Kabar  mengejutkan lagi-lagi menimpa bangsa Indonesia. Negeri yang kaya sumber  daya alam menjadi terhina dan di pandang sebelah mata oleh negara asing.  Betapa tidak, belakangan ini terbukti bahwa Indonesia melakukan impor  limbah. Di Tanjung Priok, Jakarta, ditemukan 113 kontainer limbah besi  (steel scrap) yang terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3).  Pengekspor limbah tersebut adalah Inggris dan Belanda.
Mengapa harus limbah? Apakah tidak puas  dengan impor bahan makanan, elektronik, dan otomotif sehingga limbah pun  harus di impor? Semakin kesal rasanya ketika ada petugas atau  perusahaan pengimpor yang mengatakan bahwa impor limbah sah-sah saja  demi pembangunan infrastruktu di negeri ini.
Bangsa dan negara ini sepertinya sudah  kehilangan akal dalam mengelola kekayaan alam dan melakukan pembangunan.  Begitu banyak logam mulia dan mineral alam yang hingga saat ini belum  dimanfaatkan. Malahan investor asing semakin gencar menanamkan modal di  negeri ini. Melihat kejahatan impor logam, pemerintah harus bertindak  tegas sebelum ini semakin meluas. Tak perlu takut pada negara-negara  seperti Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat. Karena ini sangat  berpengaruh pada harga diri dan masa depan tempat tinggal bangsa ini.
Apakah kita sebagai bangsa sudah lupa  bahwa limbah dalam negeri saja belum bisa teratasi. Lihatlah fenomena di  setiap musim hujan. Sungai meluap dan banjir menghadang. Lihat pula  betapa sungai-sungai di negeri ini banyak yang sudah rusak. Lihat pula  pengelolaan sampah yang tidak maksimal. Berbagai akibat pun ditimbulkan.  Penyakit dan bencana alam pun tak terhindari. Lalu, mengapa harus  mengimpor limbah?
Beberapa pihak terkait mengaku limbah  tersebut adalah logam yang katanya berguna untuk pembangunan di negeri  ini. Apakah mereka tidak berfikir bahwa limbah adalah barang-barang sisa  yang tidak berguna di negara maju. Menjadi sampah dan merusak  lingkungan. Sehingga harus dipindahkan. Terlebih limbah logam bukanlah  limbah yang mudah untuk dimusnahkan.
Nila setitik rusak susu sebelanga.  Itulah pepatah yang tepat untuk memperlihatkan ulah para pengimpor  limbah. Karena ulah mereka, nama baik bangsa dan negara ini tercoreng di  mata asing. Bangsa yang setiap tahunnya langganan dalam hal impor.  Kebutuhan makanan selalu impor, padahal negera agraris. Garam dan ikan  pun kita impor, padahal kita negara maritim. Sekarang, limbah pun kita  impor, padahal kita adalah negara yang penuh kubangan sampah. Mengapa  ini harus terjadi pada negeri kita?
Kutukan Tuhan
Saya pun bertanya-tanya, apakah  permasalahan impor limbah ini adalah kutukan dari Yang Maha Kuasa?  Kutukan yang timbul dari sinisme kita sebagai bangsa. Kutukan bagi  bangsa yang selalu malas dan tak mau bekerja keras. Begitu banyak  kekayaan alam negeri ini yang belum dimanfaatkan. Kekayaan alam- berupa  logam, seperti bijih besi, timah, alumunium- kita ekspor dengan harga  murah oleh negara maju. Negara maju pun menggunakannya untuk  kesahjateraan bangsanya. Setelah kelaikannya menurun, mereka pun  mengekspor sisa pakai itu ke negeri asal, Indonesia.
Beberapa pihak di negeri ini sangatlah  tak mengerti arti satu bangsa dan satu negara. Mereka selalu disibukkan  untuk kepentingan pribadi. Mereka tak peduli betapa pengaruh limbah  sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negeri ini.
Mungkin Anda pernah menonton film Wall  E. Sebuah film yang mengisahkan bumi sudah tidak layak untuk ditempati  manusia. Hal itu dikarenakan bumi telah berubah menjadi tumpukan sampah  yang tidak dapat didaur ulang akibat kemajuan teknologi pesat. Tapi,  untungnya mereka memiliki teknologi tinggi dan membuat pesawat luar  angkasa sebagai tempat mereka tinggal.
Lalu, apakah kita sebagai bangsa dan  negara tidak bisa mengambil pelajaran dari film tersebut? Apakah kita  harus menunggu dulu Indonesia tertutupi limbah di mana-mana? Jelas  tidak. Kita harus bersama-sama mendorong dan mendesak pemerintah untuk  bersikap tegas terhadap para pengimpor limbah tersebut. Jika itu tidak  kita lakukan, bersiaplah kita menjadi negara kubangan sampah.