Bagi Anda yang tinggal di Jakarta tentunya tidak aneh lagi dengan fenomena pengamen jalanan. Tapi, bagi Anda yang sesekali datang ke Jakarta mungkin menganggap ini adalah sebuah fenomena menarik. Tentunya, menarik untuk diamati dan dikomentari.
Siang itu, Senin (22/1), di sebuah angkutan umum - bus Metro Mini 640 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang- seorang bocah laki-laki barusan naik. Dia berumur kira-kira 15 tahun. Berkulit hitam dan berambut pirang. Di lengan tangan kanannya ada gelang. Di telinga terdapat anting logam berwarna silver. Bocah ini memakai kaus lusuh dan celana pendek yang lumayan kotor. Kakinya murni telanjang tanpa alas kaki.
Setelah menemukan posisi berdiri yang pas, ia pun mengucapkan salam dan permisi pada penumpang. Bekas botol susu ultra milk yang berisi pasir ia goncangkan. Suaranya pun keluar. Walaupun urat lehernya sudah keluar, suaranya tetap kalah dengan hiruk pikuk lalu lintas jalanan. Penumpang pun tidak ada yang peduli. Ada yang asik mendengarkan musik dengan headset di telinga. Ada yang tidur. Ada pula yang menatap ke luar jendela dengan sesekali menyeka tetesan keringat.
Selang lima menit, bocah tadi pun selesai dengan tugasnya. Tak lupa pula ia mengucapkan salam dan permohonan maaf jika ia mengganggung para penumpang. Setelah itu, ia mengeluarkan plastik kantong. Ia pun berjalan menyusuri lorong bus. Mengumpul rupiah demi rupiah dari keikhlasan para penumpang. Syukurnya, masih ada yang peduli dan memberi walaupun itu koin seratus atau lima ratus. Sesampai di pintu belakang, ia pun meminta turun pada sopir. Kakinya yang telanjang terlatih sekali meloncat dari bus sekalipun bus belum berhenti sempurna. Panasnya aspal sepertinya tak dirasakannya lagi. Bus pun berjalan dan bocah tadi pun menghilang.
Dari bocah tadi, begitu besar pelajaran yang bisa kita petik. Pelajaran terpenting adalah ucapan permisi dan minta maaf. Ingat, ini adalah kota megapolitan yang sangat matrealistik. Tapi, di tengah kerasnya kehidupan itu, bocah tadi mampu menunjukkan daya tahannya, terlepas itu dia sebenarnya tahan atau tidak.
Mungkin ada di antara Anda yang mengatakan, ucapan permisi dan maaf dari pengamen itu hanyalah penarik hati bagi orang lain. Dalam tulisan ini, saya mengesahkan saja pendapat Anda. Namun, hal terpenting adalah mampukah kita untuk belajar dari sana? Mengingat, kehidupan kita mungkin ada yang lebih baik dibandingkan pengamen jalanan tadi.
Pengamen jalanan adalah fenomena sosial di setiap negara dan kota. Amerika Serikat yang notabennya negara adidaya ternyata masih memiliki pengamen jalanan. Apalagi Jakarta yang merupakan ibukota negara Indonesia dan menjadi pusat perdagangan dan bisnis. Dengan perputaran uang yang sangat cepat, ditambah daya tarik ibukota membuat orang-orang di daerah berlomba-lomba memasuki Jakarta. Tak peduli, apakah mendapatkan pekerjaan atau tidak. Hal terpenting, ke Jakarta dulu deh.
Bocah tadi merupakan satu contoh di antara ratusan ribu atau mungkin jutaan pengamen jalanan di seluruh kota di Indonesia. Lalu timbul pertanyaan dibenak kita, salah siapakah ini?
Sebagai jawaban, pengamen jalanan telah berulang kali mendendangkan mengapa mereka menjadi pengamen. Bisa disimpulkan, dari senandung itu, mereka mengutuk pemerintah yang korup dan mementingkan diri sendiri. Mengutuk pemerintah yang membuat pembangunan di negeri ini tidak merata. Pengangguran ada dimana-mana. Harga bahan makanan semakin mahal. Jangankan untuk membiayai sekolah, untuk membeli sandal dan makan saja mereka sangat kesusahan. Mau tak mau kaki mereka harus direlakan bersentuhan dengan aspal panas sengatan matahari.
Wajar kiranya nasib mereka belum berubah ke arah lebih baik. Dendangan sindiran lagu mereka untuk pejabat pemerintah tidak pernah didengar oleh orang-orang bersangkutan. Pemerintah dan wakil rakyat bisa dibilang tidak pernah menggunakan angkutan umum dalam bertugas. Mobil-mobil mewah telah membatasi mereka untuk mendengarkan dendangan hati para pengamen jalanan. Sungguh sangat disayangkan. Coba seandainya para pejabat mencoba menggunakan angkutan umum, tentunya akan berkurang pengamen di negeri ini.
Tapi, apalah daya dendangan lagu pengamen Jakarta dan di kota-kota lain menguap seiringan panas lalu lintas. Bersyukur bila cucuran keringat berbalas recehanan kepingan rupiah. Semoga itu cukup untuk makanmu sehari-hari dan membeli sandal jepit. Semoga suaramu tak sia-sia di hadapan Tuhan kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar