“Hore.. hari ini ulang tahunku” teriak Panca berlarian di depan rumah kayu beratap rumbia.
“Hati-hati jatuh,” teriak ibu Panca sembari terus membersihkan beras dari ulat beras hitam.
“Bu, hari ini ada makan apa? Aku kan lagi berulang tahun?”
“Kita makan seperti biasa Panca. Nasi ditemani ikan asin dan sayur kangkung.”
“Ohh.”
Panca pun meninggalkan ibunya yang baru saja selesai menghilangkan ulat beras. Begitulah pekerjaan ibunya sebelum menanak nasi, menghilangkan ulat.
Tepat 5 Juni 1945 Panca dilahirkan. Suasana mencekam dalam peperangan mewarnai isak tangis Panca. Desingan peluru, teriakan merdeka menjadi nada alam menyambut kehadirannya. Pada hari ke 152 dalam kalender Georgian atau hari ke 153 di kalender kabisat, Panca hadir ditengah keluarganya. Ia masih bersyukur sekarang masih memiliki ibu dan empat orang kakaknya. Ayahnya tak jelas ia ingat. Tewas di medan pertempuran bersama tentara Indonesia, begitu cerita yang ia dapatkan dari ibunya.
Sekarang panca telah berumur lima tahun. Bocah lelaki yang memiliki harapan besar di masa mendatang. Walaupun tinggal di rumah kayu beratap rumbia, Panca tetap sehat. Hatinya tenang. Sesekali tetasan air hujan malam membasahi wajahnya sehingga ia terbangun. Cahaya matahari siang mencoba bersembunyi masuk ke rumah panca melalui lobang-lobang rumbia.
“Panca, makan Nak,” teriak ibunya.
Kebetulan hari ini keempat kakak laki-lakinya sedang tak dirumah. Jika digabung, Panca bersaudara selaiknya Pandawa Lima dipenokohan wayang. Ada Yudistira, Bhimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sengaja tak berurutan. Panca ingin menjadi lelaki selaiknya Arjuna. Tegas dan memiliki pendirian.
“Iya Bu,” ujar Panca mendekati meja makan.
Ada semangkok nasi. Warnanya putih kekuning-kuningan. Lima potong ikan asin bakar terletak di piring kecil. Di meja itu juga ada semangkok sayur kangkung. Kangkung yang dipetik Panca kemarin sore ketika berkunjung ke sawah pamannya di desa seberang. Desa Maipo, tepatnya bersebelahan dengan desa Panca, Rainawi. Tak jelas pasti oleh Panca desanya masuk administrasi mana. Yang jelas, lima tahun Panca hidup ia berada di negara yang merdeka, Indonesia.
Sembari makan, ibunya pun bercoleteh banyak hal. Tentang masa depan Panca dan negeri dimana Panca bertempat tinggal.
“Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, mungkin kau telah berperan besar di negeri ini Nak,” ujar ibunya sambil terus menyuapkan nasi ke mulut Panca. “Kau harus tau nak, ketika Kau dilahirkan, negara Indonesia belum merdeka. Masih dijajah Jepang. Tepat 1 Juni 1945, Soekarno atau dikenal Bung Karno mencetuskan gagasannya berupa Pancasila. Panca artinya lima, jadi lima sila.”
Sambil mengunyah makanan, Panca terus mendengarkan ibunya. Pastinya ia tak mengerti apa yang ibu bicarakan. Walau tak mengerti Panca terus mendengarkan ibunya.
“Pancasila itu membicarakan banyak hal Nak. Ada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial,” jelas ibunya.
Hanya keadilan yang dimengerti oleh Panca. Jelas teringat ketika ibunya berbagi jambu biji pada Panca dan tiga orang temannya. Masing-masing mendapatkan dua butir jambu biji. “Harus adil dalam berbagi,” terngiang ibunya menjelaskan padanya dulu.
Nasi dipiring akhirnya habis. Panca telah kenyang. Di meja makan masih tersisa nasi beserta lauk untuk keempat kakaknya. Kantung pun menyerang Panca. Lambat laun Panca pun tertidur dikursi kayu. Terlelap dan bermimpi.
Jalanan panjang telah dilalui. Banyak hal telah disaksikan. Suka duka tak terelaki. Menjadi bumbu indahnya kehidupan. Telah 67 tahun hidup, Panca merasakan dirinya tak berdaya lagi.Wajahnya keriput. Untuk jalan pun suli
Jelas terlihat di depan matanya kekerasan merajalela. Masyarakat miskin kian bertambah. Berbanding terbalik dengan berkurangnya sumber daya alam bangsa ini. Tak ada lagi ketenangan. Beberapa umat harus berhadapan maut di saat beribadah. Kesahjateraan semakin sulit dicari. Dibantaran rel kereta api atau dipinggir sungai yang telah tercemar. Rumah bertingkat, jalan raya serta gemerlap kota telah membuktikan bahwa negeri ini sudah tua. Entah sampai kapan bisa bertahan.
Korupsi merajalela. Hukum tak lagi ditegakkan. Tajam pada mereka tak berpunya. Tumpul pada mereka berkantung tebal. Semua orang berharap. Tapi harapan itu tak kunjung datang. Entah siapa yang bisa membereskan semua permasalahan bangsa ini.
Di ujung jalan, Panca merenung. Panas terik matahari kota megapolitan Jakarta tak hirau. Panca merasa dirinya tak berguna lagi. Ada panca atau lima hal yang ibunya pernah katakan. Ada ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Semuanya lambat laun telah tergerus. Panca merasa tak sanggup lagi menegakkan kelima hal tadi. Pastinya dibutuhkan Panca-panca baru berjiwa kesatria selaiknya Arjuna memerangi angkara murka Kurawa. Duh Panca, sungguh memperihatinkan keadaanmu.
. Elusan tangan lembut ibu dikeningnya membuat Panca kecil pun tersentak bangun. Terbangun, lalu ia tercenung sejenak. Berusaha mengingat-ingat mimpi yang ia peroleh. Semakin dalam ia mengingat, semakin hilang ingatan itu. Panca tak sanggup menggapai. Ia hanya bergumam. Suatu saat ia kan menggapai itu semua.
Cerpen 1 Juni 1945-1 Juni 2012 : Selamat Lahir Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar