Kamis (26/1), Seminar Nasional “Evaluasi Pemilihan Umum Kepala Daerah” resmi ditutup di Hotel Sultan, Jakarta. Seminar yang berlangsung tiga hari itu menyoroti berbagai peristiwa penting pemilukada di seluruh Indonesia. Sebelum penutupan, terlebih dahulu melanjutkan sesi III seminar, yaitu, “Pemilukada: Kini dan Masa Datang.
Dalam acara tersebut, berbagai tokoh datang. Mulai dari ketua MK, ahli hukum pidana, anggota DPR, dan wartawan. Selain itu, juga hadir perwakilan dari setiap kota/kabupaten yang mencakup KPU, Bawaslu, Panwaslu dan Polda. Acaranya meriah, pesertanya pun semangat. Itu terlihat di saat peserta seminar diberikan kesempatan untuk bertanya dan berpendapat. Saya juga bagian dari peserta itu. Tentunya peserta tentatif, pers.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan informasi ini dan sekaligus ingin memberikan komentar akan proses pemilukada di Indonesia selama ini. Tentunya pandangan itu bersumber dari proses diskusi dalam seminar nasional tadi.
Jujur saya mengantuk di ruangan seminar itu. Adem dan sejuk tentunya. Tapi rasa kantuk itu hilang ketika sesi tanya jawab berlangsung. Berbagai peserta berlomba-lomba untuk memberikan interupsi, baik berupa pertanyaan atau pun pernyataan. Dari sebelas peserta yang bertanya dan berpendapat, saya dapat menyimpulkan bahwa pemilukada di negeri ini masih jauh dari baik. Kesimpulan itu timbul ketika masih banyak peserta yang menanggapi politik uang, kecurangan sistematis, dan kekerasan yang diakibatkan menang dan kalah. Simpulan tersebut juga timbul ketika ada wacana untuk mengembalikan lagi pemilihan kepada daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Melihat realitas tersebut, saya pun pun berfikir, untuk apa pemilukada dilaksanakan secara langsung selama ini? Apakah untuk kepentingan golongan saja? Atau hanya sebatas uforia era demokrasi ? Mengingat pemilihan umum secara langsung oleh rakyat dimulai pada 2004 silam.
Masyarakat, khususnya di daerah tentunya belum banyak yang melek politik. Mungkin sebagian besar di antara mereka tidak mempedulikan proses pemilukada itu. Hal terpenting mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Melihat kondisi tersebutlah politik uang semakin merajalela. Satu suara untuk satu pasang calon pemimpin daerah hanya dihargai Rp 25.000- Rp 50.000, mungkin bisa lebih tinggi jika pasangan calon memiliki modal besar. Masyarakat daerah semakin tidak tahu bagaimana elit politik melakukan kecurangan sistematis, seperti penggelembungan suara.
Lebih hebatnya lagi, pemilukada menyisakan hal-hal negatif. Para wakil rakyat yang terpilih terjerat korupsi setelah mereka menjabat. Ada juga yang pecah kongsi dan tidak menyelesaikan kewajibannya. Ada juga partai politik/pasangan yang kalah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mirisnya lagi, bentrok antar pendukung calon tak dapat dihindari. Kekerasan horizontal tak dapat dielakkan. Malahan, baru-baru ini saya melihat kantor dan mobil di Kabupaten Bima di bakar massa. Konon masih terkait dengan pemilukada.
Lalu, masihkah kita mempertahankan pemilukada seperti itu? Pemimpin yang terpilih tidak amanah dan cenderung korup. Masyarakat pemilih hanya mendapatkan uang hasil jual suara sesaat. Pertumbuhan ekonomi di daerah lambat. Padahal untuk sekali pemilukada bisa menelan 15-30 miliar rupiah. Terlebih biaya pasangan calon, entah berapa yang harus dikeluarkan.
Oleh karenanya, apakah kita akan mengembalikan proses pemilihan kepada daerah ke DPRD ? Jika jawabannya iya, tentunya kita sudah merusak cita-cita demokrasi yang telah lama diperjuangkan bangsa ini. Jika tidak, bagaimana caranya pemilukada langsung itu bisa menghasilkan pemimpin yang benar? Semua peluang itu telah didiskusikan dan diperbincangkan dalam Seminar Nasional itu. Masukan dari berbagai pihak, seperti, ahli hukum, akademisi dan wartawan pun sudah diterima MK. Mungkin, untuk saat ini waktunya kita untuk melihat apakah hasil evaluasi tersebut benar-benar dijalankan oleh Pemerintah, MK dan DPR? Ya, semoga kita masih bisa berharap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar