Kawan, kali ini aku akan bercerita tentang semangat juang anak kecil. Semangat juang tak kenal lelah untuk tetap hidup dan bersekolah. Baiklah, aku akan mulai bercerita.
Senin, merupakan hari yang biasanya membuat orang menjadi malas untuk melakukan aktivitas. Di mana di hari sebelumnya bergelut dengan waktu libur, Sabtu dan Minggu. Berbeda denganku, aku harus terus memacu semangat untuk menghadapi hari Senin. Ini semua dikarenakan setiap Senin aku ada kuis satu mata kuliah, tepatnya mata kuliah Teori Komunikasi.
Bertepatan Senin ini (24/5/2010), merupakan hari terakhirku kuis dan terakhir juga untuk mengakhiri mata kuliah ini di semester 4. Mudah-mudahan dengan usaha yang menurutku sudah maksimal, aku tidak bertemu dengan mata kuliah ini lagi. Tepat pukul 13.30, kami di kelas sudah bergelut dengan soal-soal kuis. Tiga puluh menit kemudian, aku memutuskan untuk menyelesaikan lembar soal yang dihadapi. Walaupun ada beberapa pertanyaan yang tidak mampu aku jawab.
Keluar kelas, aku langsung berfikir akan perutku. Entah kenapa, sebenarnya aku tidak lapar. Akan tetapi, ada dorongan yang kuat untuk ngemil. Ya, aku memutuskan untuk menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di bawah. Di bawah sebuah gedung di Fakultas Ilmu Komunikasi, aku berusaha untuk mencari anak-anak yang biasanya berjualan camilan-camilan. Akan tetapi, aku tidak menemukannya. Ya sudahlah, aku pun memutuskan kembali ke kelas.
Sesampai di atas, teman-temanku yang lain belum selesai menyelesaikan pertanyaan kuis yang banyak dan lumayan sulit. Di dalam hatiku, dorongan untuk mengemil semakin kuat. Aku pun bersyukur ketika temanku, Lucky dan Fitri mengajakku untuk mencari camilan. Akhirnya kami pun menuruni tangga lagi, menuju daerah di mana anak-anak sering jualan.
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Sesampaian di bawah, kami pun menemukan dua orang anak kecil lagi membawa sekeranjang makanan ringan. Aku pun duduk di sebuah kursi dan memanggil anak kecil tersebut.
Setelah mendekat, terlihat wajah anak yang lagi kecapean. Mukanya sedikit gelap, kerutan mukanya terlihat bahwa ia jarang sekali merasakan kesenangan. Seutas tali sedikit besar terselempang di bahunya. Ya, tali yang menggantungkan keranjang makanan. Di dalam keranjang itu, ada beberapa jenis makanan. Diantaranya, keripik singkong, makaroni, singkong pedas, dan choco crunc lokal. Semuanya disusun serapi mungkin. Sehingga terlihat banyak dan bervariasi. Itulah strategi penarik minat konsumen. Akhirnya aku membeli dua makanan kecil.
Tidak puas dengan hanya membeli, aku pun mencoba bertanya-tanya kepada anak kecil penjual itu.
“Adik, namanya siapa ?” tanyaku dengan menatap mata si adik itu.
“Robi” anak kecil itu menjawab. Singkat dan padat.
“Kamu sekolah, kelas berapa?”ujarku lagi
“Iya, kelas 5 SD.” Jawabannya tetap singkat dan jelas.
Tidak puas dengan pertanyaan seperti itu, aku pun bertanya lagi.
“Sudah berapa lama berjualan seperti ini?” ujarku sambil berharap jawaban yang benar darinya. Memang banyak dari penjual yang tidak mau memberi jawaban yang jujur.
Anak kecil penjual itu pun menjawab, “Sudah 5 tahun”.
Aku pun kaget dan tersentak. “Wah sudah lama juga ya”, ucapku tanpa sadar.
Akhirnya adik itu pun pergi mencari pelanggan lain yang membutuhkan camilan. Aku sendiri masih dalam keterkejutan tadi. Anak kecil tersebut telah berjualan selama 5 tahun. Sekarang ia sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti logikanya, ia telah berjualan sejak duduk di kelas 1 sekolah dasar. Waktu yang sangat lama dan membosankan bagi anak untuk bergelut dengan aktivitas yang sebenarnya tidak mereka senangi.
Anak-anak Sekolah Dasar yang seharusnya belajar dan bermain, tetapi tidak dengan dia. Dia harus membantu keluarga di bidang financial.
Pada akhirnya, aku pun bersama teman kembali ke kelas. Sepajang perjalanan, aku terus terfikirkan akan itu. Anak-anak kecil yang menjua camilan itu begitu tangguh, semangat dan senantiasa sabar menjalankan hari-hari yang menurutku berat bagi seorang anak kecil seperti Robi. Di dalam hatiku, aku pun berkata pada diri sendiri bahwa aku harus banyak bersyukur dengan nikmat yang telah diberikan Allah SWT dengan menggunakannya sebaik mungkin. Tak terbayangkan ketika aku dilahirkan dan ditakdirkan seperti Robi. Mungkin aku tak sanggup.
Buat anak kecil penjual makanan tersebut, aku mengacukan jempol dan salut akan perjuangannya untuk tetap sekolah dan berjualan. Suatu kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya untuk sanggup menghadapi kerasnya dunia ini dengan semangat yang tak kunjung henti. Aku yakin, suatu saat nanti, anak itu akan menemukan nikmat berlimpah dari Tuhannya. Sesungguhnya Allah itu Maha Adil dan Maha Bijakasana.
Senin, 25 Mei 2010 06.30 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar