai patokan, gaji gubernur BI setelah mengalami kenaikan sebesar Rp 153, 9 juta.
Hal wajar dan adil rasanya ketika presiden sering mengeluh bahwa gajinya tidak pernah naik untuk beberapa tahun ke belakang. Tapi, presiden mampu berbesar hati karena ia bisa memiliki pesawat khusus kepresidenan di tahun mendatang. Harga pesawat tersebut murah, sekitar Rp 500 miliar. Tak seberapa jika dibandingkan dengan APBN 2012 sebesar Rp 1.900-an triliun.
Namun, di tengah hedonisme para pemangku amanah negeri ini terdapat “bom” waktu yang siap meledak. Di tengah sikap boros anggota DPR dan pemerintah, ternyata negeri ini sangat mengkhawatirkan dalam berbagai segi. Mari kita lihat: di tengah pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% di tahun lalu terdapat utang yang besar. Jika dibagikan ke semua penduduk negeri ini, setiap orang harus menanggung beban utang sebesar Rp 7,4 juta.
Besarnya beban utang individu tersebut sepertinya tak mengkhawatirkan pemerintah. Malahan pemerintah bergembira karena negeri ini telah terhindar dari dampak krisis ekonomi Amerika dan Eropa. Memang itu terbukti melalui peningkatan pertumbuhan investasi sebesar 8,8%. Di lain pihak, kegembiraan pemerintah tak sebanding dengan beban utang yang harus dibayar di masa-masa mendatang, yaitu Rp 1.937 triliun di tahun 2012. Di tahun sebelumnya hutang negeri ini hanya Rp 1.803 triliun. Artinya ada penambahan utang sebesar Rp 134 triliun dalam satu tahun ini.
Dengan bertambahnya utang, pemerintah seperti tak merasa khawatir. Lambat laun, utang negeri ini bisa menembus angka Rp 2.000 triliun rupiah. Terlebih ditambah sikap boros pemerintah dan DPR. Pada faktanya, penambahan hutang tidak memberikan kesahjateraan pada masyarakat. Malahan semakin menyengsarakan rakyat. Lihat saja, di tengah renovasi gedung-gedung pemerintah, subsidi BBM menjadi ancaman baru rakyat miskin. Impor barang-barang kebutuhan pokok semakin menjamur dan lambat laun mematikan produksi lokal.
Rendahnya tingkat kesahjateraan masyarakat pun semakin terbukti dengan berbagai unjuk rasa kenaikan gaji. Unjuk rasa di jalan tol bisa menjadi budaya baru. Berdasarkan Survei Pusat Analisis Sosial (AKATIGA)-seperti dirilis kompas.com- ditemukan para pekerja tekstil dan garmen di Indonesia hanya bisa menutupi 62,4 persen biaya aktual rata-rata pekerja. Tidak hanya itu, berdasarkan survei ILO (Internasional Labour Organization) diperlihatkan 57,4 persen pekerja percaya bahwa pemerintah tidak menerapkan upah yang layak dengan baik.
Sikap hedonisme para pemangku amanah negeri ini dan didukung dengan rajinnya penambahan hutang harus dibayar dengan ketidaksejahteraan rakyat. Berbagai infrastruktur rawan rusak. Kebutuhan pokok semakin mahal. Tapi, pemerintah pusat dan daerah selalu hanya disibukkan akan kepentingan pribadi dan golongan. Tentunya sibuk dengan korupsi dan pencitraan partai politik. Rakyat hanyalah penonton dagelan berperut keroncong.
Entah siapa yang bisa menyadarkan nurani pemerintah untuk berhenti berboros ria sembari menambah utang. Entah siapa lagi yang bisa menghentikan mereka berprilaku hedonistik dengan uang pinjaman itu. Begitu banyak kekayaan alam negeri ini yang bisa dikonversikan untuk kesahjateraan rakyat. Tapi semuanya bagaikan garam ditelan lautan. Produksi emas di Papua semakin menyengsarakan rakyat tanah cendrawasih. Produksi minyak dan gas alam di Riau dan Aceh yang berbuntut tuntutan karena ketidakadilan. Masih banyak lagi. Lalu apakah kita sebagai bangsa harus terlena dengan utang yang besar itu? Apakah kita harus berdiam diri sementara kita harus menanggung beban utang tanpa bisa merasakannya? Ya, semoga kita masih bisa berbuat.
Sumber: Detik.com, Beritasatu.com dan Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar