Baru-baru ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan pemerintah tidak mau hanya mendapatkan royalti 1% dari kontrak karya pertambangan dengan PT Freeport Indonesia. Oleh karenanya, pemerintah akan melanjutkan renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang asal negeri Paman Sam tersebut.
Kontrak karya Freeport Indonesia dimulai pada 1967 untuk masa 30 tahun. Pada 1991, kontrak karya diperbaharui lagi untuk 30 tahun berikutnya. Ini berarti kontrak karya Freeport akan berakhir pada tahun 2041. Dalam rentang waktu tersebut, Freeport Indonesia hanya memberikan royalti sebesar 1% untuk emas, serta 1,5% - 3,5% untuk tembaga. Dibandingkan negara lain, royalti tersebut sangat rendah yang rata-rata sebesar 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak.
Tidak hanya kontrak karya PT Freeport Indonesia. Di PT Newmont Nusa Tenggara, pemerintah pun harus bersitegang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (DPR). Ketegangan itu terkait pembahasan divestasi tujuh persen saham PT Newmont. Dalam proses divestasi tersebut, pemerintah tidak ingin jual beli saham itu harus mendapatkan persetujuan DPR.
Negeri Kolam Susu
Di tengah usaha pemerintah untuk mendivestasikan saham dan menambah besaran royalti, terngiang lirik lagu Koes Plus, “Orang bilang tanah kita tanah surga, Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Lagu Koes Plus itu benar adanya. Dalam buku “Surrendering to symbols (2006)” karya Stig Aga Aanstad dibuktikan masa-masa keemasan Indonesia. Indonesianis asal Norwegia itu mengingatkan bahwa RI adalah bangsa besar. Bagi negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Uni Sovyet, dan Cina, Indonesia mustahil untuk diabaikan. Dengan jumlah penduduk yang besar, perairan yang luas dan menjadi jalur perdagangan internasional terpenting di wilayah Asia Pasifik. Indonesia pun sangat kaya dengan kekayaan alam. Aanstad mengatakan, siapa yang menguasai Indonesia, maka ia akan memegang kendali atas Samudra Hindia-Pasifik.
Apa yang diungkapkan Aanstad sangat berbeda dengan kondisi negeri ini. Setelah 66 tahun negeri ini merdeka, kesahjateraan dan kemakmuran rakyat tak kunjung tercapai. Negeri yang kaya dengan bahan tambang seperti Papua terpaksa hidup menderita. Berbagi konflik terjadi. Pertumpahan darah sesama bangsa tak terelakkan. Namun, pihak asing sedang bertepuk tangan sambil terus mengekploitasi 'kolam susu' negeri ini.
Kondisi di atas sesuai dengan apa yang diungkapkan Michael D Ross pada buku “Escaping The Resource”. Seperti dikutip dari tulisan Budi R Minulya, “Penemuan minyak (SDA) selalu memunculkan impian akan kemakmuran bagi masyarakatnya. Namun demikian, keterlimpahan sumber daya tersebut akan menjadi “kutukan” sumber daya alam jika tidak dikelola secara baik. Kesenjangan menjadi bagian dari potret “kutukan” ini, baik kesenjangan sosial, kesenjangan ekonomi serta kesenjangan politik dan struktural.
Mungkin kita belum saatnya berharap besar pada keberanian pemerintah untuk menasionalisasi semua perusahaan tambang di negeri ini. Keberanian Presiden Venezuela Hugo Chavez menasionalisasi belum bisa diterapkan oleh negeri ini. Bukan tidak mampu, tapi tidak berani.
Peluang menasionalisasi itu mungkin bisa jika bangsa ini memiliki pemimpin seperti Bung Karno. Seperti yang diungkapkan Stig Aga Aanstad, Bung Karno pernah mengancam akan menasionalisasi sektor migas pada periode pemerintahannya. Bung Karno mengintrodusir UU no 44 tahun 1960 yang menegaskan, “Eksplorasi migas hanya dilakukan negara dan Permigan serta Pertamin berhak menambang atas nama negara.” Tahun 1962 Permin bahkan telah mendirikan akademi perminyakan independen. Ini pertanda RI bebas dari ketergantungan teknologi asing. Lalu bagaimana sekarang dengan permainan asing di perminyakan nasional? Apakah kita mengimpor?
Menjelang tahun 2041 (berakhirnya kontrak karya PT Freeport), kita sebagai bangsa harus mengelus dada melihat sumber daya alam kita dikuras habis. Bisa dibayangkan setelah sumber daya itu habis, negeri cendrawasih akan ditinggalkan dengan berbagai masalah. Melihat ke belakang, bisa kita saksikan bagaimana bekas PT PN Timah di negeri Laskar Pelangi (Bangka Belitung). Persoalan HAM dan lingkungan menjadi luas. Rakyat miskin tanpa sempat merasakan nikmat Tuhan di bumi yang mereka tempati.
Di tengah memanasnya situasi politik dan hukum di negeri ini. Sebagai bangsa kita harus tetap mengingatkan pemerintah agar mengutamakan kepentingan rakyat. Tidak lagi masalah tambang atau migas, begitu banyak ketergantungan negeri ini. Dengan jumlah hutang hampir 2000 triliun rupiah, negeri agraris ini harus bertekuk lutut menghadapi gempuran impor kebutuhan pokok. Negeri dengan 2/3 luas laut harus impor garam dan ikan.
Pada, Selasa, 21 Februari 2012, di Diskusi Komisi Hukum Nasional (KHN) Jakarta tentang Kedaulatan Ekonomi Nasional, ada peserta yang bertanya. Pertanyaannya simple tapi mengena. Ia berujar, “Melihat kondisi negeri Indonesia saat ini, kenapa negara kita belum hancur juga. Kenapa?”
Pertanyaan itu sulit di jawab. Saya hanya menerka, mungkin Tuhan masih memberikan kesempatan bagi bangsa ini untuk mensyukuri semua pemberiannya. Bukan untuk diboroskan pada penjajahan ekonomi asing. Ya. Semoga kita masih bisa bertahan di waktu-waktu mendatang.
Sumber: Tempo.co, MI, Desain Hukum Newsletter, Detik,Kompas dan bahan bacaan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar