Lagi-lagi citra negatif melekat pada Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak hanya korupsi, PNS sudah berani mangkir dari kewajiban dinasnya untuk melayani kepentingan publik. Citra negatif itu diperlihatkan pegawai sipil Kabupaten Subang, Jawa Barat. Mereka menutup pelayanan publik di Pemerintah Kabupaten Subang mulai bidang kesehatan, pendidikan dan pelayanan publik tingkat kecamatan hingga pemerintah desa.
Ulah PNS ini, seperti dikabarkan media massa, terkait vonis 5 tahun Bupati Subang nonaktif, Eef Hidayat. Berkedok aksi solidaritas, PNS di kabupaten tersebut berbondong-bondong menuju Jakarta untuk melakukan demo. Kabarnya, mereka akan melakukan mogok hingga 3 bulan mendatang jika vonis itu tetap dijalankan. Sebagai informasi, Eep Hidayat adalah bakal calon Cagub dari PDIP dalam pemilihan kepala daerah mendatang.
Di bidang korupsi, citra negatif PNS seperti biasa diperlihatkan melalui rekening pribadi miliaran rupiah. Baru-baru ini, pemberitaan "Gayus Jilid II" semakin santer. Seorang pegawai Direktorat Jendral Pajak (Ditjen Pajak), Dhana Widyatmika dicurigai melakukan korupsi bersama isterinya berinisial DA. Dikabarkan ia memiliki rekening melebihi Rp 60 miliar. Lebih hebat dari pada Gayus yang memiliki uang sejumlah Rp 28 miliar.
Korupsi PNS yang terkuak semakin meyakinkan publik akan kebobrokan PNS. Terlebih Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan hasil penelusuran terhadap rekening mencurigakan milik PNS muda. Dari penelusuran tersebut, ada 1.800 rekening bernilai puluhan hingga ratusan miliar. Selain itu, tercatat 50 persen PNS muda terindikasi korupsi. Bahkan ada 10 PNS muda yang ditemukan melakukan transaksi hingga miliaran rupiah.
Di tengah citra negatif PNS di mata publik, anggara pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 masih banyak dihabiskan untuk membiayai belanja pegawai. Dalam APBN 2012, belanja pegawai mencapai angka terbesar yaitu 22, 36 persen atau sebesar Rp 215, 73 triliun.
Pembelanjaan pemerintah daerah pun banyak dihabiskan untuk belanja pegawai, dibandingkan untuk pelayanan publik dan pembangunan. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyatakan, belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD. Malahan di 116 kabupaten/kota malah mencapai 60-70 persen APBD.
Besarnya uang rakyat yang dihabiskan untuk biaya PNS tidak sebanding dengan apa yang didapatkan publik. Sebagai pengguna layanan PNS, seharusnya publik berhak atas uang yang mereka bayarkan pada negara melalui pajak. Pelayanan publik mendasar seperti pelayanan pembuatan KTP, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP) seringkali menyusahkan masyarakat.
Besarnya pembiayaan belanja pegawai, membuat masyarakat mengeluh akan pembangunan infrastruktur publik. Kita lihat saja, begitu banyak tratoar yang tidak bisa dimanfaatkan masyarakat. Begitu banyak jalan yang rusak tak diperbaiki. Banyak juga drainase atau parit yang tak berfungsi, sehingga mengakibatkan banjir.
Di tengah sibuknya pemilihan kepala daerah, PNS pun seharusnya tidak ikut-ikutan berpolitik praktis. Tapi itu telah terjadi sekarang. Di beberapa daerah, dalam pemilukada gubernur, seringkali PNS di setiap kabupaten mendukung bupati mereka. Politik praktis itu terang sekali terlihat ketika PNS tersebut beratribut cagub dan cawagub sembari memberikan dukungan langsung debat calon yang biasanya ditayangkan di salah satu televisi swasta.
Jika citra negatif PNS ini tidak segera diperbaiki, lambat laun PNS bisa-bisa tidak dipercaya oleh masyarakat. Tentunya kita sebagai bangsa tidak ingin, citra PNS sejelek citra anggota DPR yang seringkali korupsi. Padahal Mendagri memiliki kewengan penuh untuk mengatasi kondisi PNS. Misalkan, untuk politisasi PNS, Mendagri berhak menerapkan Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang melarang PNS dipolitisasi. Terlebih telah jelas ketegasan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Kedua peraturan itu telah tegas memberi sanksi jika ada dugaan keterlibatan PNS dalam politik praktis.
Oleh karenanya, sebagai publik sudah selaiknya kita mengontrol dan menjaga indepedensi PNS untuk pelayanan publik yang maksimal. Jangan dibiarkan politisasi PNS berkedok solidaritas pegawai di jajaran kabupaten/kota. Jika itu dibiarkan besar kemungkinan PNS di daerah-daerah lain untuk berbuat serupa. Untuk korupsi di tubuh PNS, dukungan terhadap KPK penting untuk dilakukan. Rekening-rekening gendut PNS muda tak patut terus terjadi. Jangan biarkan Gayus-Gayus terus berjilid memenuhi catatan hitam hitam PNS. Semoga indepedensi para pelayan publik tetap bisa terjaga demi kemajuan bangsa dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar