“Seribu aja.. seribu aja,” teriak gembira sekelompok muda-mudi di kemacetan lalu lintas Jl. Ir. H. Juanda, Dago, Bandung. Petang telah lalu, magrib pun telah usai. Malam telah menjelang diiringi teriakan muda-mudi menyanyikan seribu aja.
Sembari bernyanyi, seorang muda membunyikan gitarnya. Menyesuaikan irama. Memperindah suara, mengimbangi suara temannya yang terkadang terdengar sumbang.
Perlahan-lahan mereka mendekati mobil-mobil pribadi. Kebanyakan mobil ini berpelat B. Wajar, akhir pekan Bandung seperti tak lagi berpelat D, tetapi berpelat B mengingat banyaknya warga Jakarta menikmati akhir pekan di kota kembang ini.
Bagi sebagian orang baru, ulah muda-mudi menyanyikan seribu aja menjadi hiburan tersendiri. Tapi tidak bagi mereka yang terbiasa. Muda-mudi ini merupakan mahasiswa perguruan tinggi di Bandung dan sekitarnya. Aksi mereka pun seperti dimaklumi oleh para warga Kota Bandung.
Namun, dari nyanyian seribu aja, terdengar lirih jeritan para pengamen dan anak jalanan. Akhir pekan merupakan ladang uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh para warga yang hidup dijalanan. Tapi sekarang tidak. Recehan uang yang seharusnya dikantongi para penghuni jalanan harus berpindah ke tangan para mahasiswa. Miris, terlebih uang itu digunakan oleh mahasiswa untuk mengadakan suatu acara yang mengedepankan foya. Tak seperti penghuni jalanan yang membutuhkan uang demi menyambung hidup.
Ya, seribu aja selalu terngiang-ngiang ditelingaku ini. Terlebih ketika aku melewati jalan utama itu. Mereka tetap eksis. Bersanding, berpacu, merebut recehan uang walaupun uang seribu dengan anak jalanan dan pengamen jalanan.
Mereka mungkin lupa, seribu aja telah mencerminkan apa yang mereka pikirkan. Sosok akademisi yang seharusnya mengedepankan pemikiran harus bertekuk lutut di jalanan. Di tengah-tengah asap kendaraan kota, mereka mampu tertawa riang. Mengeroyoki para pengemudi kendaraan, mengumpuli uluran tangan terisi uang receh demi suatu event atau acara.
Aku bingung, ingin mencoba merasakan. Apa rasanya menyanyikan seribu aja di tengah hiruk pikuk lalu lintas. Klakson pengemudi tak sabaran seolah-olah menjadi nada baru pengiring suara gitar demi menutupi suara sumbang tak karuan.
Ah, seribu aja terus terngiang ketika aku tuliskan gejolak pemikiranku. Tak sanggup mencerna kata seribu aja. Apakah ini nada paksaan? Atau kepasrahan jiwa yang hanya mampu mengumpulkan seribu demi seribu aja hingga malam semakin dingin? Atau jangan-jangan. Sudahlah mereka akan terus bernyanyi. Mereka, kini nanti dan akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar