Para pengarang di negeri minim apresiasi. Maka, tak heran bila sering dijumpai mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Ada sebuah esai sarkastis yang ditulis penyair Sitok Srengenge di sebuah media yang menceritakan pengalamannya ketika hendak membuat kartu tanda penduduk (KTP) di kelurahan. Dia diminta mengisi formulir seperti pekerjaan. Sitok bingung ketika akan mengisinya sebagai penyair, sastrawan, novelis, atau cerpenis.
Tampaknya, pekerjaan penulis belum diakui di negeri ini. Uniknya, dalam kolom profesi malah terdapat ‘paranormal.’ Sastrawan kondang itu berpendapat, di negara terbesar keempat dunia ini para normal lebih dikenal daripada penulis!
Kisah tersebut sekadar menggambarkan bahwa penulis atau pengarang dan turunannya seperti novelis, cerpenis, penyair, kolomnis, dan seterusnya sangat kurang dihargai. Para pengarang juga mesti memperjuangkan sendiri honor yang tak pernah mengikuti inflasi.
Sesungguhnya, menulis atau mengarang adalah pekerjaan yang seharusnya immaterial. Bahasa lugasnya, kalau mau mengarang, jangan memikirkan honor karena hanya akan memperburuk kualitas karya. Begitulah dia mengarang bukan untuk mencari uang. Di sisi lain, ada pengarang yang mencari uang. Dengan kata lain, dia menulis untuk mencari nafkah seperti sebagai novelis.
Gambaran tersebut mau menjelaskan betapa miris nasib kaum pengarang. Mereka kerap tidak dipedulikan penerbit. Padahal penerbit adalah pihak yang bekerja sama secara fair dengan para pengarang. Untuk itu, sudah seharusnya ada "peninjauan kembali" hubungan antara pengarang dan penerbit terutama dalam persentase penghargaan pada penulis.
Dalam penerbitan buku, misalnya, tak jarang pengarang hanya memperoleh tak lebih dari sepuluh persen laba hasil penjualan. Surat kabar acap kali lamban memenuhi kewajiban terhadap pengarang. Selain honor yang diterima kecil, pelunasannya pun terkadang membutuhkan waktu yang sangat lama.
Di sisi lain, tulisan para pengarang juga sering tidak dihargai hak intelektualnya, sehingga banyak yang meniru (memplagiat). Memang dalam era digital sangat meudah membajak tulisan. Banyak yang melakukan peniruan atau mengambil saripati untuk dikembangkan menjadi tulisan baru. Praktik plagiasi bahkan terjadi di kalangan pendidikan di mana untuk memperoleh gelar kerap kali harus meniru hasil karanya orang lain.
"Budaya" membajak amat kuat di masyarakat. Honor yang kecil diperparah dengan perilaku gemar membajak. Jadilah pengarang ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sampai kini perlindungan hukum terhadap hasil karya sastra belum maksimal. Semua pihak harusnya menghargai hak-hak intelektual seseorang.
Hak
Hak cipta merupakan perlindungan hukum yang diberikan kepada pengarang atau pekerja seni atas karya di bidang ilmu pengetahuan, sastra, dan seni. Pemegang hak cipta dan ahli warisnya memiliki hak eksklusif buat (atau memberi izin pihak lain untuk) menggunakan karyanya.
Pemegang hak cipta juga berhak mencegah pihak lain untuk mereproduksi karya dalam segala bentuknya, mengumumkan, menerjemahkan ke bahasa lain, dan/atau mengadaptasi karya seperti dari novel ke skenario untuk sebuah film atau sinema televisi. Namun pelanggaran tetap saja masih sering terjadi.
Istilah copyright berasal dari negara-negara dengan sistem common law. Dalam sistem civil law, di mana Indonesia merupakan penganutnya, hak cipta dikenal dengan istilah author’s right atau droit d’auteur, dereco de autor, Urheberrecht (Graeme B Dinwoodie dalam Dina Widyaputri Kariodimedjo, 2010).
Copyright terdiri dari hak ekonomi dan moral. Hak ekonomi adalah memberi eksklusivitas pencipta untuk memperoleh manfaat finansial dari karyanya. Hak ekonomi meliputi untuk memperbanyak, mendistribusi, menerjemahkan, mengadaptasi, membuat pertunjukan, dan/atau memperagakan suatu karya.
Hak moral terdiri dari paternity right, integrity right, dan privacy right. Hak ekonomi dapat dipindahtangankan ke pihak lain yang dapat juga memindahkannya lagi. Hak ekonomi memiliki masa berlaku. Sementara hak moral tidak dapat dipisahkan dari pengarang dan ahli waris serta berlaku selamanya.
Maka, jelaslah bahwa pengarang sejatinya memiliki hak ekonomi dan moral yang inheren. Namun kenyataannya, kedua hak tersebut belum dimengerti pengarang yang biasa meniru. Budaya membajak di negeri ini sudah kronis, sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Hak ekonomi, buat para pengarang, barangkali memang ada. Sebagian pengarang dapat hidup hanya dengan honor (yang jauh dari pantas) dari tulisan-tulisannya. Namun, jumlah mereka amat kecil. Hanya pengarang yang "punya nama" bisa dikatakan berdikari dengan karyanya. Selebihnya, pengarang hidup dari penghargaan yang begitu kecil dari penerbit. Tragisnya, "pihak lain" itu malah mendulang keuntungan ekonomi lebih besar ketimbang pengarang sebagai pemegang hak cipta.
Kendati hak ekonomi pengarang memiliki permasalahannya sendiri, tantangan terberat justru datang dari penegakan hak moral. Indonesia adalah negara dengan peringkat pembajakan cukup tinggi. Perangkat lunak komputer dan karya digital lain menjadi sasaran pembajakan yang utama. Anehnya, kenapa bangsa ini tidak mampu "membajak" teknologi otomotif, sehingga sampai sekakrang belum merdeka dari "penjajahan" karya otomotif Jepang, Korea Selatan, dan Eropa.
"Budaya" membajak rupanya juga melanda karya tulis. Masyarakat amat gemar memplagiasi karya orang lain. Padahal setiap karya tulis memiliki hak moral yang privat kakrena menunjukkan keunikan pengarangnya. Penegakan hak cipta semakin mendesak. Namun harapan tersebut masih jauh dari kenyataan karena tampaknya pemerintah sendiri tidak terlalu fokus. Sebab penegakan hukum yang lebih besar pun sangat belum memuaskan.
AP Edi Atmaja
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum,
Universitas Diponegoro
sumber dari Koran Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar