Saya akui, dari keempat seri buku Dee: Supernova, Partikel memiliki daya tarik yang luar biasa bagi saya. Cerita penuh konflik batin, keluarga, dan sosial menjadi bumbu hebat dalam tulisan bernas Dee. Cerita Zarah dalam Partikel menjadi lebih hebat lagi ketika Goenawan Mohammad mengangkatnya dalam tulisan Catatan Pinggir-Tempo. GM mengangkat ide Partikel menjadi cerita tentang bagaimana seorang anak kecil (Zarah) menunjukkan apa yang ia percayai dan bagaimana mereka percaya. Untuk itu, sebagai bentuk rasa kagum saya pada kedua karya di atas, saya abadikan tulisan tentang Partikel di Caping GM di blog saya.
Zarah
Senin, 15 Oktober 2012
Anak-anak, dengan cara apa mereka percaya?
Dalam novel Dee, Partikel, kita bertemu dengan Zarah. Anak perempuan ini dididik dan dibentuk ayahnya, Firas, dosen Institut Pertanian Bogor yang tak hendak mengirimnya ke sekolah. Firas sendiri kemudian berhenti pergi ke kampus. Ia hanya jadi guru anaknya. Di bawah asuhan bapak yang kelak hilang itu, Zarah akan bertemu dan memasuki pengetahuan dan pengalaman yang tak lazim.
Firas seorang peneliti (dan sahabat) tumbuh-tumbuhan yang meletakkan fungi di status istimewa. Baginya fungi bukan saja membuktikan diri sanggup bertahan hidup melampaui dua kiamat ketika bumi ditabrak asteroid. Firas juga yakin, fungi adalah makhluk dengan kecerdasan super, melampaui manusia.
Dari sini kemudian ia berangsur-angsur membawa Zarah ke pengetahuan tentang hal-ihwal yang "gaib", tapi sebenarnya gaib hanya bagi yang tak mau tahu. Ayahnya mengajaknya ke Bukit Jambul yang misterius.
Setelah pengalaman di bukit yang dijauhi orang itu Zarah pun tahu, ayahnya mencatat pertemuannya dengan makhluk yang tak datang dari bumi, alien, meskipun merahasiakannya sampai akhir.
Pada suatu hari sang ayah menghilang. Sejak itu Zarah—yang mengagumi ayahnya dan mengiaskannya sebagai "dewa"—mencarinya. Ia masuki pengalaman dari satu benua ke benua lain, sampai novel yang mengasyikkan ini berhenti—atau berhenti sebentar, sebab fiksi ini (delapan tahun setelah episode Petir terbit pada 2004) tampaknya masih akan berlanjut.
Zarah adalah sebuah pencarian panjang. Ia sejumlah pertanyaan hidup yang mengusik jawaban-jawaban yang mati. Di dunia yang dibentuk jawaban seperti itu, ia seorang asing yang ditampik.
Syahdan, ketika ia akhirnya masuk sekolah—setelah ayahnya tak ada lagi—Zarah mulai merasakan posisinya yang asing itu. Ia tak bisa meletakkan keyakinannya di antara keyakinan yang telah dikukuhkan masyarakat.
Pertanyaan: "Kamu ibadah di mana dong, Zarah?"
Jawab: "Di kebun."
Pertanyaan: "Kamu menyembah apa?"
Jawab: "Jamur."
Dan Zarah dikeluarkan dari kelas ketika ia mengajukan satu teori yang ia dengar dari ayahnya yang berbeda dengan cerita agama tentang kejadian manusia. Bagi gurunya, Bu Aminah, "tidak ada versi lain" selain kisah tentang Adam dan Hawa.
Ketika Zarah mengatakan versi agama belum tentu benar, Bu Aminah meminta murid yang ganjil itu diskors. Guru itu menganggapnya "melakukan penghinaan atas dirinya, atas Alquran, dan atas Islam".
Zarah mencoba memprotes. "Kenapa Bu Aminah harus tersinggung dengan cerita saya? Kalau beliau nggak percaya dengan cerita saya, kan, saya juga nggak marah."
Tapi anak itu harus menghadapi sebuah garis lurus yang tunggal. Kakeknya, yang ia panggil Abah, seorang alim dan pengusaha terpandang di dusunnya, menegaskan garis lurus itu dengan amarah yang keras, begitu ia dengar bahwa cucunya menimbulkan heboh di sekolah.
"Dengar, Zarah," katanya. "Kita ini keluarga Islam. Sampai mati, kita semua tetap Islam. Mulai hari ini cuma boleh ada satu kebenaran yang kamu bawa ke sekolah. Dan ke mana pun kamu pergi nanti, kebenaran itu tidak berubah. Jangan berani-berani kamu pertanyakan. Mengerti?"
Zarah akhirnya tunduk. Ia bersedia dikirim ke sebuah pesantren "kilat" untuk memperbaiki imannya. Selama sebulan itu ia mengiyakan semua yang dikatakan para pembimbingnya. Ia tak hendak beradu argumen.
Orang-orang pun menyangka ia telah berubah jadi manusia baru. Tapi justru pada saat itulah Zarah sepenuhnya membangkang. Anak ini pulang dari pesantren dengan "kesadaran baru". Tapi sebenarnya ia mengikuti sikap ayahnya. "Aku adalah Firas berikutnya," katanya. "Inilah pemberontakan pertamaku."
Dengan cara apa anak-anak percaya?
Saya punya cerita lain, kali ini bukan fiktif: cerita seorang penyair yang "terkutuk". Arthur Rimbaud, sastrawan Prancis akhir abad ke-19 yang dianggap jadi pelopor Surealisme pada usia muda, menulis dengan rasa tak suka yang sengit tentang kepercayaan Kristiani—ajaran yang ditanamkan kepadanya di waktu kecil oleh ibunya. Sajak "Les pauvres à l’église" (Orang-orang Miskin di Gereja) menyebut "iman yang bodoh dan mengemis-ngemis". Sajaknya yang lain, "Soleil et chair" (Matahari dan Daging), meneriakkan "jangan ada tuhan-tuhan lagi".
Rimbaud, yang lahir pada 1854 dan berhenti menulis pada usia 20, berbeda dengan Zarah dalam novel Partikel.
Rimbaud—yang kemudian disebut sebagai salah satu dari "penyair-penyair terkutuk", les poètes maudits—menyerukan keharusan "modern sepenuhnya"; dalam "Soleil et chair" ia tegaskan bahwa "Manusia" adalah Raja dan Tuhan. Sebaliknya Zarah dididik ayahnya agar mengerti bahwa manusia cuma makhluk di tengah fungi, dan tak lebih hebat. Ada perspektif pascamodern di sini.
Tapi baik bagi Zarah maupun Rimbaud, Tuhan didatangkan ke dalam hidup dengan kaki yang menginjak. Dalam sajak "Les poètes de sept ans" (Para Penyair di Usia Tujuh Tahun) Rimbaud dengan menyentuh dan menusuk menggambarkan seorang anak yang tiap hari Minggu diharuskan ibunya membaca Injil. Anak itu tak membantah. Tapi ia takut akan hari-hari Minggu itu, terutama di bulan Desember yang pucat, ketika ia harus duduk menghadapi meja mahagoni yang berat dan membaca Alkitab.
Tiap malam di kamarnya yang kecil
mimpi-mimpi menindasnya
Ia tak mencintai Tuhan; ia mencintai manusia.
Kita tahu ia anak yang tak bahagia. Tapi dengan cara apa ia percaya?
Saya bayangkan anak-anak seperti arus hulu yang tercurah, yang tak menentukan hilirnya sendiri. Kemudian dunia yang dihuni orang-orang tua menampungnya dengan waswas. Ada yang jadi sungai deras, ada yang tersekat di waduk persegi. Di bawah itu, Tuhan terasa sebagai Tuan yang membuatnya cuma terdiam.
Goenawan Mohamad
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar