Minat Baca Turun, Mahasiswa Pasif

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memberikan dampak negatif pada keaktifan mahasiswa di bangku perkuliahan. Mahasiswa cenderung diam dan lebih senang “autis” dengan benda-benda canggih berupa ponsel untuk berkomunikasi dengan teman sejawat, dari pada mendengarkan cuap-cuap dosen di di depan kelas.

Tidak berhenti sampai di situ, ketika akhir perkuliahan biasanya dosen selalu memberikan pertanyaan, apakah ada yang tidak paham atau ada tanggapan terhadap materi perkuliahan. Pada momen inilah mahasiswa biasanya menunjukkan kepasifannya. Diam dan perlahan-lahan menundukkan kepala. Ini memberikan arti bahwa peserta perkuliahan sudah mengerti atau tidak paham akan materi yang sudah disampaikan. Atau memang tidak ada keinginan untuk bertanya atau menanggapi.

Fenomena kefasifan mahasiswa di dalam kelas hampir terjadi di setiap perguruan tinggi. Hal itu disebabkan menurunnya daya kritis dalam menerima dan menganalisis materi-materi perkuliahan. Mahasiswa sebagai insan intelektual dan agent of change harus mampu memiliki pengetahuan yang luas. Pengetahuan yang luas tentu tidak di dapat hanya dengan berdiam diri. Itu semua didapatkan jika tingginya minat dan kebiasaan membaca mahasiswa. Membaca apapun itu, baik informasi di media massa, buku dan diktat perkuliahan.

Sulit Menulis

Kebiasaan membaca berkaitan erat dengan kemampuan tulis menulis. Pada saat ini, mahasiswa sulit sekali untuk menulis di media massa, apalagi menulis untuk tugas akhir skripsi. Terkadang untuk mencari topik tulisan pun susahnya setengah mati. Jika kebiasaan membaca mahasiswa tinggi, mungkin tidak akan ada lagi permasalahan seperti itu. Bisa-bisa karya pemikiran mahasiswa yang fresh, kreatif dan solutif akan banyak dihasilkan.

Tokoh sastra Indonesia, Taufik Ismail pernah berkata bahwa minat baca masyarakat pada saat ini telah turun. Pada zaman Hindia Belanda, seorang pelajar tingkat menengah selama tiga tahun harus membaca minimal 25 buku. Buku-buku tersebut ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu buku tersebut harus dirangkum dan akan diujikan. Berbeda dengan sekarang, mahasiswa hanya membaca rangkumannya saja, tidak isinya secara keseluruhan. Padahal perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sudah memberikan banyak kemudahan.

Untuk meningkatkan budaya membaca di kalangan mahasiswa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, tingkatkan kualitas pelayanan di perpusatakaan kampus. Peningkatan kualitas tersebut bisa dilakukan dengan memperbanyak koleksi buku-buku utama perkuliahan dan buku penunjang.

Di samping itu, peningkatkan koleksi media massa berupa majalah, koran dan ensiklopedi juga diperlukan. Agar mahasiswa tidak hanya berkutat pada ilmu-ilmu di perkuliahan, juga pengetahuan akan peristiwa terkini di seantero dunia.

Kedua, berikan kemudahan bagi mahasiswa untuk mengakses buku-buku yang ada diperpustakaan. Biarkan mahasiswa di waktu luangnya untuk bebas mencari buku apa saja yang disukai. Jangan sampai buku-buku yang berkualitas hanya di simpan di lemari dan menjadi pajangan.

Ketiga, pihak universitas dan organisasi mahasiswa hendaknya semakin sering melakukan lomba-lomba penulisan. Entah itu penulisan artikel opini, esai, cerita fiksi dan sebagainya. Dengan lomba-lomba tersebut diharapkan antusias mahasiswa untuk terus membaca dan menulis semakin meningkat.

Dengan adanya peningkatan kualitas perpusatakaan di kampus, kemudahan akses terhadap buku-buku, dan berbagai lomba penulisan yang menarik, maka minat membaca dan menulis dikalangan mahasiswa akan semakin meningkat. Tidak aneh lagi jika nantinya pemikiran-pemikiran mahasiswa yang kritis dan kreatif akan tertulis di media massa, buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah. Mahasiswa yang dijuluki sebagai kaum intelektual muda dan agent of change akan terwujud. Pada akhirnya akan terbangun tatanan negeri yang sejahtera, adil, dan makmur diiringi dengan tingkat intelektual kaum muda yang tinggi, dan pantas untuk disamakan dengan negara-negara maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar